Oleh : Hasanie Mubarok
Setiap 25 Desember, perdebatan “basi dan besing” yang selalu beredar pasti tentang “boleh tidaknya mengucapkan selamat Natal”. Tak diketahui kapan mula perdebatan seperti ini di Indonesia. Pada intinya, hampir setiap jelang Natalan, pertanyaan seperti itu selalu saja timbul dan memantik perdebatan. Dalam segala kemalasan, masalah ini sebenarnya ‘penting tak penting’ untuk kita bahas. Karena yang lebih realistis, rerata orang yang mempermasalahkan hal ini nyatanya kebanyakan tak punya teman non-muslim untuk mengucapkan. Tapi, mereka mempermasalahkan itu. So?Tujuannya satu saja, paling tidak menurutku- Cari masalah!
Satu contoh, daku termasuk orang yang berkecenderungan untuk tidak mempermasalahkan ‘mengucap selamat Natal’. Tapi, dari dulu sampai hari ini, daku belum pernah mengucapkan kalimat “selamat Natal” kepada kaum Nasrani di sekelilingku. Alasannya satu, aku tak punya kawan Nasrani. Itu saja! Terus untuk apa ribut-ribut masalah ini? Cari masalah lagi! Kalau demikian faktanya, maka mengucapkan selamat Natal atau tidak sama sekali menjadi tidak penting.
Kalau seorang tak mau mengucapkan selamat Natal karena alasan tidak punya teman untuk mengucapkan ini, maka seharusnya tidak perlu mempertanyakan “apa hukum mengucapkan selamat Natal?”. Sebab hal ini tidak penting sama sekali, kecuali sekadar ingin tahu, kemudian menghukumi orang. Hal ini sama dengan “belajar fikih, tauhid, kalam, dan ilmu-ilmu lain dalam Islam justru untuk menghukumi orang lain”. Sama dengan kasus “belajar Islam untuk mengkafirkan sesama muslim”.
Kasus kedua, kalau lingkungan pertemanan kita memungkinkan kita untuk mengucapkan “selamat Natal” kepada mereka yang Nasrani, kemudian kita mempertanyakan apa hukumnya, ini pertanda bahwa kita sedang dilanda “demam fikih”, bahasa Inggrisnya “Fiqh Fever”. Gejala ini kadang membuat penglihatan yang kita gunakan tidak bisa mencerap warna kecuali dua saja, yakni “hitam dan putih”. Kalau bukan halal, pasti haram.
Belakangan, pandangan orang yang selalu saja menanyakan prihal hukum dalam kasus yang sebenarnya “enteng-enteng” saja adalah contoh pendewaan terhadap fikih dengan membabib buta. Tanpa memandang remeh fikih, prihal “mengucapkan selamat Natal” ini, -menurutku- sejatinya harus dibaca dengan melampaui fikih formal yang hanya berkutat dalam persoalan halal haram belaka. Dalam hal ini, beyond Fiqh (melampaui fikih) harus diberangkatkan dari satu titik yang formalistik menuju satu titik lebih informalistik, dari penjara hukum formal (halal dan haram) kepada tataran hukum yang berporos pada maqashid (maslahat atau mafsadat).
Pembacaan atas satu kasus dengan menggunakan timbangan Maqashidi yang semacam ini mendesak untuk digunakan dalam banyak kasus saat ini. Karena bagaimana pun, halal dan haram tak akan pernah diturunkan kecuali dalam rangka mencapai Maqashid yang menjadi cita-cita dasar hukum dalam mewujudkannya.
Kembali pada kasus “mengucapkan selamat Natal” dengan kasus -ada orang Nasrani yang hendak kita tujukan ucapan itu padanya- secara sederhana bisa kita rumuskan hukumnya seperti berikut: kalau hal itu mampu bisa membawa kemaslahatan bagi salah satu dari lima prinsip Maqashid al-Syariah yang lima (menjaga agama, akal, harga diri, keturunan dan harta) maka hukumnya boleh saja.
Artinya, jika dengan mengucapkan kalimat “selamat Natal” nyata bisa membawa hubungan antara kita dan umat Nasrani menjadi kian harmonis dan hangat, sehingga dengan hubungan ini akan melahirkan kerukunan dan ketentraman yang berujung pada ketenangan, maka hukumnya halal. Sebab dengan adanya ketenangan akan membawa kemaslahatan bukan hanya pada diri kita, tetapi juga lingkungan sekitar.
Sebaliknya, jika dengan ucapan itu bisa membawa pada kerusakan dan bisa meruntuhkan kelima Maqashid al-Syariah sebagaimana di atas, maka hukumnya tentu saja haram tanpa tawar. Hal ini karena suatu hukum (syariat) tidak akan diturunkan untuk membawa kerusakan. Contohnya: ada seorang yang ketika mengucapkan selamat Natal kepada temannya yang Nasrani, pikiran dan hatinya ternyata langsung membenarkan keimanannya sehingga dia langsung pindah agama, langsung minta dibaptis. Ini jelas bisa merusak agama. Dan itu jelas hukumnya, pasti haram.
Tapi, bagaimana mungkin ketika anda mengucapkan “selamat Natal” secara auto membenarkan keyakinan mereka tentang ketuhanan Yesus? Ini tidak akan terjadi kecuali kepada orang-orang yang akidahnya sendiri masih bermasalah. Keyakinannya kepada Allah dan kepada para Nabi masih belum cukup kuat sehingga dia beranggapan bahwa “ucapan bisa mempengaruhi keyakinan”.
Dalam bahasa Ushul Fiqh, ucapan (dalam bab ‘Aqad misalnya) hanyalah salah satu dari upaya menjadikan satu perkara menjadi mundhobith (tampak) sehingga objek hukum bisa dilandaskan. Sehingga, kalau satu hukum bisa mencapai tujuan dalam mu’amalah tanpa memerlukan aqad (shighot Ijab Qabul), maka cukup shigot (ucapan) itu sudah tidak lagi diperlukan. Contoh: dalam jual beli, tujuan dari adanya shighot ‘aqad adalah untuk meletakkan maksud dari adanya taradhin (saling rela antar dua pihak). Sehingga, jika kerelaan itu sudah ada, maka shigot-nya sudah tidak lagi diperlukan.
Jadi pada intinya, yang lebih penting dari apa yang kita ucapkan adalah apa yang ada di dalam hati pada saat mengucapkan. Karena lisan tak lebih dari sekadar penyampai saja dari apa yang ada di dalam hati dan pikiran. Dalam salah syair pendek, al-Akhthal berkata:
إنّ الكلام لفي الفؤاد _ وإنّما جعل اللسان على الفؤاد دليلا
Jika dalam mengucapkan selamat Natal, hati dan pikiran ternyata membenarkan –baik ketika maupun sebelum, atau setelahnya- akan ketuhanan pada Nabi Yesus, maka sebaiknya Anda tak perlu mengucapkan itu, langsung saja ke Gereja dan segera minta baptis!. Jika hanya demi membangun keharmonisan antar sesama teman yang bisa membawa pada kebaikan dalam hubungan persahabatan lintas agama, maka ucapkanlah!
وَٱلسَّلَـٰمُ عَلَیَّ یَوۡمَ وُلِدتُّ وَیَوۡمَ أَمُوتُ وَیَوۡمَ أُبۡعَثُ حَيًّا