Hendra Rizki Rangkuti, S.Sos.,M.Pd
Sekretaris PW Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Sumatera Utara
“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. 75 tahun sudah Indonesia merdeka namun cita-cita dari kemerdekaan itu nampaknya Semakin Jauh bahkan menjadi fatamorgana. Konstitusi menghendaki kita merdeka, namun faktanya kita masih bergantung kepada negara lain, sumber daya alam kita masih banyak yang dikelola oleh selain kita, kita masih terjajah secara ekonomi, konstitusi mengamanatkan supaya kita bersatu namun masih kerap terjadi konflik antar agama dan budaya sesama anak bangsa, kita diharuskan untuk berdaulat tapi masih banyak ditemukan kebijakan-kebijakan dan produk undang-undang yang tidak pro rakyat, bagaimana dengan adil makmur? Penegakan hukum masih sering tumpul keatas, tajam kebawah dan angka kemiskinan seakan tak bisa hangus dari bumi subur yang kaya raya ini.
Apakah kita tidak punya konsep untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan?
Sebenarnya banyak konsep yang bisa dipakai, namun dalam tulisan ini kita akan fokus membahas konsep grand desain yang telah disiapkan jauh hari sebelum merdeka oleh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang dikenal dengan konsep Hubbul Wathon (Cinta tanah air).
Lalu apa hubungan antara cinta tanah air dan tujuan kemerdekaan? sebagaimana diketahui bahwa tujuan dari kemerdekaan itu ialah untuk mewujudkan masyarakat adil makmur, dan adil makmur sangat mungkin diwujudkan dengan membumikan konsep cinta tanah air.
Bagaimana cara membumikannya?
Setidaknya ada dua bentuk Cinta tanah air, Pertama adalah menjaga dan melindungi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari kaum perongrong yang ingin merusak atau mengubah bentuk negara. Kedua adalah ikut berperan aktif dalam upaya mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Pertama, peran kader NU dalam menjaga dan melindungi NKRI sudah tak bisa diragukan lagi (baca sejarah : NU vs PKI, NU vs NII, DI TII, NU vs Masyumi, NU vs HTI dll). Sejak lama NU antipati terhadap PKI. Menurut Greg Fealy dan Katharine McGregor dalam “Nahdlatul Ulama and the Killing of 1965-66: Religion, Politics, and Remembrance” (dimuat jurnal Indonesia 89, April 2010), sejak didirikan pada 1926, para pemimpin NU secara konsisten menentang komunisme, mencela doktrinnya sebagai ateis, serta cita-cita mengenai kepemilikan kolektif atas kekayaan dan properti sebagai laknat menurut ajaran Islam. Selain menjadi benteng sekulerisasi, NU juga dengan konsisten menentang propaganda bentuk negara khilafah yang sampai detik ini masih santer digaungkan oleh HTI Dkk.
Kedua, peran kader NU dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur juga tidak bisa dianggap sebelah mata.
Meski NU memberi andil besar dalam menyeimbangkan perjalanan kapal besar bernama Indonesia, perlu kiranya NU meng-upgrade diri agar tetap mampu mengendalikan kapal besar tersebut di tengah gelombang yang kian tinggi.
Sabda Rasulullah saw:
Tegaknya Negara ditunjang empat pilar:
Pertama bi’ilmil ulama (dengan ilmu ulama).
Kedua bi-adillatil umaro (dengan keadilan para pemimpin/pejabat/pemerintah/penguasa).
Ketiga bisaqoowatil aghniyaa. Peran para aghniya (orang-orang kaya)/para konglomerat yang memberikan kontribusi kepada bangsa dan negara.
Keempat, bidu’aail fuqoroo-i wal masaakiin, doanya orang-orang lemah.
Hadits Rasullullah di atas menjadi Grand design dalam mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sangat kokoh dipegang oleh Prof Dr KH. Asep Saefuddin Chalim MA (Ketua PP Pergunu/Putra Pendiri NU sekaligus Pengasuh Ponpes Amanatul Ummah). Beliau menguraikan, Kader NU kelak diharapkan menjadi ulama atau ilmuwan yang pendapatnya menjadi rujukan kaum birokrat dalam mengendalikan sistem ketatanegaraan. selain itu, Kader NU harus menjadi pemimpin yang menakhodai kapal besar Indonesia dan tetap pada jalur cita-citanya menuju adil dan makmur .
Selanjutnya, Kader NU harus menjadi konglomerat yang dermawan, merebut ruang-ruang dagang yang selama ini didominasi oleh kaum kapitalis. Menjadi harapan ketika rakyat kecil membutuhkan topangan agar tetap hidup.
Jika ketiga poin yang disebutkan sebelumnya tidak sepenuhnya mampu dilakukan, minimal menjadi tenaga profesional yang berkualitas dan bertanggung jawab di ruang-ruang kehidupannya masing-masing. Kader NU yang menjadi Guru, jadilah guru yang menginspirasi. Menjadi pedagang, jadilah pedagang panutan yang menjunjung tinggi nilai kejujuran. Yang menjadi Dokter, jadilah dokter yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Menjadi Budayawan, tetaplah mengawal kearifan-kearifan yang menjadi corak ke-bhinnekaan lewat konsep “al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah”. Menjadi rakyat biasa, jadilah rakyat yang senantiasa mendoakan tanah air.
Selama ini, NU masih terlena dengan kuantitasnya. Sudah saatnya menggunakan kuantitas tersebut sebagai wasilah terwujudnya cita-cita Indonesia merdeka. Karena itu, dimomentum 75 tahun Indonesia, semoga NU menjadi Oase ditengah dahaga ketidakadilan dan ketidakmakmuran, menjadi penawar ditengah dominasi virus sekulerisasi dan arabisasi. Empat poin di atas diharap menjadi pilar tegaknya keadilan dan kemakmuran di bumi pertiwi yang kita cintai ini.