Home / Opini / Pesta Tahun Baru dan Cermin Standar Keimanan

Pesta Tahun Baru dan Cermin Standar Keimanan

Oleh: Ach. Tijani*)
Momentum pergantian tahun menjadi suatu kesempatan yang banyak diisi oleh masyarakat dunia dengan beragam pesta. Pesta kembang api yang menghiasi langit pada akhir dan awal tahun baru menjadi salah satu genre pesta paling populer yang hampir terjadi di sejumlah belahan negara di dunia ini. Berikutnya ada juga deru bunyi terompet yang terdengar di setiap sudut kota yang ditiup oleh anak-anak dan pemuda, sebagai bentuk ekspresi kebahagiaan menyambut pergantian tahun.

Pesta pisah sambut tahun tersebut berjalan cukup natural dan sungguh tiada unsur adanya pelecehan apapun terhadap bentuk kepercayaan dan keimanan. Pesta tersebut murni sekadar melepas penat dari berbagai kesibukan selama setahun, sembari sebagian orang menggunakan momentum tersebut hanya sekadar menaruh berbagai ekspektasi pada tahun baru tersebut. Walau demikian, rangkaian pesta tahun baru itupun adalah suatu pilihan yang terbuka untuk dipilih atau meninggalkannya sama sekali.

Di Indonesia, pesta tahun baru dapat dikatakan cukup meriah. Letupan kembang api dan deru suara terompet nyaris terdengat pada setiap sudut kota. Apalagi di awal tahun baru pemerintah meberlakukan libur nasional, sehingga para pegawai dan sejumlah lembaga pendidikan juga libur tidak melaksanakan proses pembelajaran formal. Kondisi tersebut membuka kesempatan bagi mereka yang sedang libur untuk dapat bergabung dan larut dalam pesta tahun baru.

Sungguhpun pesta tahun baru tersebut adalah pilihan dan hanya sekadar melepas penat, namun fenomena tersebut mendapat perhatian serius oleh sebagian kalangan dan menempatkannya pada segmen yang sangat terdalam pada kehidupan manusia. Persoalan tahun baru yang semula sekadar lonjakan ekspresi, kemudian bergeser menjadi isu teologis yang mendikotomikan pada klasifikasi hitam putih.  Bentuk dikotomis yang cukup ekstrem yang berkembang di kalangan muslim adalah bahwa budaya pesta tahun baru adalah milik kafir dan bukan budaya Islam.

Konsekuensi pemahaman hitam putih ini adalah hal yang lumrah untuk suatu fenomena yang tergolong baru di dalam Islam. Segala yang baru, baik yang muncul dari budaya umat Islam sendiri, apalagi budaya yang lahir secara generik di luar rahim peradaban Islam, tuduhan bid’ah, sesat dan kafir sudah menjadi konsekuensi yang tidak dapat dilekkan. Fenomena pesta tahun baru yang secara kasat mata memang tidak ada sisi historositasnya  dan tidak ada teks preskriptifnya, maka dapat dipastikan tidak hanya akan mendapatkan justifikasi bid’ah bahkan akan sampai pada justifikasi syirik dan kafir.

Cukup berat memang bagi seorang muslim untuk hanya sekedar meniup terompet berkespresi dalam melepas penat sambil melihat letupan warna-warni kembang api di langit akhri dan awal tahun, kemudian harus berujung dengan tuduhan kafir. Sementara di sisi yang lain kebejatan yang jauh lebih parah, seperti korupsi, upaya memecah persatuan bangsa, upaya makar dan pelanggaran hukum lainnya tidak pernah sampai pada tuduhan dosa yang tidak dapat diampuni tersebut.

Hanya bermodal term tasyabuh lalu semua atribut kesalehan yang melekat pada indvidu muslim menjadi gugur hanya karena menyaksikan kemeriahan tahun baru. Tuduhan ini terlalu terburu-buru yang menepikan upaya pembacaan komprehensif, sehingga tidak dapat diketahui mana yang ajaran dan mana yang sekadar ekspresi kemanusiaan.

Dalam banyak hal, persoalan keserupaan dalam bentuk fisik tidak dapat diterima seratus persen pada keserupaan dalam esensi. Sebagai contoh, bentuk rumah ibadah Islam dan Kristen mempunyai keserupaan yang dekat. Bahkan di Pontianak Gereja Katedral Santo Yosef mempunyai kubah yang sangat indah, tidak kalah indahnya dengan kubah-kubah masjid di Islam. Lalu apakah gereja Santo Yosef adalah bagian dari masjid atau masjidkah yang menyerupai gereja?. Jawaban dari pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan merujuk pada fisiknya, akan tetapi yang membedakannya ada pada esensinya.

Sungguh beragama menjadi sangat sempit jika ukuran fisik menjadi standarnya. Sebagaimana asumsi banyak orang, kening yang hitam adalah tanda ketaatan sementara rambut gondrong adalah cermin keberutalan dan kemaksiatan. Kedangkalan pandangan ini sangat positivistik yang secara filosofis adalah bagian dari pandangan materialisme. Dimana orientasi dan standar kebenarannya selalu dikaitkan dengan hal-hal yang faktual dan terukur, padahal senyatanya agama, Tuhan dan Iman adalah dimensi tanpa ukuran yang di dalamnya hanya ada penghayatan.

Untuk itulah, konteks tahun baru tentu bukanlah ukuran yang tepat untuk mengafirmasi atau mengeleminasi keimanan seseorang. Umat muslim yang larut dalam pesta tahun  baru tidak dapat dijustifikasi telah mengkonversi keimanannya, demikian pula umat muslim yang tidak merayakannya dapat dianggap lebih mantap imannya. Standar positivistik ini menjadi tertolak, oleh karena keimanan itu sangat luas, suci dan berharga, sehingga mengukurnya dengan yang bersifat materi adalah sama dengan mengecilkan dan menodai kesuciannya. Lalu, pada standar apakah kita mengkur keimanan?. Semua ada pada pilihan kita. Selamat Tahun Baru.

*) Pengurus Lakpesdam PCNU Kota Pontianak

Check Also

Rais Syuriyah PWNU Kalbar Hadiri Pelantikan IPNU dan IPPNU Kabupaten Ketapang

Ketapang – NU Khatulistiwa, Pimpinan Cabang IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) dan IPPNU (Ikatan Pelajar …

Tinggalkan Balasan