Oleh: Dr.Ibrahim, MA
Ketua LTN PWNU Kalbar
Tawakkal, adalah salah satu narasi yang paling sering kita dengar akhir-akhir ini. Narasi ini muncul bukanlah semata-mata wujud dari pemahaman dan pengamalan ajaran agama yang sesungguhnya sebagaimana dianjurkan dalam al-qur`an dan hadis. Narasi tawakkal muncul lebih sebagai satu bentuk ekspresi sebagian masyarakat kita menghadapi situasi dan kondisi pandemi covid 19 yang sedang melanda bangsa ini dan masyarakat dunia. Lebih jelasnya, narasi tawakkal tersebut seringkali dimunculkan sebagai sebuah sikap yang cendrung menafikan ikhtiar dan upaya bersama dalam mengatasi penyebaran wabah virus corona yang semakin mengancam keselamatan umat manusia.
Ambil contoh, sejak sebulan terakhir kasus penyebaran virus corona sudah melanda di hampir semua penjuru negeri ini. Dari hari ke hari penambahan kasus positif terus bertambah dengan sangat cepat dan signifikan, termasuklah angka kematian yang tinggi yang menempatkan Indonesia di peringkat tertinggi Asean. Sejak itu pula kasus ini menjadi perhatian pemerintah untuk mengatasinya. Berbagai sumber daya negara, keuangan hingga kebijakan difokuskan untuk menghentikan penyebaran wabah virus ini. Himbauan untuk menjaga kesehatan, rajin cuci tangan, berdiam diri di rumah, menjaga jarak (social/ phsycal distancing), menghindari kerumunan orang ramai, hingga kebijakan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) adalah satu upaya yang terus digalakkan oleh pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran Covid 19.
Tapi apa yang kita lihat dalam kehidupan hari-hari masyarakat kita. Jalanan masih ramai dengan lalu lalang orang berkendaraan. Tempat hiburan malam, pasar, mall dan warung kopi masih dipenuhi dengan pengunjung. Bahkan fatwa Ulama yang menganjurkan untuk meniadakan shalat jum`at berjamaah di masjid sepertinya tak berfungsi (tak dipatuhi) oleh sebagian masyarakat kita. Salah satu narasi yang sering dimunculkan adalah, “tawakkal jak kita pada Allah, kalau memang dah sampai waktu mati, matilah kita. Kalau belum waktunya, kita tak kan apa-apa kok”.
Sekilas, tidak ada masalah dengan ungkapan tersebut. Narasi itu benar. Tetapi apakah bisa dibenarkan jika narasi tersebut dihadapkan dengan sikap yang bertolak belakang dari sebagian besar masyarakat kita yang cendrung mengabaikan himbauan pemerintah untuk tetap tinggal di rumah dan menjaga jarak. Apakah benar sebuah tawakkal terhadap penularan penyakit dengan tidak mengindahkan aturan keselamatan diri sebagaimana dianjurkan oleh pemerintah. Apakah benar dengan tawakkal seperti itu kita dan masyarakat kita akan terhindar dari terpapar virus? Disinilah kita melihat ada yang keliru dalam menggunakan narasi tawakkal. Karena itulah kita penting untuk memahami ajaran Islam tentang tawakkal yang sebenarnya.
Dari sekian banyak ayat dan hadits yang berbicara tentang tawakkal, setidaknya kita bisa ambil satu pelajaran dari Q.S. 3 ayat 159, Allah berfirman; …Faidzaa `azamta, fatawakkal `alallaah.. (..Apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkal kepada Allah…”).
Menurut Imam Hambali, tawakkal merupakan perbuatan hati. Artinya, tawakkal bukanlah sesuatu yang diucapkan oleh lisan semata. Bukan pula sesuatu yang dilakukan oleh anggota tubuh. Tetapi sekali lagi, tawakkal merupakan perbuatan hati sehingga tidak bisa diwujudkan dalam bentuk fisik, seperti berdiam diri tanpa melakukan sesuatu ikhtiar lahiriah. Oleh karena itu tawakkal sesungguhnya tidak meniadakan ikhtiar. Tawakkal senantiasa berdiri di atas ikhtiar seorang hamba.
Rasulullah pernah mengajarkan konsep tawakkal yang sebenarnya. Tawakkal yang harus didahului dengan ikhtiar, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban; “Ikatlah untamu, dan bertawakkal lah”.
Artinya bahwa, seseorang tidak bisa berharap untanya akan tetap aman, tidak akan hilang, jika tidak ada ikhtiar yang dilakukannya dengan terlebih dahulu mengikatnya. Kita juga tidak mungkin berharap akan perubahan hidup, jika tiada upaya dan ikhiar sungguh-sungguh yang kita lakukan, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. 13: 11 (Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum mereka merubah nasibnya sendiri)
Terkait dengan penyebaran virus corona, kita tidak lantas berserah diri kepada Allah begitu saja, tanpa melakukan ikhtiar nyata agar terhindar dari penularan virus. Mematuhi semua ketentuan keselamatan diri sebagaimana dianjurkan oleh pemerintah itulah diantara ikhtiar-ikhtiar yang harus kita lakukan secara baik, benar dan berdisiplin.
Setelah semua ikhtiar lahiriah dan bathiniah itu kita lakukan dengan sungguh-sungguh, barulah kita pasrahkan persoalan wabah virus ini kepada Allah dengan keyakinan bahwa ketentuan Allah adalah yang terbaik. Dengan tawakkal yang benar seperti ini, maka kita akan mampu mengintegrasikan tawakkal dengan ikhtiar dan doa kepada Allah Swt, lebih-lebih dalam menghadapi situasi pandemi saat ini. Dengan kata lain, tawakkal yang sesungguhnya bukanlah kepasrahan diri yang buta dan tampa upaya ikhitar nyata, sebagaimana narasi “tawakkal” yang keliru pada sebagian masyarakat kita akhir-akhir ini. Wallahu`alamu bish shawab (20/04/20)