M Kholid Syeirazi
Sekretaris Jenderal PP ISNU
Seri-1
Pengantar
Radikalisme ada pada semua agama, tetapi dalam Islam, radikalisme atau fundamentalisme terbukti memainkan peran politik terpenting sejak abad ke-18 (Barber, 1995: 206). Radikalisme dan fundamentalisme, sebagai istilah, sering bertukar tempat karena bermuara pada satu ide: menjalankan agama sampai ke akar-akarnya, mendasarkan seluruh aspek kehidupan kepada agama. Kaum fundamentalis Islam umumnya menganggap Islam adalah agama sempurna yang mencakup kerangka acuan semua aspek kehidupan— duniawi dan ukhrawi—mengatur manusia sejak dari cara makan, tidur, bersuci, beribadah, berniaga, hingga bernegara. Mereka menganggap aturan bernegara sama bakunya dengan ketentuan syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji. Ketentuan ibâdah dan siyâsah sama-sama tawqîfî (doktriner). Menjalankan rukun Islam tidak sah tanpa menegakkan kepemimpinan politik Islam. Persoalan politik dan nashbul imâmah, menurut mereka, termasuk pokok dan rukun agama (ركن من اركان الدين واصل من اصوله). Meragukan apalagi mengabaikan nizâm Islâm berkonsekuensi membatalkan status keislaman seseorang. Tradisi takfir bermula dari paham politik Khawarij yang memutlakkan pandangan politik-agama dan menggemakan jargon: لا حكم الا الله (tidak hukum selain hukum Allah).
Dalam sejarah Islam, radikalisme bersumber dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah doktrin dan ideologi, faktor eksternal adalah imperialisme atau persepsi imperialisme dan ketidakadilan yang merundung umat Islam. Narasi ini akan menggali sumber internal radikalisme dengan melacak akar doktinernya pada paham salafi yang berkembang di Timur Tengah sejak abad ke-12 M dan mengeras menjadi ajaran salafi-jihadi pada abad ke-20 M. Pengaruh ideologi salafi dan salafi-jihadi meluas hingga ke Indonesia dan menjadi tantangan terhadap kemajemukan dan kelangsungan NKRI.
Bahan Baku Radikalisme
Secara internal, radikalisme bermuara dari doktrin kesempurnaan dan keserbamencakupan Islam (شمولية الاسلام). Islam sempurna, karena itu tidak perlu ditambah dan dikurangi. Ajarannya mencakup semua, karena itu tidak perlu mencari tuntunan dari luar Islam. Contoh terbaik dari kesempurnaan Islam adalah praktek kehidupan generasi salafus shâlih. Mereka adalah tiga generasi terbaik dalam rentang tiga abad sejak zaman Nabi dan Sahabat, Tâbi’în, hingga Tâbiu’t Tâbi’în. Sahabat adalah mereka yang bertemu Nabi dan mengakui risalahnya. Tâbi’în adalah mereka yang tidak bertemu Nabi tetapi bertemu Sahabat. Tâbiu’t Tâbi’în adalah mereka yang tidak bertemu Nabi dan Sahabat tetapi bertemu dengan Tâbi’în. Nabi bersabda:
«خير الناس قرني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم»
“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian masa sesudah mereka, kemudian masa sesudah mereka.” (HR. Bukhari-Muslim).
Tercakup dalam masa itu adalah para pioneer madzhab-madzhab fikih Islam seperti Imam Hanafi (80 -148 H), Imam Maliki (93 – 179 H), Imam Syafi’i (150 – 204 H), dan Imam Hanbali (164 – 241 H) serta pemuka aliran teologi Islam Imam Abu Hasan al-Asyari (260 – 324 H).
Sebenarnya seluruh golongan Islam yang mengakui dan mengikuti madzhab adalah salafi. Namun, belakangan, salafi merujuk kepada gerakan salafisme yang dilancarkan Ibn Taimiyah (661 – 728 H/1263 – 1328 M), pembela ortodoksi Islam yang paling keras. Bermadzhab Hanbali dan cenderung tekstualis, Ibn Taimiyah adalah pemuka puritanisme Islam, sebuah paham absolutis yang tak kenal kompromi dalam beragama dan cenderung memandang realitas pluralis sebagai suatu bentuk kontaminasi atas kebenaran sejati (Abou El Fadl, 2007: 29). Ibn Taimiyah sangat menentang pratek keagamaan sufi dan tarekat yang dituding sarat bid’ah dan kemusyrikan. Dia juga menolak pemerintahan manusia (human rule) dan bahwa kepemimpinan politik harus berdasarkan syariah.
Hidup di masa politik bergolak akibat invasi bangsa Tartar, pena Ibn Taimiyah setajam pedangnya. Fatwa-fatwa Ibn Taimiyah menjadi rujukan hampir seluruh kaum fundamentalis Muslim dan gerakan radikal jihadis kontemporer (Bonney, 2004: 111; Tibi, 1998: 38). Fatwa Ibn Taimiyah yang paling populer adalah fatwa Il-Yasiq. Il-Yasiq (Vassa/Great Zasag Law) adalah hukum kompilasi Mongol yang dibuat Genghis Khan, diberlakukan oleh Mahmud Ghazan Khan (1271 – 1304 M), penguasa Mongol ke-7 yang telah masuk Islam di area Syam. Menurut Ibn Taimiyah, meskipun Muslim, Ghazan Khan tetap wajib diperangi karena memberlakukan selain hukum Allah. Kata Ibn Taimiyah (Ibn Katsir, 1988: 24):
« إذا رأيتموني من ذلك الجانب وعلى رأسي مصحف فاقتلوني»
“Jika kalian lihat aku di sisi pasukan Tartar, bunuhlah aku
meskipun di atas kepalaku terdapat mushaf.”
Fatwa Il-Yasiq ini terkenal dan menjadi rujukan kaum jihadis untuk memerangi setiap penguasa yang menolak mengadopsi hukum Islam, meskipun dia seorang Muslim. Namun, tidak seorang pun yang menerapkannya untuk menilai realitas masa kini hingga Abdus Salam Farag melakukannya (As-Siba’i, 2002: 8). Farag adalah pentolan Jama’ah Jihad Mesir yang mengotaki pembunuhan Presiden Anwar Sadat pada 1981.
Ajaran Ibn Taimiyah menjadi gerakan revolusioner di tangan
Muhammad ibn Abdul Wahhab (1115 – 1206 H/ 1701 – 1793 M). Beraliansi dengan Muhammad Ibn Saud (1710 – 1765 M), kepala suku Dir’iyah, Wahhabisme memulai aktivitas takfir berdarah untuk memurnikan tauhid dan ritual umat Islam. Pada era 1700-an, Wahhabisme melakukan serangkaian pembunuhan dan penjarahan di seluruh wilayah Arabia. Pada 1802, aliansi Saud-Wahhab menyerbu Karbala dan membunuh sebagian besar kaum Syiah serta merampas properti, senjata, baju, karpet, emas, perak, dan mushaf al-Qur’an (Algar, 2002: 23-25).
Belasan tahun setelah wafatnya Ibn Abdul Wahhab, Wahhabisme masuk ke tanah air melalui tiga orang Minangkabau yang pulang haji pada 1803 M dan membawa ajaran salafi. Mereka adalah Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Mereka membentuk kaum Padri yang keras memerangi praktek bid’ah dan khurafat serta mengobarkan jihad melawan kaum Adat. Orang yang tak mau tunduk dibunuh, surau-suraunya diserang dan dibakar (Parlindungan, 2007). Perang saudara bergolak selama dua puluh tahun (1803-1823 M). Pada 1825, di bawah kepemimpinan Tunku Imam Bonjol, Kaum Padri dan Kaum Adat berkompromi dan menghasilkan semboyan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
Ajaran purifikasi muncul kembali dalam sejumlah ormas Islam yang dibentuk menjelang Indonesia merdeka yaitu Muhammadiyah (1912), Al-Irsyad (1914), dan Persis (1923). Dakwah mereka di satu sisi adalah memerangi TBC (tahayul, bid’ah, dan churafat) dan mewujudkan “Islam murni” sehingga bisa disebut salafi. Di sisi lain, mereka ingin umat Islam maju dan mengambil aspek tertentu dari kemajuan Barat sehingga disebut kaum modernis. Kiblatnya adalah gagasan-gagasan tajdid Islam Jamaludin al-Afghani (1838 – 1897 M), Muhammad Abduh (1849 – 1905 M), dan Rashid Rida (1865 – 1935 M).
Gerakan reformisme Islam Abduh menimbulkan gelombang sekularisasi politik dan agama. Sejumlah murid Abduh, seperti Saad Zaghlul, mendirikan Partai Wafd yang berhaluan nasionalis sekuler. Alî Abd Râziq menulis buku Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm yang mendukung langkah Ataturk menghapuskan Khilâfah dan menyatakan bahwa agama tidak berurusan dengan politik. Resah dengan gelombang sekulerisasi, Rashid Rida lantas “mewahabikan” kembali gerakan tajdid Abduh dan menghadirkan ulang Ahmad ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah (Hanafi, 1989: 21). Pembelotan Rida terhadap tradisi reformatoris Abduh kelak menyiapkan jalan bagi lahirnya Al-Ikhwan al-Muslimûn (IM), induk organisasi militan yang didirikan muridnya, Hasan al-Banna, pada 1928.
Kaum modernis Islam goncang di antara salafisme yang menuntut purifikasi dan modernisme yang mengakui segi positif kemajuan Barat. Di Indonesia, aspirasi mereka adalah formalisasi syariat Islam. Ini diperjuangkan oleh para tokohnya seperti Ahmad Hasan dan Muhammad Natsir (Persis) serta KH. Agus Salim, Ki Bagus Hadikusuma, dan Abdul Kahar Muzakir (Muhammadiyah) yang gigih membela konsep negara Islam sepanjang tahun 1920-an hingga 1945. Gagasan ini juga didukung oleh KH. A.Wahid Hasyim (NU) dan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (Partai Syarikat Islam Indonesia/PSII) yang punya latar belakang keagamaan tradisional. Perjuangan ini berhasil melalui Piagam Jakarta 22 Juni 1945, tetapi tujuh kata berbunyi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” itu berumur pendek: didrop sehari setelah Indonesia merdeka demi menghindari perpecahan dan keberatan dari rakyat Indonesia Timur.