Oleh: Dr Yusriadi, MA
Ketua ISNU Kalbar
Ketika corona mulai mewabah, kita diminta menghindari keramaian. Kita diminta menjauhi kerumunan dan persentuhan dengan orang banyak. Istilah “social distancing” dan kemudian “phsysical disntancing” diperkenalkan sebagai kosakata dan prilaku “baru” dalam kehidupan sosial kita.
Tetapi, tidak semua orang mematuhinya. Dengan berbagai alasan dan argumentasi, sejumlah orang “membandel”, mengabaikan permintaan pemerintah itu. Bahkan, ada yang memperolok dan menjadikan permintaan jaga jarak sebagai “mainan”.
Justru itu, ironinya, sebagian orang sepertinya malah menantang pemerintah. Mereka tidak patuh dan mengajak orang lain untuk tidak patuh juga. Mereka menampakkan ketidakpatuhan itu kepada orang lain.
Alhasil, laju corona menjadi luar biasa. Jangkitan dari satu orang kepada orang lain terus terjadi. Lalu, jumlah orang yang terserang virus mencapai ratusan juta, dan kematian ratusan ribu di seluruh dunia.
Ketika wabah corona telah menyebar ke seluruh negara, dan laporan setiap hari menunjukkan perkembangan wabahnya luar bisa, sedangkan di sisi lain petugas kesehatan merasa kewalahan, kepatuhan memang agak lebih baik. Tetapi, tetap saja ada yang tidak percaya pada apa pun tentang corona ini. Bahkan, kesan menantang menjadi-jadi. Mereka dengan sombongnya memperlihatkan diri sebagai orang yang berani pada pemerintah dan pada corona. Mereka merasa kebal dan tidak takut mati. Sikap mereka ini menunjukkan mereka juga tidak takut menjadi penyebar virus itu kepada orang lain, dan tidak peduli pada orang di sekitarnya.
Hari ini, di awal-awal puasa ini kita lihat dan dengar, kegiatan berkumpul massa dan jamaah masih tetap ada. Bahkan, di pasar-pasar, keramaian yang ditunjukkan orang yang berjualan dan berbelanja, masih kurang lebih seperti biasa. Di beberapa masjid kegiatan jamaah tetap diselenggarakan.
Padahal, jika mereka menganggap kegiatan berbelanja dan beribadah di masjid tidak bisa ditinggalkan, mestinya, protokol kesehatan diperhatikan. Kelengkapan cuci tangan, masker, dipakai. Konsep jaga jarak, juga diikuti.
Mengapa sebagian dari kita begitu keukeuh dengan sikap abai itu? Ada beberapa alasan sebenarnya. Pertama, beberapa orang memang sudah terlanjur tidak percaya pada pemerintah. Apapun yang dilakukan tidak ada yang benar. Apapun anjuran pemerintah mereka anggap sebagai angin lalu. Perintah untuk menaati Allah, Rasul dan Ulil Amri, mereka abaikan.
Kedua, beberapa orang memang orang yang sombong dan keras kepala. Mereka memang memiliki kepribadian sombong dan “keras”. Prilaku seperti itu memang selalu ada sejak zaman dahulu. Justru itu, banyak sekali dicontohkan dalam Alquran mengenai orang seperti ini.
Ya,kalau mereka bukan keras kepala dan sombong, tidak ada alasan untuk tidak patuh kepada pemerintah, sebagai ulil amri dan bagian dari “para ahli”. Bagaimana kita bisa mengabaikan fakta tentang kematian yang luar biasa setiap hari?
Dalam soal ibadah ini, anjuran untuk beribadah di rumah sudah disampaikan pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia. Lembaga yang selama ini dipatuhi, bahkan dibela-bela –Ingat ada gerakan membela fatwa ulama, sudah memberikan keputusan, dan di sana juga disertakan dalil-dalil yang jelas.
Lagi pula, pilihan menghindari kerumunan dalam ibadah juga ambil banyak tempat. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di tanah Arab, pusat Islam dunia. Masjid Haram, sudah ditutup untuk kegiatan ibadah berjamaah sejak beberapa waktu lalu.
Lalu, mengapa tidak bisa menahan diri dan menjauhi kerumunan? Mengapa kita tidak bisa beribadah di rumah? Mengapa kita tidak bisa beribadah sendiri dalam situasi darurat ini?
Mungkin pembacaan terhadap perjalanan spiritual Nabi Muhammad, dan para ulama wara’, serta kaum sufi, membantu kita menemukan jawabannya.