Home / Opini / Gus Dur dan Habib Syekh di Tengah Islam Yang Terjebak

Gus Dur dan Habib Syekh di Tengah Islam Yang Terjebak

Oleh : M Hasani Mubarok*

Beberapa hari yang lalu, al-Habib Syekh Bin Abdul Qadir menggoyang Kalimantan Barat dengan Shalawat di Majis Raya Mujahidin (18/11/17). Seperti biasa, acara ini selalu dibanjiri dengan ribuan umat Islam yang mencintai shalawat dari berbagai penjuru Kalimantan Barat. Berbagai ormas, komunitas umat Islam dan organisasi-organisasi kepemudaan terlihat antusias dalam rangka mensukseskan acara ini. Sungguh menarik !

Melihat antusiasme yang begitu besar itu dari umat Islam dengan berbagai latar belakang memang merupakan salah satu jasa terbesar Habib Syekh Abdul Qadir untuk umat Islam di negeri ini. Bahkan, jika selama ini FPI dan NU dalam beberapa hal terlihat selalu memanas dalam merespon berbagai perubahan nasional, di acara dengan tema “Kalbar Bersholawat” ini semuanya terlihat mencair dalam hiruk pikuk lantunan shalawat khas Ahbabul Musthofa-nya.

Perang pemikiran serta beberapa kasus “lucunya” drama politik yang akhir-akhir ini merimbuni media sosial membawa umat Islam ke dalam kemelut berkepanjangan. Tak terelakkan sebuah fenomena saling fitnah, saling tuduh, saling menjelekkan bahkan ujara-ujaran kebencian (hate speech) menjamur begitu saja. Hal ini seolah menunjukkan bahwa tiada ada lagi ruang untuk menggalang persatuan dalam mengayun langkah yang lebih baik ke depan.

Fenomena itu ternyata kian melebar, yang awalnya adalah persitegang dalam kasus perdebatan teoritik dalam ruang agama menjalar ke ruang publik ketika narasi politik-us mulai menjadikan agama sebagai alat untuk memperoleh jabatan tertentu di dalam percaturan politik nasional. Ketika poin terakhir ini yang bermain, maka sukar untuk membedakan antara yang mana debat seputar agama dan mana sekadar isu politik yang diagamakan. Sungguh berat!

Terjebak, begitulah kira-kira istilah yang bisa disematkan bagi kondisi agama Islam yang hari ini terserang penyakit. Mungkin terlalu berlebihan jika kita mengatakan tersesat, karena kemelut ini hanya konsekuensi logis dari agama dengan tingkat universalitas ajaran seperti Islam. Sebagai sebuah agama yang di dalamnya ditemukan berbagai ajaran termasuk pengolahan politik, sudah wajar jika kemudian Islam Politik menjadi topik santer dari masa ke masa. Keterjebakan inilah yang kemudian membuat persentuhan Islam dengan Politik menjadi begitu rentan masuk dalam pusaran konflik yang sulit sekali diakurkan.

Akar sebab yang telah menjebak Islam hari ini dalam konflik keruh itu kemudian banyak ditanggapi dengan berbagai macam perpsektif dari teori hingga praktik oleh umat Islam. Dari sisi teoritik umpamanya, sempat menjamur sebuah diskursus tentang sekularisme yang dihembuskan oleh para sarjana lulusan Barat asal Indonesia. Ajaran yang memimpikan sirnanya agama dari ruang politik itu kemudian tumbang karena perbedaan asasi antara sejarah dan kultur politik yang berkembang di Barat dengan sejarah politik Timur. Perbedaan kultur dan sejarah antara Barat dan Timur apalagi isu yang dibawa kaliber agama dan politik, memang tak akan jadi solusi, bahkan kerap mengundang masalah baru yang tak kena mengena dengan dua isu tersebut.

Pendekatan sekularisme terhadap “keterjebakan” agama dan politik dalam pusaran konflik itu kemudian tak membuahkan hasil kecuali serentetan diskursus yang sekadar memenuhi rak buku. Restriksi yang disuarakan oleh sekularisme terhadap agama agar tak mengintervensi urusan politik atau sebaliknya, ternyata tak bisa ditampung karena kuatnya nilai religius yang mengakar di jantung masyarakat. Wal hasil, upaya radikal untuk menjernihkan konflik antar agama dan politk gagal dilakukan oleh sekularisme.

Sebagai alternasi selanjutnya, Gus Dur berupaya meramu sebuah paradigma baru dalam rangka menjernihkan dua isu sensitif itu. Pemikirannya yang kemudian diringkas dalam term “pribumisasi Islam” ternyata sangat berguna untuk merangkai trajektori dalam menembuskan sebuah misi menjadikan Islam sebagai etika sosial. Dengan kejernihan perspektifnya, Gus Dur menjelaskan bahwa problem dasar dari keterjebakan itu adalah ambisi untuk memformalisir ajaran universal Islam ke dalam konstitusi sebuah negara yang sebenarnya sedemikian partikular. Ujung dari perjuangan itu kemudian akan mempersempit nilai-nilai Islam menjadi sekadar seperangkat undang-undang yang sewaktu-waktu akan berubah dan memperoleh resistensi dari masyarakat.

Dengan menjadikan Islam sebagai etika sosial, Gus Dur membuka gerbang bagi terbentuknya serentetan trayek yang harus dilalui oleh umat Islam bersama seluruh elemen bangsa ke depan. Pertama, dengan membuang sejauh mungkin paradigma yang berupaya mengarahkan umat untuk menjadikan syariat Islam sebagai hukum formal, karena ini akan mereduksi universalitas Islam sebagai nilai. Kedua, dengan menjadikan nilai-nilai keislaman hidup dalam jantung tradisi bangsa tentu dengan menjadikan kemanusiaan sebagai landasan asasi. Dengan demikian, Islam sebagai Etika Sosial yang diserukan Gus Dur adalah Islam yang hidup dalam dan membentuk masyarakat dari lapisan terbawah, sehingga dia menjadi spirit perubahan, bukan tatacara perubahan.

Dengan menjadikan agama sebagai alat untuk mengedukasi masyarakat bagaimana berpolitik dengan baik, bermasyarakat dengan baik dan mengelola kepentingan umum dengan baik, sesungguhnya merupakan jalan keluar dari carut marutnya konflik politik dan Islam yang semakin marak akhir-akhir ini. Paradigma ini tentu bukan untuk menarik secara total Islam dari panggung politik, tetapi memperhalus, mempertajam dan mengarahkan bagaimana Islam seharusnya menjadi seperangkat ide dan praktik yang mentradisi, bukan sebundel undang-undang resmi yang kerap ditunggangi oleh berbagai kepentingan kelompok atau ideologi yang bisa merusak ajaran Islam itu sendiri.

Kembali kepada Shalawatan yang dipimpin oleh Habib Syekh Abdul Qodir, tumpah ruahnya umat muslim ke Masjid Raya Mujahidin Pontianak tanpa memandang apa organisasi, pandangan politik dan latar berislamnya, adalah ilustrasi konkrit bahwa persatuan Islam dan segala potensi yang dimilikinya tak musti dirumuskan dalam sebuah narasi formal yang baku, cukup dengan gerakan kultural yang memberikan sentuhan afektif dalam nuansa spiritualitas yang mempesona. Apalagi dibuka dengan lagu Ya lal Wathon karya KH. Wahab Chasbullah yang sangat nasionalis itu.

*Penulis adalah Ketua 1 PC PMII Pontianak, dan Santri Ponpes Aljihad Pontianak.

Check Also

Rais Syuriyah PWNU Kalbar Hadiri Pelantikan IPNU dan IPPNU Kabupaten Ketapang

Ketapang – NU Khatulistiwa, Pimpinan Cabang IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) dan IPPNU (Ikatan Pelajar …

Tinggalkan Balasan