Oleh: Ach Tijani
Di media sosial saya membaca stori atau status terkait dengan ucapan selamat Natal dengan nada sangat menggelitik. Misalnya seperti contoh status yang bernada swperti ini “Sudah mulai belum perdebatan ucapan selamat Natal?”.
Status tersebut seakan muncul dari kebosanan rutinan dalam melahap perdebatan klasik yang tidak kunjung habis dibahas tiap tahun saat Natal. Saya tidak akan membahas boleh atau tidaknya, apalagi sampai menyodorkan ayat-ayat dan tafsirnya, karena hal tersebut memang diluar kemapuan saya. Disini saya akan mencoba membahas dari sebuah pertanyaan sederhana “kenapa problem itu muncul dan cenderung abadi dalam perbincangan masyarakat muslim Indonesia?”.
Saya akan memulai perbincangan sederhana ini pada fakta sosial relasi Barat-Islam dalam kata kunci sekularisme dan agama.
Term sekuler yang selama ini berhenti pada pemahaman hilangnya nilai nilai agama di ruang publik. Pemahaman tersebut dikritik keras oleh Habermas dalam sebuah artikelnya Notes on Post-Secular Society. Habermas menjelaskan bahwa Barat sendiri sebenarnya secara historis tidak bisa lepas dari akar peradabannya sendiri yaitu Kristen yang begitu sangat religious.
Di sisi lain Barat juga tidak terlepas dari semangat enlightenment. Enlightenment inilah yang membawa mereka sangat saintifik satu sisi memang akan membawa pada pemahaman anthropocentric ketimbang theocentric, disinilah letak lahirnya sekularisme. Namun di sisi lain, englightenment juga membawa pandangan kemodernan yaitu frame atau gambaran kehidupan yang maju, efisien dan universal.
Dua hal yang lahir dari semangat englightenmen ini yaitu sekularisme dan modernitas harus disandingkan. Sekularisasi yg berlebihan akan mengusik tatanan modernitas, kadang tidak efektif dan justru menyisihkan kenyataan yang plural. Sementara salah satu hal yang tidak bisa dibendung adalah pluralitas sosial. Barat yg mengadopsi paham sekulerpun tidak bisa membendung kehadiran para pekerja asing yg membawa kulturnya masing-masing, termasuk saat mereka membawa agamanya juga tidak bisa dibendung.
Kehadiran sub-kultur tersebut secara politis mendesak Negara agar hadir mengayomi keragaman. Untuk menjaga kehidupan yg efektif dan harmonis sebagai bagian dari pandangan kemodernan akhirnya secara politik harus memisahkan Gereja (agama) dan Negara. Pilihan ini dipahami banyak orang dikira peminggiran agama dari kehidupan manusia, tetapi justrus hal tersebut dilakukan untuk memberikan ruang lebih leluasa terhadap agama. Karena di Barat jika tidak dipisahkan antara agama dan Negara, agama cenderung memunculkan kebencian yang berlebihan, sehingga tidak akan memberi ruang pada agama lain untuk tumbuh dan berkembang. Pada akhirnya terjadilah pergeseran agama dari ruang publik ke ruang private.
Lalu apakah orang Barat sendiri benar benar menyisihkan nilai nilai agama?. Jawabannya tidak. Kehadiran sub-kultur dan agama
membangkitkan keyakinan mereka akan kehadiran rival keyakinan yang ada dalam hati mereka. Lambat laun makin subur, apalagi ditambah dengan bangkitnya gerakan- gerakan politik Islam baik yang bersifat soft maupun yang sedikit kasar seperti teorisme dll. Bukti lain, di Barat juga sering muncuk definisi definisi mengenai gejala sosial yang diklaim berkaitan dengan agama. Klaim tersebut menandakan bahwa masyarakat sekulerpun sejatinya tidak benar benar tercerabut dari akar keagamaannya.
Sementara di Timur yang cenderung sangat kuat memegang nilai nilai agama juga terjadi seperti apa yang terjadi di Barat. Pluralitas sosial juga tidak bisa dibendung. Pertukaran kebutuhan baik jasa maupun produk dengan sangat terpaksa akan menggiring masyarakat beragama mengunyah pandangan-pandangan pluralisme. Meski tentu ada bentuk-bentuk penyesuaian, misalnya yang terjadi di dunia Islam muncul pendekatan dan tafsir tafsir baru terhadap kitab suci. Pada intinya hal tersebut muncul dalam rangka merespon kenyataan dan membangun kembali format keimanan di tengah kenyataan sosial yang plural dan sekuler.
Barat memilih memisahkan agama dan Negara, sementara Timur lebih memilih pada pergeseran epistemologi pemahaman kitab sucinya. Artinya agama dan sekularisme itu senyatanya hidup berdampingan, sungguhpun banyak orang yang memperdebatkan dan menbenturkan keduanya. Faktanya secara sosial, saat ini sedang saling benegoisasi dalam term yang dikenalkan oleh Habermas dengan sebutan post-secular society.
Lalu apa hubungannya dengan perdebatan ucapan selamat Natal oleh seorang muslim. Barangkali secara eksplisit susah ditemui, namun secara implisit, masyarakat Timur dalam hal ini Islam akan sulit menyisihkan agama dari segala segmen kehidupan. Segala apapun tetap akan disandingkan dengan klaim keagamaan, jangankan ucapan selamat Natal, persoalan penggunaan facebook dan medsos lainnya juga tidak luput dari ulasan tafsir-tafsir keagamaan.
Sampai kapan akan berakhir kegelisahan dan perdebatan mengenai ucaoan selamat Natal?. Sulit untuk dihindari untuk tidak mengatakan sebagai perdebatan abadi, karena perdebatan tersebut adalah cara merespon dan bernegoisasi dengan pluralitas yang tidak terbendung. Di sisi lain, hal tersebut adalah dampk terjauh dari relasi Barat-Islam dan sekularisme. Jadi, Anda bosanpun, perdebatan itu tetap akan menjadi bagian dari cara kita hidup berdampingan dengan keragaman.