Oleh: Dr.Ibrahim. MA
Ketua LTN PWNU Kalbar / Dosen IAIN Pontianak
Budaya itu dinamis. Itulah perkataan yang sesuai untuk menjelaskan mengenai perkembangan, pergeseran, bahkan perubahan budaya pada suatu masyarakat. Ada banyak faktor yang mendasari perubahan budaya hidup pada sesebuah masyarakat, antara lain adalah perubahan gaya hidup dan sistem sosial perkampungan ke gaya hidup dan sistem sosial perkotaan.
Banyak ahli sosiologi dan antropologi yang mendukung tesis bahwa umumnya masyarakat pedesaan menganut sistem sosial kekeluargaan, tolong menolong dan kerjasama yang tinggi tanpa pamrih. Sebaliknya, justru masyarakat perkotaan lebih menganut sistem sosial yang transaksional materialistik, rendahnya tolong menolong, kerjasama dan kepedulian sesama. Lo elo, gue gue, begitulah kata anak gaul di Jakarta.
Pengalaman hari ini, di sebuah upacara budaya di sebuah kota kecamatan pesisir perbatasan, mengingatkan saya dengan tesis budaya desa dan kota.
Dalam sistem sosial budaya perkampungan, semua masyarakat, kaum kerabat dan tetangga dekat bisa bahu membahu bekerjasama, bergotong royong, dan untuk menyiapkan-menyelenggarakan upacara tersebut. Mereka bisa berbagi peran dan tanggung jawab dengan baik, arif dan bijak atas nama tolong menolong dan kebersamaan (tanpa pamrih).
Tapi hari ini, dalam upacara yang saya saksikan disini, nilai-nilai tersebut tidak lagi saya temui. Tidak lagi tampak kebersamaan dan kerjasama antar warga kecuali dalam tugas yang sifatnya transaksional. Setiap pekerjaan sudah dibagi berdasarkan hitung-hitungan secara ekonomi (upah), mulai dari tukang masak hingga pencuci piring. Singkatnya, tidak ada pekerjaan yang gratis. Apakah ini tidak boleh, atau tidak baik? Bukan itu persoalannya. Masalahnya, apakah kita benar sudah siap dengan perubahan ini? Siap secara budaya, siap secara ekonomi transaksional.
Di tempat ini (lokasi upacara) yang dulu saya kenal dengan budaya sosial perkampungan yang tinggi (ikhlas dan tolong menolong), hari ini sudah berubah menjadi sistem sosial perkotaan yang sangat transaksional. Dahulu, nilai sosial kebersamaan, kerjasama dan tolong menolong menjadi perekat hubungan sosial antar masyarakat, hari ini nilai-nilai tersebut seakan sirna oleh sistem sosial transaksional.
Kalau dulu memberikan pekerjaan tertentu atas dasar ketulusan hati dan kekeluargaan, sekarang pekerjaaan dihitung berdasarkan nilai upah (transaksional).
Sebagai orang yang tumbuh dalam budaya dan sistem sosial perkampungan, tentu sangat terasa perubahan itu. Tapi apa mau dikata, begitulah substansi dari realitas dinamika budaya, suatu kondisi yang memungkinkan adanya perubahan dan perkembangan, dari sistem sosial perkampungan yang sangat kekeluargaan menjadi sistem sosial perkotaan yang transaksional.
Anda cendrung yang mana? Pilihan merdeka ada pada setiap kita untuk ikut atau tidak perubahan itu. Adakah kita sudah siap dengan segala konsekwensi dari dinamika budaya tersebut…? Khususnya untuk “kota kecil”, “kota baru” di kawasan perbatasan, Badau. Wallahu a;lam
*Temuyuk, Ujung Timur Kalimantan Barat, 26/12/2018