Dalam pekan-pekan terakhir ini, banyak pelajaran yang dapat penulis petik dari kehidupan. Kiranya tidak salah jika hingga saat ini motto kehidupan penulis “kita bisa belajar dari siapapun” selalu up to date dan tetap penulis yakini. Memang pada hakikatnya, diri dan alam ini adalah guru bagi setiap individu, kepada makhluk Allah lainnya kita bisa belajar tentang kehidupan. Kita bisa belajar kepada lalat, belajar kepada lebah, belajar kepada nyamuk, belajar kepada hasil karya Sang Pencipta. Hanya sejauh mana kepekaan dan kemampuan membaca dan menangkap sinyal-sinyal kehidupan itulah yang menyebabkan kita bisa mengartikan pelajaran kehidupan ini.
Tulisan ini bukan pada posisi menjudge siapapun dan tidak menilai pada aspek materi tapi lebih pada nilai pembelajaran yang mudah-mudahan unsur obyektifitas lebih mengemuka daripada subyektifitas. Sekali lagi, tulisan ini bukan pada person tapi pada mengupas nilai pembelajaran yang dapat diambil.
Pelajaran apa yang penulis dapat tangkap sebagai pelajaran kehidupan?
Pertama, penulis pernah membaca satu status yang dituliskan dengan kalimat “aku tidak butuh nasihatmu” Merenungkan kalimat ini, penulis tergelitik untuk menuangkannya menajdi sebuah tulisan yang mudah-mudahan hingga berakhirnya tulisan ini yang dapat diambil adalah pelajaran kehidupan.
Apakah betul, bahwa kita tidak butuh nasihat. Sesungguhnya kita sangat perlu nasihat. Secara nash, al-Quran menyebutkan dibeberapa tempat tentang pentingnya mengingatkan bahkan menjadi ketentuan saat khutbah Jumat dengan menyatakan untuk berwasiat dalam hal takwa dan keimanan. Alasan lainnya adalah manusia (asal kata nasiya berarti lupa) memosisikan manusia sebagai ciptaan Allah yang suka lupa dan memang pelupa. Apakah anda berani bahwa anda adalah manusia yang selalu ingat dengan semua aktifitas hidup anda? Saya yakin, sejatinya kita adalah makhluk (yang diciptakan) untuk lupa. Karena lupa, maka perlu diingatkan, disinilah pentingnya memiliki media untuk mengingatkan, disinilah pentingnya teman untuk mengingatkan, disinilah pentingnya pendamping hidup yang mengingatkan dan disinilah pentingnya kecerdasan hati untuk membuat sekitar kita menjadi media pengingat.
Jadi, manusia perlu nasihat.
Pertanyaan berikutnya adalah dari siapa nasihat itu harus kita dengar, apakah kita harus memilih dan memilah nasihat yang baik untuk kita. Yang baik untuk kitapun masih bisa didiskusikan, artinya baik menurut kita belum tentu baik untuk orang lain. Tetapi bukan itu pertanyaannya, diskusinya adalah haruskah melihat siapa yang memberikan nasihat?
Jawabannya, menurut hemat penulis, tidak sesingkat pertanyaannya. Ada beberapa konsep tentang manusia diantaranya adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang terdiri dari makhluk jasadi dan non jasadi, unsur fisik dan psikhis. Fisik lebih pada materi, psikhis lebih pada kejiwaan, “rasa” bermain pada wilayah non jasadi (psikhis). Dari “rasa/psikhis” ini muncul rasa senang, benci, enjoy, bangga, sakit dan sebagainya. Rasa ini memberikan pengaruh pada sikap kita terhadap sesuatu. Lebih fatal lagi jika dalam suasana seperti yang disebutkan di atas kita memberikan keputusan dan besar kemungkinan ini memiliki dampak yang serius dengan kecenderungan negatif. Karenanya Imam ‘Ali Karromallahu Wajhah pernah mengatakan, jangan pernah memutuskan perkara ketika engkau sedang marah atau sangat bahagia.
Di beberapa tempat, Allah mengajarkan jangan sampai kebencian kita pada suatu kaum menyebabkan kita tidak bisa berlaku adil, pada teks lain maknanya dapat diungkapkan cintailah sesuatu sekedarnya saja dan bencilah sesuatu sekedarnya saja karena segala sesuatunya bisa berbalik dan berganti rasa. Teks lain dengan redaksi yang berbeda namun memiliki kesamaan makna adalah tentang memaafkan. Memaafkan berarti ia pada posisi yang sedang dimuliakan Allah. Hadits Nabi menyebutkan tidaklah seseorang memaafkan kecuali Allah akan menambah kemuliaannya (HR Muslim).
Orang yang berat untuk memaafkan berarti masih ada rasa dendam dan dendam adalah persoalan hati dan rasa. Zikir, perenungan dan muhasabah adalah beberapa solusi mengatasinya.
Jika demikian, maka melihat nasihat dari siapa orangnya memberikan isyarat bahwa ada yang harus diperbaiki cara sikapnya melihat orang lain. Setiap kita pasti punya salah, yang baik bukanlah orang yang tidak pernah berbuat salah. Orang yang baik adalah orang yang jika ia berbuat salah maka jika kesalahannya pada Allah, ia istighfar dan taubat; jika kesalahannya kepada manusia maka ia segera minta maaf. Persoalan orang lain tidak memaafkan, lain persoalan.
Pelajaran kehidupan kedua adalah tanpa kita sadari adanya mental yang cenderung menganggap jika seseorang berbuat salah dan keji maka begitulah ia selamanya. Bagaimana kita memandangnya, penulis mendasarkannya pada hal berikut ini.
Hati dalam bahasa arab dinamakan qalbu yang artinya bolak-balik. Surat al-Kahfi/18: 18 disebutkan wa nuqallibuhum dzaatal yamiin wadzatasy syimaal (dan Kami balik-balikan mereka ke kanan dan ke kiri). Dari makna ini dapat diketahui, sesungguhnya hati ini ini sesuatu yang lentur. Benci kita pada suatu kaum bisa akan berbalik jika satu hari kaum itu menjadi peolong kita. Sayang kita pada seseorang bisa berubah jik ada sikap yang kurang menyenangkan. Wajarkah itu? sangat wajar, tetapi Allah SWT memberikan batasannya cintailah sesuatu sekedarnya saja dan bencilah sesuatu sekedarnya saja. Lantas bagaimana sikap kita? Irnigni kewsalahan yang dilakukan dengan kebaikan, doakan dan istiqamah dalam kebaikan.
Coba kite renungkan, bagaimana kerasnya khalifh kedua, Umar bin Khaththab saat sebelum masuk Islam. Targetnya tidak tanggung-tanggung, membunuh Nabi. Ia menjadi jawaranya kafir Quraisy jala itu, ia menjadi manusia paling ditakuti. Tetapi bagaimana sikap Nabi SAW saat Umar sudah masuk Islam? Pernahkah kita mendengar Nabi SAW mempersoalkan kehidupan Umar dimasa jahiliyah? Pernahkah Nabi SAW brujar, “coba lihat umar, dulu ia pemabuk dan benci kepadaku?” hingga saat ini, penulis belum pernah menemukan ucapan Nabi SAW yang brnada demikian.
Jadi, memvonis selamanya bahwa ia jahat adalah keliru, menghakimi bahwa ia tidak akan berubah adalah salah. Doakan saudara dengan kebaikan karena kita tidak tahu dari mulut mana doa itu di¬ijabah Allah. Doakan kebaikan utuk saudara kita karena doa yang baik hakikatnya kembali kepada kita.
Pelajaran kehidupan adalah pelajaran tanpa guru faktual tetapi ia menjadi guru sejati bagi orang-orang yang dapat “membacanya”. Pelajaran kehidupan adalah bukan pelajaran dengan cara belajar di rungan terbatas, tetapi ia pelajaran dengan materi ajar yang terbentang di dekat kita, sekitar kita dan terbentang luas di manapun kita berada. Namun, sedikit sekali yang memahaminya. Ternyata, ulul albab tidak bisa disematkan kepada setiap orang.
Penulis : Sholihin HZ
Merupakan Ketua PERGUNU Kota Pontianak dan Guru MAN 2 Pontianak