Home / Opini / CERDAS SPIRITUAL DALAM BERKOMUNIKASI DI MEDIA

CERDAS SPIRITUAL DALAM BERKOMUNIKASI DI MEDIA

Oleh: BUHORI, M.Pd.

Sejak tahun 1964, Marshall McLuhan (w.1980), telah memprediksi bahwa suatu saat akan terjadi suatu kondisi dimana informasi begitu terbuka dan mudah diakses oleh siapapun. Dunia ini analogikan sebagai global village  atau kampung global yang memungkinkan setiap personal berkomunikasi secara langsung dan cepat dengan siapa saja, serta dapat mengakses informasi dari mana saja.

Prediksi ilmuwan komunikasi dan kritikus asal Edmonton Kanada tersebut, hari ini nyata-nyata terbukti. Sejak diperkenalkannya revolusi Industri 4.0., seluruh entitas di dalamnya dapat saling berkomunikasi kapan saja secara real time dengan memanfaatkan teknologi internet, melalui apa yang disebut dengan media sosial.  Revolusi industri hari ini secara fundamental betul-betul mengubah pola hidup dan kerja manusia. Seluruh lapisan masyarakat, mulai dari yang tinggal di perkotaan-mapun di pedesaan, baik kalangan terpelajar hingga yang “kurang ajar”, semuanya sudah akrab dengan media.

Bahkan diyakini, kemajuan dan perubahan ini akan terus berkembang. Saat ini mulai diperkenalkan konsep era Society 5.0, dengan mengintegrasikan ruang maya dan ruang fisik. Integrasi tersebut dilakukan untuk membuat semua hal menjadi lebih mudah. Imbasnya, hari ini, dunia tak ubahnya sebagai small village, kampung kecil, dimana jarak tempuh yang begitu jauh secara fisik, tidak lagi menjadi problem penghalang untuk menjalin komunikasi dan mengakses informasi.

Guna menyikapi kemajuan tersebut, para penikmat teknologi media, terlebih dalam media sosial, memerlukan seperangkat kecerdasan spiritual saat berkomunikasi di media, agar komunikasi yang terjalin menjadi sehat, dan bernilai positif.

Etika Islami dalam Berkomunikasi di Media

Secara umum, media memiliki empat fungsi utama, yakni, surveillance (pengawasan), interpretation (interpretasi), values transmission (penyebaran nilai-nilai), dan entertainment (hiburan).  Idealnya, empat hal ini menjadi rujukan utama para pengguna media, baik media massa maupun media sosial, termasuk bagi para netizen yang kerap berselancar di dunia maya. Bermedia dalam artian menggunakan media dan berkomunikasi melalu media, idealnya menjadi bagian dari proses edukasi tentang tata nilai, sikap dan perilaku. Oleh sebab itu, media hendaknya dapat hadir sebagai sarana penyebaran dan transformasi nilai-nilai kebaikan dan kebijakan.

Fungsi lain yang tak dapat dipungkiri dari media adalah bahwa bermedia juga menjadi bagian dari mencari hiburan, refreshing dan menjalin relasi. Karnanya, sangat disayangkan, jika media hanya dijadikan sebagai ajang saling menghujat, melakukan pelintiran kesalahan (hate spin), merekayasa informasi dan penyeberan informasi hoax. Hal ini tentu dapat merubah fungsi media sebagai sarana entertainment dan edukasi menjadi alat perusak yang menimbulkan konflik, permusuhan dan peningkatan eskalasi emosi di tengah masyarakat.

Dalam ajaran Islam telah diatur tata cara berkomunikasi yang baik, baik antar individu dan komunal. Komunikasi yang baik akan terjalin, jika antar komunikan saling memperhatikan etika komunikasi. Setidaknya ditemukan enam etika komunikasi dalam Islam, yakni Qaulan Sadĭda, Qaulan Balĭgha, Qaulan Ma`rûfa, Qaulan Karĭma, Qaulan Layyina dan Qaulan Maysûra. Enam etika komunikasi dalam Islam ini menjadi prasyarat mutlak agar seseorang memiliki kecerdasaran spiritual dalam bermedia dan berkomunikasi melalui media.

Qaulan Sadĭda (QS. 4: 9) bermakna tutur kata yang benar. Hal ini berarti bahwa pesan komunikasi atau informasi yang disampaikan haruslah faktual, sebuah kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan, bukan produk framing informasi dan pelintiran kebencian. Sedangkan Qaulan Balĭgha (QS. 4: 63) berarti perkataan yang membekas pada jiwa. Artinya sebuah pesan informasi harus dikemas dengan efektif, tepat sasaran dan sesuai dengan frame of reference and field of experience agar mampu menjangkau psikis penerimanya. Komunikasi akan membekas pada hati dan jiwa komunikan akan terwujud apabila informasi yang disampaikan juga bersumber dari hati (comunication with heart).

Kata Qaulan Ma`rûfa (perkataan yang baik) mensyaratkan agar informasi yang disampaikan bernilai edukatif, bermanfaat, dapat memberikan pencerahan dan menimbulkan kemaslahatan. Sementara Qaulan Karĭma (perkataan yang mulia) menekankan pentingnya memperhatikan etika yang mulia dengan berbahasa, tidak mengedepankan arogansi, selalu menjaga kesantunan, penghormatan dan penghargaan.  Etika kelima yakni Qaulan Layyina secara literal bermakna perkataan yang lemah lembut. Hal ini berarti dalam berkomunikasi hendaknya semaksimal mungkin menghindari kata-kata kasar, sarkasme, menyinggung perasaan personal dan kelompok, terlebih kata yang mengarah pada ujaran kebencian (hate speech) dan bernada hasutan. Etika terakhir yaitu Qaulan Maysûra yang bermakna kata-kata yang baik dan mudah. Artinya, dalam berkomunikasi idealnya memakai kalimat yang mudah dicerna, tidak absurd, gampang dimengerti dan sesuai dengan tingkat nalar berfikir audien.

Enam etika komunikasi di atas menjadi modal dasar dalam pembentukan pribadi yang yang cerdas secara spiritual dalam bermedia. Sosok pengguna media yang cerdas, menggunakan nalar logika dalam setiap menerima berita, bersikap kritis dan selektif terhadap berbagai informasi yang diterima, serta melakukan penguatan komunikasi dengan banyak pihak. Pribadi yang tidak mudah kagetan, dan mudah larut dalam framing yang bertujuan menggiring interpretasi khalayak atas sebuah berita.

Check Also

Rais Syuriyah PWNU Kalbar Hadiri Pelantikan IPNU dan IPPNU Kabupaten Ketapang

Ketapang – NU Khatulistiwa, Pimpinan Cabang IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) dan IPPNU (Ikatan Pelajar …

Tinggalkan Balasan