Oleh: Ustaz Nur Khalik Ridwan
Anggota PP RMINU
Bismillâhirrohmânirrohîm.
Alhamdulillâhirobbil `Âlamîn.
Allôhuma sholli `alâ Sayyidinâ Muhammadin an-Nabiyyil Umiyyi Imâmil hudâ wa âlihi wa shohbihi wa sallim. Ammâ ba’du.
Pada Ngaji ke-6 ini mulai masuk membahas hadits ke-2 di dalam Kitab al-Adab yang ada dalam Shohîh al-Bukhôrî. Hadis ini diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah. Selengkapnya haditsnya, begini:
عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ شُبْرُمَةَ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ: ((أُمُّكَ)). قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ: ((أُمُّكَ)). قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ: ((أُمُّكَ)). قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ: ((ثُمَّ أَبُوكَ)).
وَقَالَ ابْنُ شُبْرُمَةَ وَيَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنَا أَبُو زُرْعَةَ مِثْلَهُ.
Artinya: “Dari `Umarah bin al-Qa’qa’ bin Syubrumah, dari Abu Zur’ah dari Abu Hurairah Rodhiyallohu `anhu, berkata: “Seorang laki-laki datang kepada Rasululloh dan bertanya: “Wahai Rasulullah, man ahaqqunnâs bi husni shahabatî, siapakah di antara manusia yang paling berhak aku perlakukan dengan baik.” Kanjeng Nabi Muhammad bersabda: “Ibumu”. Kemudian dia bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Kanjeng Nabi bersabda: “Ibumu”. Dia bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Kanjeng Nabi bersabda: “Kemudian ibumu”. Dia bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Kanjeng Nabi bersabda: “Kemudian bapakmu”. Ibnu Syubrumah dan yahya bin Ayyub berkata: Abu Zur’ah mengabarkan kepada kami…, hadits seperti ini (juga).”
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, seorang laki-laki yang datang kepada Rasululloh adalah Mu’awiyah bin Hakim, kakek dari Bahz bin Hakim, merujuk pada keterangan yang diriwayatkan dalam Kitab al-Âdab al-Mufrad, dari hadis Mu’awiyah bin Haidah.
Hadits seperti ini diriwayatkan oleh hadits-hadits lain, menurut Ibnu Hajar di antaranya menggunakan kata-kata:
1. Dari Mu’awiyah bin Haidah berkata: “Ya Rasulalloh, man abarru?” Nabi bersabda: “Ibumu…” (dalam Kitab al-Âdab al-Mufrad, Imam al-Bukhori)
2. Dengan redaksu sama, “man ahaqqunnâs bi husni shahâbatî” (diriwayatkan Imam Abu Daud dan Imam at-Tirmidzi).
3. Ada yang menggunakan kata “bihusnis suhbah”, menurut riwayat Imam Muslim, bukan dengan “bi husni shahâbatî”, dengan ada tambahan “fa qôla: na`am latunabi’anna” (Kanjeng Nabi Muhammad bersabda: “Benar, dan bapakmu, hendaklah engkau benar-benar mengabarkan).
4. Dalam riwayat Ibnu Majah, sama seperti No. 3, tetapi ada tambahan dengan redaksi “afdholush shodaqoh an tashoddaqo wa anta shohîhun syahîh” (sedekah yang utama, adalah engkau bersedekah, dan engkau dalam keadaan sehat dan berat untuk mengeluarkannya).
5. Dalam riwayat Imam Ahmad, di awal hadits menggunakan kata: “Ya Rasulalloh, nabba’anî bi ahaqqin nâs ash-shuhbah,” wahai Rasululloh, kabarkan kepadaku, siapakah di antara manusia yang paling berhak mendapat perlakuan baik dariku” (Fathul Bârî, X: 401).
Perbedaan-perbedaan redaksi dalam hadits berhubungan dengan ini, semakin memperkuat isi kandungan yang dimaksud dari hadits di atas. Kalau dalam hadis ke-1 dalam Kitab al-Adab, juga dalam Al-Qur’an tentang ayat wawashshoinâl insâna biwâlidaihi husnâ, masih merangkum birrul wâlidain untuk kedua orang tua, maka dalam hadits kedua ini, dipertegas dan dikhususkan lagi, perlakuan baik itu, dengan penegasan untuk ibu sebanyak tiga kali; dan yang keempat baru untuk bapak.
Penegasan tiga kali untuk ibu itu, setelah diperhatikan dalam penjelasan atas hadits ini, para ulama terbagi dalam tiga pendapat:
1. Pendapat di mana “Ibu berhak mendapatkan lebih besar dari bakti anaknya, atau lebih dikedepankan daripada bapak, adalah pada saat keduanya saling berbenturan,” sebagaimna pendapat Imam Qurtubi (dalam Fathul Bârî, X: 402). Dengan kata lain, kalau dalam keadaan tidak berbenturan, tidak ada konflik, dan tidak ada sesuatu, maka bakti anak kepada ibu dan bapak adalah sama.
2. Mayoritas ulama, menyebutkan bahwa ibu lebih utama daripada bapak. Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan dua tokoh, yang berpendapat seperti ini, yaitu Imam al-Harits al-Muhasibi yang menukil ijma’ ulama yang lebih mengutamakan ibu daripada bapak; dan Imam al-Laits juga pernah ditanya, maka dia menjawab: “Taati ibumu karena dia memiliki dua pertiga dari bakti anak.”
3. Ada yang berpendapat, keduanya sama, yang merujuk pada riwayat Imam Malik yang mengatakan begini, seperti dikutip Ibnu Mulaqqan dalam syarahnya dan juga disebutkan dalam Fathul Bârî: “Imam Malik ditanya: “Bapakku menyuruhku, tetapi ibuku melarangku.” Imam Malik berkata: “Taatilah bapakmu dan jangan durhakai ibumu”. Ibnu Hajar mengatakan, sebagian ulama madzhab Syafi’i berpendapat begini. Dalam Syarah Ibnu Bathol, disebutkan bahwa: “Ini menunjukkan bahwa kedua orang tua mendapatakan hak yang sama dalam hal bakti kepada anak.” Pendapat ini menegaskan bahwa meskipun dalam situasi ibu dan bapak berbenturan, sebisa mungkin taat kepada bapak dan tidak mendurhakai ibu harus dilakukan. Artinya, ini lebih menegaskan, supaya anak mencari jalan keluar dengan tetap keduanya dihormati.
Perlakuan baik kepada ibu itu yang disebut sampai tiga kali daripada bapak oleh Kanjeng Nabi Muhammad, tidak dibatasi apakah itu kewajiban bagi anak laki-laki atau perempuan; dan juga tidak dibatasi apakah itu sudah menikah apakah tidak. Kewajiban berbuat baik itu, tentu bagi anak laki-laki dan perempuan, kalau dia belum menikah adalah sama, karena hadits itu tidak mengkhususkan untuk anak laki-laki dan atau perempuan; akan tetapi ketika sudah menikah, perlu diperinci dan diperjelas, karena ada beberapa hadits yang menyebutkan soal ini.
Hadits pertama
Ada hadits riwayat Imam Ahmad, Imam Nasai, dan dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim, dari Sayyidah Aisyah rodhiyallohu `anha, begini: “Aku bertanya kepada Rasululloh: “Siapakah yang paling besar haknya atas seorang perempuan?” Kanjeng Nabi menjawab: “Suaminya.” Aku berkata: “Bagaimana dengan seorang laki-laki?” Kanjeng Nabi menjawab: “Ibunya” (dalam Fathul Bârî, X: 401).
Hadits ini menjelaskan bahwa orang yang harus diperlakukan baik bagi laki-laki yang sudah menikah, adalah pertama-tama ibunya, karena ia memiliki hak yang besar kepada anaknya; dan bagi seorang perempuan adalah suaminya. Akan tetapi dalam hadits-hadits lain, juga disebutkan kewajiban seorang laki-laki kepada keluarganya yang berhak memperoleh perlakuan baik; dan dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang mengharuskan mu`âsyarah bil ma’rûf dengan keluarganya, dengan istri, ketika berbicara keluarga dan tidak disebut ibu atau bapak. Maka jalan keluar yang paling seimbang adalah, sama-sama memperlakukan dengan baik, dengan menunaikan kewajiban keluarga; dan tanpa melupakan kewajiban berbuat baik kepada ibu, atau orang tua. Sebab berkeluarga harus disadari memang tidak memutus hubungan orang tua dan anak. Hal itu juga berarti perempuan tetap memiliki hak untuk berbuat baik kepada orang tuanya.
Maka, inti pokoknya adalah membangun kesepahaman dengan suami untuk saling ridho, tentang perlunya berbuat baik kepada kedua orang tua mereka, seimbang. Laki-laki menjadi seorang dermawan dalam soal birrul wâlidain dan menunaikan kewajibannya di keluarga; dan istri juga menjadi orang yang tetap bisa berbuat baik kepada ibu bapaknya, dengan saling ridho dengan suami, dan suami memberikan izin untuk birrul wâlidain.
Hal ini, akan mudah bagi seorang laki-laki yang bisa memenuhi nafkah keluarga dan berkecukupan, dan orangnya berperilaku baik; sementara perempuan tidak memiliki harta kecuali hanya diberi nafkah suami. Akan tetapi akan menjadi masalah lain apabila laki-laki itu, justru ada dalam dua kondisi: kikir untuk berlaku baik kepada keluarga ibu bapak sang istri; dan laki-laki itu justru diberi nafkah oleh istrinya, karena keadaan tertentu. Dan soal ini, ada hadits kedua yang menjelaskan ini.
Hadits kedua
Imam an-Nasai dalam Kitab `Isyratun Nisâ’ menyebutkan hadits No. 314 yang mengisahkan tentang Asma dan Zubair, dimana Asma berkata: “Saya berkata kepada Rasulullah: “Saya tidak memiliki apa-apa kecuali yang diberikan Zubair kepada saya untuk kebutuhan rumah tangga, apakah saya boleh mengambilnya (untuk disedekahkan)?” Nabi berkata: “Berinfaklah dengannya, dan janganlah kamu kikir (menahannya), dan Dia menahannya untukmu.”
Hadits lain yang seperti ini disebutkan begini oleh Imam Nasai: “Bahwa Rasulullah berkata kepadanya: “Janganlah kamu menghitung-hitungnya, maka Alloh akan memperhitungkannya untukmu (hadits No. 316); danNabi bersabda: “Nafkankahlah dan janganlah kalian menyimpannya ditempatnya, maka Alloh akan menahannya untukmu, serta janganlah kamu menghitung-hitungnya, maka Alloh akan memperhitungkannya untukmu” (hadits No.318).
Dalam hadits Imam Nasai itu, menjelaskan, manakala ada suami kikir dan istri hanya bisa hidup dari pemberian suami, dan padahal suami punya harta dan cukup uang, tetapi dia hanya memberi sedikit kepada keluarganya (kepada istri dan anak-anaknya), maka berdasarkan hadits No. 312 dan 313 dalam Kitab `Isyratun Nisâ’ disebutkan, istri boleh mengambil secukupnya dari harta suami untuk keluarganya; dan berdasarkan hadits 315 dan 316 di atas, apabila istri ingin bersedekah, yang biasanya kepada orang tuanya atau keluarganya, maka mengambil dari uang yang diberikan suami untuk sedekah, adalah dipuji oleh Kanjeng Nabi.
Sedekah dan kebaikan istri itu, disebutkan dalam hadits 318 dan 319 begini: “Apabila istri bersedekah dari harta suami, maka baginya pahala, dan untuk suami juga pahala yang sepertinya….” Dalam hadits lain disebutkan: “Dengan maksud tidak merusak”, maksudnya tidak merusak rumah tangga dan keluarga.
Lebih mudah lagi bagi ustri, apabila dia justru yang memberi nafkah kepada suami dan keluarganya, maka dia memiliki keleluasaan yang lebih, karena: nafkah kepada keluarganya itu, disebut sebagai sedekah dan kebaikan, seperti diisyaratkan oleh hadits lain; dan mendapat pujian kalau memberikan untuk anak-anak sadaranya. Ada sebuah hadits soal ini, yang menceritakan Zainab dan Abdullah (suami Zainab). Zainab bercerita: “Sesungguhnya Abduallah adalah seorang yang sedikit mata pencahariannya.” Zainab berkata kepada Abdullah: “Apakah diperbolehkan bagi saya, untuk menjadikan sedekah saya untukmu, dan untuk anak-anak yatim saudara saya? Abdulloh berkata: “Tanyakan saja kepada Rasululloh tentang perkara tersebut.” Singkat cerita, dalam hadits ini, kemudian Rasululloh bersabda: “Ya baginya dua pahala, pahala menyambung tali persaudaraan; dan pahala sedekah” (Imam Nasai, `Istrotun Nisâ’, hadits No. 323, 324, dan 325).
Dari hadits ini, menjelaskan bahwa perempuan/istri dipuji karena menyambung silaturahmi dan persaudaraan kepada anak-anak yatim saudaranya, apabila dia memang bisa melakukan itu. Maka, dapat difahami bahwa istri mendapat pujian manakala dia memberi sedekah kepada anak yatim saudara-saudaranya, apalagi/lebih-lebih kepada ibu, atau bapaknya, tentu akan lebih baik.
Yang terpenting di situ, adalah bagaimana memberikan saling pengertian, seperti antara Zainab dan Abdulloh, yang meskipun Zainab yang menafkahi Abdulloh, tetapi komunikasi untuk melakukan sedekah dan berbuat baik tetap dilakukan kepada suaminya; yang hal itu juga perlu dilakukan suami atas istrinya. Sebab, hal ini menyangkut harta, yang sering menimbulkan percekcokan di keluarga manakala tidak didasarkan pada saling ridho dan komunuikasi yang baik.
Kalau dalam hal harta saja, dipuji Kanjeng Nabi Muhammad, ketika perempuan bersuami yang ingin berbuat baik dengan sedekah kepada anak-anak yatim saudaranya, maka, lebih-lebih dalam soal yang selain harta, misalnay dalam soal ucapaan yang baik, berkata yang baik, dan sejenisnya: seorang istri atau perempuan, tetap berkewajiban hal seperti itu dilakukan kepada orang tuanya, meskipun dia sudah bersuami; sama seperti juga laki-laki. Karena menikah tidak memutus hubungan ayah-ibu dan anak-anak mereka; dan anak-anak terhadap ayah dan ibu mereka. Akan tetapi bagaimana menjadikan kehidupan dikeluarga saling menunjang, termasuk dalam hal birrul wâlidain, bukan saling menegasikan.
Pengutamaan ibu/perempuan
Dalam hadits ke-2 dalam Kitab al-Adab itu, pengutamaan ibu atau perempuan dari orang tua kita, Kanjeng Nabi seperti mengisyaratkan bahwa, kamu harus memperhatikan kejadian asalmu dan orang yang memeliharamu di waktu kecil; Ibu telah menjadi wadah anak itu dalam kandungan dan memeliharanya waktu kecil, sampai ia besar, dalam keadaan yang melelahkan; dan tidak jarang ibu harus mengalami cedera, sakit, dan pendarahan yang bisa mengancam jiwanya. Pandangan seperti ini dipegangi Ibnu Mulaqqan dalam syarahnya (Syarah Ibnu Mulaqqan, XXVIII: 240), yang menjadikan derajat ibu lebih besar bagi bakti seorang anak.
Hal ini didukung hadits Nabi lain, yang diketengahkah Ibnu Hajar al-Asqalani dalam syarahnya, yaitu ketika ada sengketa ayah dan ibu (ketika cerai misalnya), maka anak diserahkan kepada ibu, sejauh ia belum menikah lagi, seperti diriwayatkan oleh Amr bin Syuaib yang berkata bahwa: “Ada seorang perempuan berkata kepada Rasululloh: “Wahai Rasululloh shollallohu `alaihi wasallam, anakku ini, dulu tinggal di perutku, susuku adalah minumannya, pangkuanku adalah tempat istirahatnya, kemudian bapak anak ini menceraikannya, dan hendak merebutnya dariku.” Maka beliau bersabda: “Engkau lebih berhak atas anak ini selama engkau belum menikah lagi” (HR. Abu Daud dan al-Hakim, dalam Fathul Bârî, X: 240).
Hadits ini menegaskan, ibu lebih berhak atas anak itu, tetapi tentu saja, manakala ibu itu tidak menterlantarkan anaknya; dan dia belum menikah dengan orang lain. Maka dalam kondisi selain disebutkan hadits itu, hakim harus memetuskan yang terbaik bagi masa depan anaknya melalui ijtihadnya, demi kemaslahatan anak.
Maka jelaslah, hadits ke-2 dalam Kitab al-Adab ini, adalah penegasan yang nyata bahwa Islam adalah agama yang memperhatikan kemanusiaan, di mana ibu sebagai bagian dari perempuan, diangkat derajatnya di hadapan sistem masyarakat yang mengidolakan dan menempatkan laki-laki sebagai pusat peradaban, seperti di Mekkah. Dengan menyebut ibu 3 kali, orang Islam diberitahu bahwa ibu, yang adalah bagian dari perempuan, harus dihormati, diperlakukan baik dan diberi keutamaan dalam persahabatan, shodaqah, dan jenis lain perlakuan baik.
Arjû al-musyaffa’, ya Rabbi sholli ala Sayyidinâ Muhammad. Walhamdulillâhi Robbil `Âlamîn wal Musta`ân. (NKR).