Oleh : M Hasani Mubarok*
Pasar adalah pusat perniagaan dari masa ke masa. Peradaban-peradaban besar yang pernah hadir di atas muka bumi ini selalu diawali dengan pergerakan dan penguasaan dominan terhadap pasar yang menjadi tulang punggung bagi terbangunnya ekonomi bagi suatu masyarakat hingga saat ini. Di Indonesia sendiri, menurut sebagian keterangan pasar sudah dikenal sejak belum digunakannya mata uang sebagai alat transaksi yakni pada abad ke-lima masehi, pada zaman kerajaan Kutai Kertanegara. Proses transaksi barter pada waktu menjadi simbol keberadaan pasar di periode paling awal nusantara sebelum kemudian mata uang mulai dikenal sejak Cina menjejakkan kaki di sana.
Demikian, sumbangsih besar yang diberikan oleh pasar terhadap terbentuknya kultur suatu masyarakat juga terekam dalam sejarah sejak periode paling awal. Hampir semua peradaban besar seperti Yunani, Mesir, Mesopotamia, Cina dan lainnya selalu menjadikan pasar sebagai basis utama untuk mengembangkan peradaban dan pengaruhnya. Bahkan, peradaban agung Islam yang terbentuk sejak zaman Nabi Muhammad, telah menjadikan pasar sebagai arena pertarungan guna meletakkan fondasi penting membangun masyarakat berkeadaban di bumi Arab pada waktu itu.
Di Arab, bahkan kita mengenal beberapa pasar terkenal yang menjadi tulang punggung bagi terbentuknya kultur budaya Arab yang kemudian dijadikan sebagai media utama guna mensublimisir ajaran-ajaran Islam hingga memancar ke berbagai negeri sampai hari ini. Nama-nama pasar itu paling tidak bisa kita lihat dari salah satu hadis yang disebutkan dalam Kitab Sahih Bukhari No. 1956 sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَتْ عُكَاظٌ وَمَجَنَّةُ وَذُو الْمَجَازِ أَسْوَاقًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَلَمَّا كَانَ الْإِسْلَامُ تَأَثَّمُوا مِنْ التِّجَارَةِ فِيهَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ { لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ } فِي مَوَاسِمِ الْحَجِّ قَرَأَ ابْنُ عَبَّاسٍ كَذَا
“Ukazh, Majannah & Dzul Majaz adalah nama-nama pasar di zaman Jahiliyyah. Ketika Islam datang mereka seakan merasa berdosa bila tetap berdagang di pasar-pasar tersebut. Maka turunlah firman Allah Ta’ala QS Al Baqarah ayat 198 yg artinya: (Tidak ada dosa bagi kalian jika mencari karunia rezeqi Rabb kalian…..). Ini dilakukan selama musim hajji, menurut pendapat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu’anhuma. (HR. Bukhari)”
Dari hadis di atas disebutkan beberapa nama pasar yang terkenal di Arab pada waktu itu. Pasar Ukadz adalah satu di antaranya. Pasar ini tidak buka setiap hari sebagaimana lazimnya dikenal hari ini. Ukadz hanya akan dibuka setiap satu tahun sekali dan menjadi pasar paling fenomenal yang pernah ada di muka bumi ini. Pasar ini diprediksi telah hadir sebelum 500 Masehi. Pasar ini terletak di al-Atsdia sebuah lokasi antara Mekkah dan Thaif.
Jika orang Arab dan mungkin kita hari ini hanya mengenal pasar sebagai pusat terjadinya tawar menawar, jual dan beli dan transaksi ekonomi lainnya. Maka, pasar Ukadz lebih dari sekadar itu. Ukadz secara istilah bisa diartikan “berbangga-bangga”. Dengan artian, dia bukan sekadar nama pasar, tapi juga menjadi semacam pekan budaya Arab, di mana pada waktu itu ditampilkanlah segala kemegahan budaya, keindahan puisi, kebanggaan pada warisan nenek moyang dan berbagai hiburan yang menggiurkan pada waktu.
Di pasar yang digelar setiap tahun selama 15 sampai 20 hari ini, orang-orang Arab akan berkumpul untuk menyaksikan pembacaan syair-syair indah, lobi-lobi politik, rundingan antar kabilah, debat serta pameran berbagai warisan kebudayaan satu kabilah di tengah kabilah lain. Maka tak heran jika dari pasar ini watak orang-orang Arab sejak kecil sudah dijejali dengan fanatisme kabilah, pemujaan terhadap leluhur dan kemewah-mewahan lainnya. Kebiasaan berbangga pada pekan pasar Ukadz ini hilang setelah Rasulullah Saw menyebarkan Islam (Azroqi, Akhbar Makkah, Hal: 195).
Dari paparan singkat tentang Ukadz, kita bisa melihat betapa fungsi pasar terutama di Arab pada waktu itu tidak hanya sekadar proses bagi terjadinya transaksi ekonomi, tapi juga menjadi arena lobi politik dan pameran kebudayaan. Tidak bisa dipungkiri, jika dari pasar Ukadz watak suku Arab terbentuk dan membentuk pola dakwah yang kemudian dikembangkan oleh Rasulullah Saw. Begitulah peran penting pasar hingga hari ini, dari sana pergerakan budaya, pertukaran tradisi dan arus ekonomi dimulai.
Lebih jauh, pasar tidak hanya membentuk sebagian besar bentuk dan kemegahan sebuah peradaban, tetapi juga menjadi media penting bagi terbumikannya nilai-nilai agama ke dalam relung-relung kehidupan suatu masyarakat. Demikian pula bagi Islam sebagai sebuah agama yang berlandaskan pada wahyu harus mampu berdialog kebudayaan setempat, telah menjadikan pasar sebagai objek utama yang harus diberi perhatian dalam rangka menembuskan nilai-nilai universalnya.
Dalam hal ini fokus pembicaraan kita arahkan tentang peranan penting pasar bagi penyebaran dan pembumian nilai-nilai luhur Islam ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat setempat. Mengingat rumitnya diskusi seputar pasar dan dinamika yang melingkarinya, tulisan ini hanya akan menyoroti tentang beberapa prihal penting yang patut dijadikan refleksi bagi umat muslim yang menginginkan kemandirian dan kemajuan kembali Islam di tengah laju perubahan sosial, ekonomi dan politik yang terus bergolak akhir-akhir ini.
Peranan Pasar Bagi Penyebaran Islam
Tidak diragukan lagi jika salah satu teori masuknya Islam ke bumi Nusantara adalah karena peran yang dimainkan dengan baik oleh niagawan yang kemudian mendominasi dinamika pasar. Hal ini dijelaskan oleh NA Baloch yang dikutip oleh Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku Api Sejarah, dikarenakan umat Islam sudah memiliki navigator ulung yang menunjang penguasaan maritim / kelautan dan pasar. Yang kemudian melalui aktifitas ini penyebaran Islam berlangsung di sepanjang jalur laut niaga di pantai-pantai persinggahan pada Abad ke-1 Hijriah atau abad ke-7 Masehi.
Saudagar-saudagar Islam tidak hanya datang dengan segala macam komoditas dagangan yang dibawa, melainkan juga secara tidak langsung memperkenalkan sebuah dakwah Islamiyyah. Wal hasil, aktifitas dakwah itu telah memperkenalkan Islam ke Indonesia khususnya sejak paruh pertama Hijriah. Melalui penguasaan jalur maritim, Islam dengan mudah tersebar dan menebar pengaruh yang signifikan di setiap daerah-daerah yang disinggahinya. Dikenalnya Islam sebagai sebuah agama yang mengajarkan nilai-nilai luhur dan penuh dengan aroma pembebasan, telah membuat sebagian besar saudagar bahkan bangsawan tertarik hingga proses Islamisasi yang kemudian dikomandoi oleh Wali Songo dengan mudah diterima pada abad berikutnya.
Rasulullah dan Citra Niagawan
Tidak hanya proses penyebaran Islam dan pembumiannya saja yang membutuhkan pasar sebagai media utama, bahkan jika kita melihat al-Quran, kita akan menemukan bagaimana terminologi yang berkembang di pasar telah direkam pada banyak tempat di dalamnya. Kita menemukan kata tijarah, ribh, isytara, tsaman, mikyal, mizan dan banyak lagi kosa kata lain yang semuanya adalah bahasa yang akrab di pasar Arab pada waktu itu. Belum lagi jika melihat jumlah ayat muamalah yang ada di dalam al-Quran, di mana prinsip transaksi dan etika jual beli dijelaskan dengan baik oleh di dalamnya.
Tidak hanya dalam al-Quran di mana pasar diberikan porsi yang dominan guna diperas hikmahnya oleh umat muslim, bahkan sosok paripurna Nabi Muhammad Saw sebelum diangkat menjadi Rasulullah, citra pertamanya adalah seorang saudagar yang berbudi luhur sehingga beliau beroleh predikat al-Amin (orang yang sangat jujur). Kejujuran beliau ini tentu tak hanya terwujud dalam aktifitas keseharian beliau bersama keluarganya, tetapi terejawantahkan dalam laku sosial beliau sebagai seorang pedagang yang menjujung tinggi kejujuran dalam bertransaksi.
Hanya saja, dalam banyak literatur sejarah keluhuran budi beliau (syama’il), jarang kita temukan sebuah buku yang benar-benar secara komprehensif mengulas pribadi Muhammad sebagai seorang niagawan, yang mana ditampilkan dengan detail segala macam aktifitas ekonomi yang beliau lakukan sewaktu berstatus sebagai seorang saudagar. Penulisan sejarah dengan memandang Nabi Muhammad sebagai seorang ekonom handal tentu perlu untuk terus digelorakan.
Pasar dan Sejarah Kebudayaan Islam
Pertarungan pasar dalam konteks ekonomi-politik yang berkembang akhir-akhir memang begitu rumit untuk diulas. Perdebatan antara sosialisme dan kapitalisme seolah tak pernah lagi bergaung tajam kecuali hanya sekadar upaya melakukan check and balance di tengah tak terdefinisikannya kapitalisme dan sosialisme yang lebih mutahir. Jika meminjam pandangan Antony Giddens dalam buku kontroversialnya “The Third Way”, dunia sudah tak butuh lagi perdebatan ekonomi yang membenturkan antara dua ideologi eko-pol di atas. Karena nalar pasar yang membentuk tatanan sosial berikutnya sudah tak lagi terbaca dengan nalar Marx, Weber atau tokoh eko-pol yang lain.
Kita boleh bersepakat atau tidak dengan pandangan sosiolog asal Britania Raya (Inggris) itu. Namun, bagaimanapun pasar tetaplah menjadi topik penting yang harus terus didiskusikan dengan baik oleh umat Islam manapun. Carut-marut Timur Tengah yang tak kunjung reda dan menjadi citra betapa lemahnya peradaban Islam, adalah bukti lemahnya Islam secara keseluruhan dalam sektor penguasaan ekonomi yang hari ini bermain. Begitu juga oase anti asing, aseng dan asong yang hari ini rimbun disuarakkan di bumi Indonesia tak akan bermakna apa-apa, jika penguasaan pasar tak pernah terwujud melalui trajektori yang jelas dan kongkret.
Pasar dan Islam dalam pandangan mata sejarah memang tak dapat dipisahkan. Dari itu, kita tak cukup hanya sekadar berkeluh kesah tentang “ekonomi kita sedang dikuasai oleh Cina” atau macam-macam gerakan “stop belanja kepada non-muslim” dan lain-lain. Karena hal ini tak penting berbanding pentingnya membangun etos ekonomi yang baik umat Islam dari level paling bawah sampai ke atas.
Melihat sebegitu vitalnya peran pasar bagi umat Islam, maka penting untuk melakukan rekoreksi terhadap beberapa kecenderungan sejarah yang hari ini dikonsumsi oleh mayoritas umat Islam. Kalau mau bersikap jujur, sejarah konvensional umat Islam hari ini adalah sejarah tentang politik yang nyaris tak memberikan inspirasi apapun kecuali fantasi sejenak yang tak memproduksi kesadaran akan peranan penting pasar sebagai basis pembangunan.
Kritik ini tentu bukan yang pertama, berpagi-pagi, Ira M Lapidus telah mensinyalir ini dalam bukunya “Sejarah Sosial Umat Islam” yang diterbitkan dan diterjemahkan oleh Gema Insani Press. Buku ini membahas bagaimana sejarah sosial Islam dari masa ke masa. Tentu nuansa baru akan segera kita rasakan ketika membaca buku ini, di sana kita akan berjelajah menyelusuri setiap detil sejarah umat Islam yang penuh dengan gemerlap kemajuan peradaban.
Penulisan sejarah yang lebih difokuskan pada dinamika perpolitikan, hanya akan melahirkan glorifikasi politik dan kekuasaan yang sebenarnya hanya bagian kecil dari serpihan kejayaan budaya Islam yang berkembang. Sejarah Islam yang hanya berbicara tentang pertentangan dan perebutan kekuasaan serta konfrontasi dengan agama dan kebudayaan lain berujung pada revivalisme dan fundamentalisme yang tak produktif bahkan cenderung destruktif. Hal ini karena masalah politik bukanlah bangunan dasar dari kebudayaan Islam. Dalam konteks kebudayaan dan sosial sejarah Islam, aspek pasar tentu bangunan fundamental yang harusnya diberi perhatian lebih dalam penulisan sejarah.
Mengarahkan teropong sejarah kepada dinamika pasar dalam sejarah kebudayaan Islam diharapkan mampu memantik bagaimana Islam menjadikan pasar sebagai poros penting guna membangun peradaban yang berkeadaban. Meneliti setiap sisi penting mulai dari zaman pra-nubuwah hingga dinasti Islam, tentu menampilkan pola dan corak dan pengorganisasian ekonomi yang berbeda. Dari penulisan sejarah yang seperti inilah, sebuah trajektori sejarah selanjutnya bisa dibentuk dan diarahkan.
*Santri Ponpes Al-Jihad Kota Pontianak