Oleh: Dr Ibrahim, MA
Corona, benar-benar fenomena yang luar biasa sejak kemunculannya di Wuhan China pada akhir tahun 2019, hingga menjelang pertengahan tahun 2020 ini di berbagai negara, termasuk Indonesia. Ia bukan saja membuat resah banyak orang, menyita perhatian dunia, dan menjadi masalah bagi kesehatan global. Tapi juga mempengaruhi cara pandang, logika berpikir, bahkan “femahaman” sebagian kita umat beragama.
Sebagai problem kesehatan global dan menyita perhatian masyarakat dunia internasional, mungkin itu hal biasa dan disadari oleh banyak orang. Akan tetapi, ada hal luar bisas, yang kurang disadari oleh sebagian kita, kalau ternyata corona telah merubah cara pandang, logika berpikir, dan “femahaman” sebagian kita umat beragama. Bagaimana tidak, ada dari sebagian kita yang ingin menunjukkan “ketenangan dan keimanannya” dalam mengahadapi wabah ini dengan narasi, “jangan takut corona, takutlah kepada Allah”, “saya tidak takut corona, saya takut Allah”
Sekilas, pernyataan ini benar, sangat masuk akal. Karena sepantasnya hanya Allah lah zat yang patut ditakuti. Allah lah satu-satu tempat kita meminta. Allah lah sumber segala sesuatu dan semua makhluk kembali, termasuk kepasrahan diri kita. Tetapi sadarkah kita bahwa dengan pernyataan tersebut, kita sudah membandingkan Allah dengan makhluk-Nya. Dengan pernyataan tersebut kita sudah menyandingkan Allah sang pencipta dengan makhluk ciptaan-Nya (corona). Na`udzubillah., bukan ini sudah mendekati perbuatan syirik..
Bukankah Allah itu satu-satunya zat yang tiada tanding dan tiada bandingnya. Bukankah Allah itu Esa, yang tiada satupun menyerupai-Nya (baca Q.S. Al-Ikhlas: 1-4). Bagaimana mungkin kita yang mengaku diri beriman dan paling baik agamanya bisa membandingkan Allah dengan makhluk-Nya. Sungguh kemusyrikan yang nyata ketika kita menyandingkan (ketakutan kepada) Allah dengan (ketakutan kepada) makhluk-Nya. Naudzubillah.
Ketakutan kepada Allah niscaya membawa kita semakin dekat kepada-Nya. Ketakutan kepada Allah akan selalu menjadikan kita semakin berharap akan cinta dan rahmat-Nya (Q.S. 32: 16). Ketakutan kepada Allah justru membuka pintu rahmat dan ampunan dari-Nya. Ketakutan kepada Allah menunjukkan betapa tingginya derajat keshalehan dan ketakwaan seorang hamba kepada Tuhannya. Innamaa Yakhsyallaahu min `ibaadihil ulamaa (Sesungguhnya diantara hamba-hamba yang takut kepada Allah hanyalah para Ulama) (Q.S. 35: 28).
Sementara ketakutan kepada sesama makhluk niscaya akan membawa kita untuk menjauhinya. Ketakutan kita kepada kejahatan sesama makhluk mengharuskan kita untuk menghindar darinya. Ketakutan kita kepada sesama makhluk lebih disebabkan adanya faktor ancaman dan kemudharatan yang dibawa bersamanya. Dan, ketakutan kita akan kejahatan sesama makhluk membenarkan kita untuk melawannya.
Para Ulama kita, dengan ketinggian ilmu agamanya, dengan kewibawaan dan tauladan agamanya, tidak pernah menyerukan umat tidak perlu takut corona, sebagaimana konteks pernyataan sebagian dari kita hari ini. Justru, para ulamalah yang memberikan semangat bagi pemerintah dan semua komponen bangsa ini untuk bangkit melawan corona melalui fatwa-fatwanya. Seruan dan fatwa ulama lah yang mendasari lahirnya kebijakan dan himbauan untuk menghindari corona.
Ulama yang Allah muliakan dalam Al-qur`an, fatwa mereka seharusnya menjadi rujukan kita. Karena merekalah yang lebih memahami ilmu agama, dan mengagungkan Allah di atas segala makhluk Nya di muka bumi ini. Takut dan berharap kepada Allah adalah mutlak (kewajiban) bagi kita. Sebagaimana takut (dan menghindari) akan kemudharatan makhluk juga merupakan perintah Nya. Karenanya, ketakutan kepada makhluk (corona) seharusnya mengantarkan kita untuk lebih dekat (takut dan harap) akan pertolongan Allah Swt.
Dengan begitu, sangat tidak layak untuk kita membandingkan ketakutan kepada Allah dengan ketakutan kepada corona. Karena ketakutan kepada Allah tidak lah sama ketakutan kita kepada corona. Sebaliknya, ketakutan kepada corona bukanlah berarti bahwa kita tidak takut lagi kepada Allah Swt? Sama sekali tidak. Karena sesungguhnya subsansi takut kepada Allah sangat berbeda dengan substansi takut kepada corona. Takut kepada Allah membawa kita semakin dekat dan cinta kepada Nya. Karena di sana ada rasa takut dan penuh harap akan rahmat-Nya (Q.S. 32: 16). Sementara takut kepada Corona mengharuskan kita berikhtiar semaksimal mungkin menghindarinya.
Karena itu, membandingkan ketakutan kepada Allah dengan ketakutan kepada corona, bukanlah ciri sikap keta`atan dan ketinggian derajat dalam beragama. Membandingkan sesuatu yang substansinya sangat berbeda hanya akan menghasilkan kesesatan dan kekeliruan pemahaman. Membandingkan dan menyandingkan ketakutan kepada Allah dengan ketakutan kepada corona justru akan membawa kita kepada cara berfikir yang sesat dan menyesatkan, bahkan berpotensi sebagai perbuatan syirik. Na`udzubillah min dzaalik.
Saudaraku, mari perbanyak istighfar kepada Allah Swt., mumpung di hari dan bulan baik ini, suasana bulan Ramadhan yang penuh keberkahan dan ampunan dari-Nya. Mari kita perbaiki cara berpikir dan memahami, luruskan keimanan dan pengetahuan kita dalam beragama. Jangan sekali-kali kita membiarkan diri terjebak dalam cara berfikir dan memahami agama yang keliru. Cara berfikir yang justru mereduksi makna ke Maha Esaan Tuhan dibalik makhluk yang kita sandingkan kepada-Nya. Agama, sepatutnya menjadi penuntun kita dalam menjalani hidup menjadi lebih baik, lebih takut dan cinta kepada-Nya. Agama seharusnya menjadi semangat (ghirah-spirit) untuk kita menjalani hidup yang lebih berguna dan maslahat bagi kemanusiaan dan antar sesama. Pemahaman keagamaan yang baik seharusnya membawa rasa takut kita terhadap wabah menuju pada kecintaan yang lebih besar lagi kita kepada (rahmat dan perlindungan) Allah Swt. Wallahu a`lamu (Villadamai #dirumahaja