M Kholid Syairozi
Sekretaris Jenderal PP ISNU
Baca : Anatomi Radikalisme di Indonesia : Sebuah Pengantar (Sesi 1)
Cita-cita mendirikan negara Islam belum redup dengan konsensus 1945. Empat tahun setelah proklamasi, SM Kartosoewirjo, bekas aktivis PSII yang bergabung ke Masyumi, memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) atau Darul Islam (DI) di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 7 Agustus 1949. Dalam proklamasi NII disebutkan bahwa “Negara berdasarkan Islam” dan “Hukum yang tertinggi adalah Al-Qur’an dan Sunnah” serta menolak berlakunya “hukum kafir.” NII mengadopsi tauhid hâkimiyah yang menegaskan bahwa Darul Islam adalah manifestasi “kerajaan” Allah di Indonesia yang di dalamnya ditegakkan hukum Allah, karena itu siapa pun yang menolak masuk berarti keluar dari Islam (Dijk, 1981). Ormas Islam lain, meskipun punya kesamaan cita-cita mendirikan negara Islam, menolak jalur subversif dan lebih memilih jalur parlementer konstitusional. Muhammadiyah, misalnya, dalam Muktamar ke-32 di Purwakarta tahun 1953 membentuk panitia yang diserahi tugas menyusun Konsepsi Negara Islam di bawah kepemimpinan Abdul Kahar Muzakir. Konsep itu selesai dua tahun kemudian dan diperjuangkan melalui Partai Masyumi (Syaifullah, 1997: 99).
Keberadaan Masyumi menyediakan saluran konstitusional-parlementer untuk menampung aspirasi pendirian negara Islam. NU, sejak keluar dari Masyumi tahun 1952, juga masih menyuarakan aspirasi Islam sebagai dasar negara di forum-forum Konstituante (1956-1959). Tetapi, bersamaan dengan deklarasi kembali ke Khittah 1926 sebagai ormas non-politik, NU menegaskan NKRI final pada Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984. Menurut NU, NKRI adalah final perjuangan umat Islam mendirikan negara dan seluruh aspirasi umat Islam harus diperjuangkan dalam kerangka NKRI.
Komando Jihad
Obsesi membentuk Negara Islam tidak pernah pudar. Setelah ditumpas TNI dan SM Kartosoewirjo dieksekusi mati pada 5 September 1962 di Kepulauan Seribu, bekas pengikut DI/NII mencoba mengonsolidasi diri. Pada 1 Agustus 1962, sejumlah tokoh utama DI/NII seperti Adah Djaelani, Danu Muhammad Hasan, Tahmid Rahmat, Dodo Muhammad Darda, Ateng Djaelani, dan Djaja Sudjadi melakukan ikrar kesetiaan kepada Republik Indonesia. Kenyataannya, mereka masih terobsesi mendirikan Negara Islam. Reuni untuk menghimpun kembali kekuatan terserak itu digelar di kediaman Danu Muhammad Hasan, ayah bekas Ketua Dewan Syura PKS Hilmi Aminudin, pada 21 April 1971 di Jalan Madrasah 240, Situaksan, Bandung. Acara disponsori BAKIN yang punya agenda memobilisasi seluruh eks DI/NII agar mendukung Golkar (Solahudin, 2011: 87).
Pada 1973, eks aktivis DI/NII, dalam sebuah pertemuan di Jalan Mahoni, Tanjung Priok, Jakarta Utara, mengangkat Daud Beureueh sebagai Imam Jamaah DI. Disebut Jamaah karena DI/NII secara faktual tidak lagi punya basis teritorial (qâidah amînah). Pada 1974, Daud Beureueh mendeklarasikan jihad menegakkan syariat Islam di Indonesia. Di Jawa, sebagai pengondisian jihad, Danu Muhammad Hasan melakukan propaganda dengan isu-isu hoax seputar kristenisasi dan ancaman Cina-komunisme. Dipropagandakan, antara lain, bahwa Komunis Internasional akan melakukan kudeta paling lambat pada 1980 dan bahwa saat ini 50 ribu tentara komunis telah berhasil disusupkan, 50 ribu lagi akan masuk dari Hongkong sebagai imigran gelap, dan 2 juta orang akan menyusul melalui Serawak (Solahudin, 2011: 121). Di Sumatera, anak buah Gaos Taufik (KPWB Sumatera) melakukan aksi teror dan perampokan di Bukit Tinggi, Medan, dan Padang. Di Jawa Barat, Aceng Kurnia (KPW 7) membentuk Pasukan Berani Mati. Di Jawa Timur, Hispran (Wakil KPWB) membentuk pasukan sabotase untuk merusak berbagai fasilitas publik.
Aksi mereka tercium aparat. Pada Januari 1977, para aktivis Jamaah DI/NII di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera diciduk aparat, termasuk Danu Muhammad Hasan, Hispran, Dodo Muhammad Darda, Ateng Djaelani, Zainal Abidin, Mahmud Ghozin, dan Kadar Faisal. Total anggota Jamah DI/NII yang ditangkap mencapai sekitar 700 orang. Imam Jamaah DI/NII, Daud Beureueh, menjalani tahanan rumah di Jakarta sejak 1978. Aparat menyebut gerakan mereka sebagai Komando Jihad.
Regenerasi Berlanjut
Penangkapan besar-besaran awal 1977 tidak menyentuh JPM (Jama’ah Pemuda Mujahidin), organ DI/NII yang dibentuk untuk merekrut anggota dari masjid kampus, ormas pemuda Islam, pemuda masjid, dan masyarakat umum, terutama di Jawa Barat. JPM berhasil merekrut sejumlah aktivis Pemuda Muhammadiyah di Bandung seperti Mursalin Dahlan (Mahasiswa Teknik Kimia ITB, inisiator program pesantren kilat BPMI/Badan Pembangunan Muslimin Indonesia, mantan Ketua IMM Jawa Barat), Heri Haryadi, dan Udin Wahyudin. DI/NII juga mendapat tambahan tenaga dari eks-aktivis GPI dan PII seperti Aja Jarul Alam, Djaja Budi Rahardja alias Edi Raidin, dan Aep Saiful Bachtiar. DI/NII juga berhasil merekrut kader dari Badan Koordinasi Pemuda Masjid (BKPM) seperti Saud Efendi dan Idang Saiful Hidayat yang merupakan alumni program Latihan Mujahid Dakwah (LMD) Masjid Salman ITB yang dimentori Dr. Imadudin Abdurrahim (Solahudin, 2011: 122-23).
Di Jawa Tengah, DI/NII berhasil merekrut Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir, bekas pengurus Al-Irsyad dan DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) dan Haji Faleh, bekas pengurus Masyumi Kudus. Di Jawa Timur, DI/NII berhasil merekrut Kirom alias Ning Azimah (aktivis Pemuda Muhammadiyah Lamongan) dan Ahmad Ali Hasan Matali (aktivis Muhammadiyah Sidoarjo). Di Sumatera, DI/NII berhasil merekrut Timsar Zubil (aktivis PII Medan) dan Bardan Kindarto (aktivis Muhammadiyah Palembang).
Proses rekrutmen DI/NII di lingkungan Islam modernis-salafis pecahan Masyumi dapat berjalan baik selain karena kesamaan paham salafi, juga akibat otoriterisme rezim Soeharto yang dicap anti-Islam. Ketika aspirasi politik tersumbat, sebagian mereka memilih jalur subversif untuk merealisasikan cita-cita menegakkan syariat Islam. Situasi represif juga menyuburkan lahan berseminya ideologi jihad.
Beberapa pentolan DI/NII yang lolos dari penangkapan awal 1977 seperti Aceng Kurnia, bekas ajudan SM Kartosoewirjo, Adah Djaelani, Rahmat Basuki, Ules Sujai, dan Toha Mahfud mereorganisasi Jamaah DI menjadi gerakan bawah tanah dengan sistem sel tertutup yang tidak saling berhubungan. Konsep hijrah SM Kartosoewirjo—pindah ke tempat aman untuk menyiapkan jihad—dihidupkan lagi.
Pada 1 Juli 1979, Adah Djaelani diangkat sebagai pemimpin pelaksana Jamaah DI/NII. Imamnya masih Daud Beureuh, meskipun tidak efektif karena sakit dan menjalani tahanan rumah. Untuk membiayai kegiatan, Adah Djaelani memerintahkan anggotanya melakukan aksi fa’i alias perampokan. Dipimpin Warman, raja fa’i asal Garut, perampokan dilakukan di Bandung, Malang, Majalengka, dan Ciamis. Aksi fa’i tercium aparat yang segera memburu para pelaku dan menangkap pimpinannya, termasuk Adah Djaelani dan Aceng Kurnia yang ditangkap pada 1981. Adah baru bebas tahun 1994.
Bersambung…