Oleh Sholihin H.Z.
(Guru MAN 2 Pontianak/Ketua PC. Pergunu Kota Pontianak)
Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2020 telah dilewati beberapa hari yang lalu, sebagai bangsa yang tidak lupa dengan sejarah, menjadikan Sumpah Pemuda sebagai spirit kemajuan bangsa harus tetap dipelihara. Hari boleh berganti, bulan boleh berlalu tapi menghayati dan menyikapi secara positif konstruktif untuk negeri ini (apalagi pemuda) sebagai bagian mengisi kemerdekaan maka spirit Sumpah Pemuda harus tetap bergelora.
Azkia Alawy (2010) dalam sebuah tulisannya ‘Pendidikan Indonesia Pada Masa Penjajahan Belanda’ mengemukakan bahwa salah satu perubahan sikap penjajah Belanda terhadap wilayah jajahannya (baca: Indonesia) berawal dari sebuah tulisan Van Deventer tahun 1899. Van Deventer adalah salah seorang dari kaum intelektual Belanda yang membuat artikel dengan judul “Een Eereschuld” (utang kehormatan) yang dimuat di Majalah De Gids. Tulisan ini memaparkan ketimpangan sosial dengan kebijakan eksploitatifnya, juga mempertanyakan slogan dari Pemerintah Hindia Belanda yang menyebutkan dirinya sebagai pemerintahan yang humanis dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan serta memiliki peradaban tinggi tetapi kenyataannya justru mengeruk kekayaan dan mengambil keuntungan secara besar-besaran dengan sistem tanam paksa dan sistem liberal di daerah jajahan.
Pengaruh tulisan ini ternyata luar biasa yakni dengan adanya perubahan kebijakan pemerintahan Belanda yakni dengan dicanangkannya politik etis atau politik balas budi pada tahun 1901 oleh Ratu Belanda.
Meskipun telah dicanangkannya politik etis ini, program yang ada tetap diusahakan untuk mempertahankan wilayah jajahan dan untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya.
Telah disebutkan, politik etis mencanangkan tiga program yang ternyata memberikan nilai plus bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Tiga program tersebut adalah peduli bidang pendidikan, migrasi (perpindahan penduduk) dan irigasi (pengairan). Burhan D. Magenda (dalam Pilihan Artikel Prisma, 1991: 129) menyebutkan bahwa politik etis dengan program pendidikannya meskipun tujuannya adalah untuk memperoleh tenaga-tenaga menengah lokal yang diperlukan untuk perluasa ekoomi kolonial ternyta mengandung benih-benih kontradiksi dan menjadi sumber munculnya tokoh-tokoh geraan kemerdekaan. Mahasiswa khususnya merasakan adanya noblesse oblige untuk memperjuangkan nasib asyarakatnya yang tertindas. Noblesse oblige adalah satu rasa dan sikap yang mencerminkan keadaan jiwa seseorang atau kelompok yang harus diwujudkan dalam bentuk aksi. Contohnya jika ada seorang yang mengaku mulia maka harus bertingkah laku mulia. Jika anda adalah mahasiswa maka tunjukkan sikap sebagai seorang mahasiswa.
Tanpa disadari sebagai akibat yang “tidak disengaja” dari politik etis ini adalah bangkitnya kesadaran kaum intelektual nasionalis yang merupakan hasil didikan lembaga-lembaga formal Belanda. Munculnya semangat kebangsaan di bawah tekanan penjajah menjadikan semangat ini terus mengkristal dan ringkasnya pemuda dengan semangat kebangsaannya. Kaum terpelajar atau golongan intelektual ini kemudian mendirikan organisasi-organisasi sebagai media perjuangan membebaskan negeri dari penjajahan. Antara lain adalah organisasi Studieclub dan organisasi-organisasi pergerakan nasional seperti Budi Oetomo, sarekat Islam,Indische Partai, PNI, dll. Tri Karyanti (dalam ‘Sumpah Pemuda dan Nasionalisme Indonesia’_
Sumpah Pemuda dan Nasionalisme Indonesia – Universitas AKI
www.unaki.ac.id › ejournal › index.php › article › view
Ada tiga studie club yang memiliki peran penting dalam pergerakan nasional yaitu perhimpoenan Indonesia merupakan organisasi mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Belanda. Para anggota studieclub ini setelah pulang ke Indonesia melanjutkan perjuangannya melalui organisasi studieclub maupun organisasi yang lain. Di Surabaya berdiri Indonesische Studieclub yang didirikan oleh Soetomo setelah pulang dari Belanda, sedangkan di Bandung juga berdiri Algemeene Studieclub yang dipimpin oleh Soekarno, Soenario, Anwari dan Ishaq Tjokrohadisoerjo.
Dari ‘Kedaerahan’ ke ‘Kebangsaan’
Semangat membebaskan negeri dari cengkeraman penjajah dengan adanya keran-keran kebebasan yang tidak disadari oleh penjajah kala itu menjadikan semangat ini semakin meluas. Ringkasnya berbagai spirit kedaerahan (jong Sumatranen Bond, jong Ambon, Jong Minahasa, Jong Batak, Sekar rukun, Pemuda Betawi dan sebagainya) mengkristal menjadi semangat kebangsaan. Rahmat (dalam ‘Sumpah Pemuda, Antara Idealisme dan Realisme Pendidikan Politik_ Kependidiikan Islam, Vol. 1, No. 1, Februari-Juli 2003) menyebutkan Tidak berselang lama sesudah berdirinya Budi Utomo, segera diikuti dengan tumbuhnya organisasi-organisasi lain seperti Sarekat Islam, Indische Partij, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Taman Siswa, Jong Pasundan, Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Ambon, dan sebagainya. Berdirinya organisasi tersebut memberikan wadah sosial kaum terpelajar sekaligus memberikan identitas baru kepada generasi muda terpelajar. Pemuda telah bersatu dan bangkit.
Pemuda dimasanya telah memerankan diri sebagai policy maker dalam arti mengatur urusan mereka sendiri. Negeri ini harus diatur oleh masyarakat itu sendiri. Indonesia harus dikelola oleh orang-orang pilihan yang peduli kepada kejayaan negeri. Rahmat (ibid,-) menyebutkan rangkaian kejadian selama periode 1908-1945 merupakan mata rantai yang secara keseluruhan menunjukkan semangat nasionalisme pada rakyat Indonesia.
Semangat persatuan dari Kongres Pemuda I mengilhami Kongres Pemuda II tanggal 27-28 Oktober 1928 yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang didirikan tahun 1926 di Jakarta, Kongres ini menghasilkan Sumpah Pemuda yang isinya: 1. Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu tanah air Indonesia. 2. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu bangsa Indonesia. 3. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.
Dri semangat kedaerahan, spirit sektoral kemudian menggulung dan menyatu menjadi kekuatan kebangsaan yang kemudian menjadi sejarah emas hingga hari kiamat bahwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah cerminan dari tekad dan ikrar para pemuda, pelajar dan mahasiswa. Tidak membeda-bedakan suku, pulau, dan organisasi karena tekad ingin bersatu untuk merebut kemerdekaan dari para penjajah. semangat persatuan pada waktu itu sangat menonjol, bertekad hidup atau mati tiada jalan lain untuk merebut kemerdekaan kecuali bersatu padu.
Membangun Indonesia kali, tugas kita seluruh anak negeri mengisinya dengan berbagai aktifitas konstruktif. Kemerdekaan negeri ini bukan hasil penyerahan dari penjajah tanpa resiko, negeri ini bukan pembagian kavling dan sejenisnya dan negeri ini bukan tunduk di bawah kekuasaan negara lain dan sejatinya harus demikian nyatanya.
Wahai Pemuda, Indonesia akan tetap jaya dan bangun, bersatu serta bangkitlah dengan tegak mengatakan: Kan Kuberikan yang Terbaik untuk Kejayaan Negeriku, Indonesia.
Tepatlah jika, momen Sumpah Pemuda 2020 kali ini mengambil tema: Bersatu dan Bangkit.**