Oleh : Ustaz Nur Khalik Ridwan
Anggota PP RMINU
Bismillâhirrohmânirrohîm.
Alhamdulillâhirobbil `Âlamîn.
Allohumma sholli `alâ Sayyidinâ Muhammadin an-Nabiyyil Ummiyyi, Imâmil Hudâ wa âlihi wa shohbihi wasallim. Ammâ ba’du.
Pada ngaji sebelumnya, kandungan isi dari hadits ke-1 dalam Kitab al-Adab dalam Shohîh al-Bukhôrî, telah dijelaskan 2 amal yang paling dicintai Alloh, yaitu ash-sholâtu `alâ waqtihâ dan birrul wâlidain; dan yang ketiga, atau terakhir berdasarkan hadits ini adalah al-jihâd fî sabilillâh.
Al-Qur’an dan hadits-hadits Kanjeng Nabi Muhammad, menyebutkan al-jihâd: kadang hanya dengan kata “jihâd” dengan makna yang berbeda-beda, dan kadang diikuti dengan kata “fî sabilillâh”, kadang dihubungkan dengan mati syahid, jihadunnafs sebagai jihad yang utama, dan artian khusus sebagai qital kepada orang-orang yang memerangi umat Islam dari kalangan di luar Islam.
Yang diisyaratkan oleh Kanjeng Nabi dan disebut sebagai jihad, di antaranya adalah birrul wâlidain dan haji mabrur, dan mencari nafkah seperti disebutkan dalam hadits-hadits di bawah ini:
“Ada laki-laki yang ingin ikut berperang tetapi ibunya menangis, maka Nabi Muhammad shollallôhu `alaihi wa sallam menjawab: “Kembalilah kepada kedua orang tuamu itu, lalu buatlah kedua orang tuamu itu tertawa, sebagaimana engkau telah membuat ibumu menangis” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah, dimuat dalam al-Muntaqal Ahbar, No. 4201).
Ada juga hadits dari Abu Said al-Khudri, ada seorang laki-laki hijrah dari Yaman. Nabi bertanya: “Apakah bapak ibumu telah mengizinkannya?” Laki-laki itu menjawab: “Belum.” Maka Nabi bersabda: “Kalau begitu pulanglah kepada bapak ibumu, jika mereka telah mengizinkanmu maka berperanglah, tetapi kalau tidak maka berbuat baiklah kepada keduanya” (HR. Ahmad dan Imam Nasai, dimuat dalam al-Muntaqal Ahbar, No. 4202).
Tentang haji mabrur sebagai jihad, ada hadits dari Sayyidah Aisyah rodhiyallôhu `anhâ berkata: “Wahai Rasulalloh, engkau telah menjelaskan bahwa jihad adalah amal yang paling utama. Apakah kami boleh berjihad?” Nabi Muhammad bersabda: “Tidak,” tetapi jihad yang paling utama, adalah haji mabrur” (HR. Bukhori, No. 2576).
Kata fî sabîlillâh
Makna fi sabilillah itu “ada di jalan Alloh”. Ada hadits Nabi yang menyebutkan kata sabîlillah dalam arti mencari nafkah, di antaranya dikemukakan oleh Imam Thobroni dari riwayat Anas bin Malik, dalam Mu’jam al-Ausath (No. 8630): “Dari Anas bahwa Rasulullah bersabda: “Orang yang bekerja untuk kedua orang tuanya demi mencukupi kebutuhan hidup mereka agar tidak meminta kepada manusia, maka dia fî sabilillâh; siapa yang bekerja demi istri dan anak-anak untuk mencukupi kebutuhan mereka dari manusia lain, maka dia fî sabilillâh; siapa yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri agar tidak menjadi beban orang lain, maka dia fî sabilillâh. Sedangkan yang bekerja agar membanggakan diri maka dia di jalan setan” (Mu’jam al-Ausath, No. 8630, ketika Imam Thobroni meriwayatkan dalam bagian “man ismuhu Muthollib”).
Hadits ini mengisyaratkan dan menunjukkan bahwa fî sabilillah, itu di antaranya bekerja dengan niat ikhlas untuk memenuhi nafkah keluarga, membiayai orang tua, dan memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri agar tidak menjadi beban orang lain. Perjuangan untuk semacam ini juga disebut sebagai al-jihâd fî sabîlillâh.
Hadits-hadits yang membicarakan mencari nafkah sebagai al-jihâd fî sabîlillâh diperkuat oleh banyak hadits lain, yang memiliki makna senada meski berbeda redaksi, di antaranya: Imam Thabrani di Mu’jam al-Ausath (No. 4214, ketika meriwayatkan dalam man “ismuhu al-`Abbas”), Imam Baihaqi (Sunanul Kubra, No.15741 dan 15742 dan dalam Syu’bul Iman, No. 7469 dan 9892), al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaid (No. 7709, 7710,), dan Mushonnaf Abdurrazaq (No. 9578).
Imam Nuruddin Ali bin Abu Bakar al-Hatsami memberikankomentar tentang hadits No. 7709 yang dikeluarkannya soal jihadf fi sabilillah mencari nafkah ini, dan tentang hadits Imam Thabrani, yang saya kutip dari kitab Bughyatur Râ’iq fî Tahqîqi Majma`iz Zawâ’id wa Manba’il Fawâ’id (Beirut: Darul Fikr, 1414/1917, IV: 596), yang ditahqiq oleh Abdulloh Darawaisy: “Imam Thabroni meriwayatkan fî ats-Tsalâtsah dan perawi-perawi dalam al-Kabîr adalah rijâlun shohîh.” Hadits-hadits soal ini dalam riwayat Imam Thobroni dalam al-Kabir dinilai shohih oleh Imam al-Haitsami.
Sementara, ada ayat Al-Qur’an yang menyebut kata sabilillah dikhususkan memang untuk berperang di jalan Alloh, yang disebut berhak mendapat bagian dari zakat, seperti dalam surat Taubat ayat 60, yaitu: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang miskin, amil, mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk riqab (memerdekakan budak), gharim, dan fi sablillah, dan ibnu sabil, sebagai ketetapan yang diwajibkan Alloh, dan Alloh Maha Mengetahui dan Maha bijaksana” (QS. At-Taubah [9]: 60).
Imam Mawardhi dalam Tafsir an-Nukat wal Uyun (II: 376), memaknai fî sabîlillâh sebagai para mujahid dalam peperangan. Imam Abu Muhammad bin Husain al-Baghowi dalam Ma`âlimut Tanzîl juga menafsirkan dalam konteks peperangan, yaitu mereka yang kembali dari peperangan (Dar Ibnu Hazm, 1423/2002, hlm. 567). Mereka yang berperang di jalan Alloh itu dari ayat itu berhak memperoleh bagian zakat, di antara ashnaf yang lain.
Jihadunnafs sebagai afdhalul jihad
Ada juga kata al-jihâd dihubungkan dengan memerangi hawa nafsu yang disebut sebagai afdhalul jihad, seperti dalam hadits: afdhalul jihad an yujahidar rajul nafsahu wa hawahu (HR. Ibnu Najjar, Abu Nuaim dan ad-Dailami). Dalam redaksi lain yang sering disebut adalah riwayat Imam al-Baihaqi dalam Kitab az-Zuhud, bersumber dari sahabat Jabir bin Abdulloh, yaitu: “Telah datang kepada Rasululloh orang-orang yang baru selesai berperang. Lalu Rasululloh berkata: “Kalian menuju kepada tujuan yang terbaik. Kalian menuju dari jihad yang lebih kecil kepada jihad yang lebih besar.” Mereka bertanya: “Apa itu jihad yang lebih besar?” Nabi menjawab: “Perjuangan seorang hamba melawan hawa nafsunya.” Dalam riwayat yang lain disebutkan: “Kita kembali dari jihad yang lebih kecil kepada jihad yang lebih besar.”
Jihâdun nafs, adalah melawan dengan segenap tenaga terhadap perangai buruk nafs dan pasukannya dari kalangan setan; dan setan itu disebut musuh terbesar dan sangat terangv oleh Al-Qur’an. Bagi mereka yang sudah merasakan bagaiman dimusuhi dan bertarung dengan nafs manakala nafs terus dibersihkan, dan manakala nafsnya dapat didengarnya lewat kalam-kalam nafs karena dikaruniai pendengaran bathin yang ada dalam kerajaan tubuhnya, akan dengan mudah membenarkan jihad akbar sebagai jihad memerangi nafs. Akan butuh waktu bertahun-tahun dan bertahap, serta kesabaran dan kegigihan sekaligus. Ada yang mengibaratkan, meratakan gunung lebih mudah daripada jihad melawan nafs, karena sulit dan besarnya pertarungan itu. Bagi yang belum merasakan itu, tentu akan berbeda dalam menaggapi hadits itu.
Mati sebagai syahid ternyata bukan hanya dalam qitâl
Selain variasi dari makna al-jihâd fî sabilillâh, juga ada hal penting yang dihubungkan dengan mati syahid (jamaknya disebut syuhadâ’)bagi yang meninggal dalam perang (qitâl) di jalan Alloh. Akan tetapi mati syahid itu sendiri bisa diperoleh bukan hanya lewat jihad dalam pengertian qital (berperang fisik), seperti ditunjukkan oleh hadits kanjeng Nabi Muhammad:
“Rasulullah bertanya: “Siapakah yang kalian golongkan sebagai syahid di antara kalian?” Para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, mereka adalah yang terbunuh fî sabîlillah adalah syahîd.” Nabi bersabda: “Jika demikian, syuhadâ’ di kalangan umatku sungguh sedikit?” Para sahabat berkata: “Siapa mereka wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda: “Orang yang dibunuh fi sabilillah maka dia syahîd, dan orang yang mati fî sabîlillâh maka dia syahîd, orang yang mati karena sakit tha`un (muntaber) itu juga syahîd, orang yang mati karena sakit perut itu juga syahid.” Ubaid bin Miqsyam berkata: “Aku meriwayatkan bapakmu dalam meriwayatkan hadits ini, bahwasannya Rasulullah juga bersabda: “Orang yang mati karena tenggelam termasuk syahîd” (HR Muslim, No. 3539 dan 5050).
Hadits di atas menurut KH. Muhammad Hanif Muslih, dalam Hukum Merawat Jenazah (Semarang: Thoha Putera, t.t., hlm. 51-52), juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam al-Bazzar, dan Imam Thobroni. Dalam keterangan hadits lain, yang dimasukkan mati syahid itu, sebagai tambahan dari hal itu, di antaranya: orang yang mati karena nifas, orang yang mati karena sakit lambung, orang yang mati karena kebakaran, tertimpa reruntuhan, orang yang terbunuh karena membela hartanya, membela keluarganya, dan membela dirinya. Bahkan banyak sekali kategori mati syahid selain mati karena berperang di jalan Alloh.
Mati syahîd selain dari syahîd karena beperang di jalan Alloh itu, dimasukkan sebagai syahid akhirat, bukan syahid di dunia-akhirat, yaitu berperang di jalan Alloh; dan bukan syahid di dunia saja, yaitu lahirnya berperang di jalan Alloh tapi niat dan tujuannya bukan untuk Alloh, yang penguburannya seperti syahid dunia akhirat. Hal ini membedakan cara pengurusan jenazah syahid akhirat, jenazahnya diperlaukan seperti orang muslim lain, dikafani, disholati, dan dikubur dalam satu liang lihat untuk satu orang.
Dalam hadits ini
Lalu, al-jihad fî sabilillâh yang dikehendaki hadits dalam Kitab al-Adab ini yang mana? Oleh Imam al-Bukhori, hadits ke-1 dalam Kitab al-Adab ini dimasukkan juga dalam hadits dalam Kitab al-Jihâd was Siyar. Dalam Fathul Bârî, dikomentari bahwa: “Didahulukannya birrul wâlidain atas jihad, karena ketetapan Nabi bahwa jihad itu harus mendapat idzin dari kedua orang tua” (Fathul Bârî, VI: 4). Dalam hadits-hadits yang disinggung di atas, idzin dari orang tua itu berkaitan dengan jihad dalam arti berperang di jalan Alloh.
Jihad qitâl itu, ketika dihubungkan dengan sholat tepat pada waktunya, dan birrul walidain, berada di nomor yang terakhir dari tiga amal yang paling disukai Alloh. Hal ini dapat dipahami, bahwa sholat dan birrul walidain itu wajib ain, sementara jihad qital, seperti disebutkan Imam al-Ghozali, kadang fardu ain dan kadang fardhu kifayah dan yang biasa adalah fardhu kifayah (al-Washîth fil Madzhab, VI: 5-6). Syarat-syarat selanjutnya banyak dibahas di kitab fiqh.
Praktik nyata dari jihad dalam arti peperangan itu, yang hukumnya fardhu ain dalam jarak tertentu, dan menjadi fardhu kifayah bagi keseluruhan muslim laki-laki, sudah muncul seperti dalam kasus Resolusi jihad yang dikeluarkan Rais Akbar NU, KH. Hasyim Asy`ari pada 22 Oktober 1947 untuk mengusir penjajah, sehingga bergeloralah perang perlawanan dalam 10 November di Surabaya, digerakkan para kyai dan santri pesantren.
Meskipun dalam kitab-kitab fiqh dijelaskan panjang dan fardhu kifayah, dan bisa jadi fardhu ain, akan tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu Kanjeng Nabi Muhammad tidak boleh berperang sampai ada alasan di mana orang Islam diperangi lebih dulu dan diusir dari kampung halamannya, sehingga kata-katanya pun dengan redaksi diidzinkan, seperti di dalam surat al-Hajj [22]: 29, yaitu: “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (Yaitu) Orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah.” Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”
Ayat ini mengisyaratkan, pembelaan terhadap agama dan tanah air di mana kaum muslimin hidup, yaitu orang-orang yang diusir dari kampung halamannya adalah isyarat berberang juga untuk membela tanah air; dan orang-orang yang dianiaya, di mana orang Islam disebut di ayat itu sebagai “mereka telah dianiaya” karena memeluk agama Islam, oleh orang Mekkah zaman itu, mengisyarakatkan berperang untuk membela agama.
Ayat itu menurut Ibnu Abbas adalah ayat pertama yang diturunkan berkaitan dengan berperang (Imam as-Suyuthi , Durrul Mantsûr fi Tafsîr al-Ma’tsûr, X: 513). Menurut Ibnu Jubair, tentang ayat ini, berkata Kanjeng Nabi Muhammad dan para sahabatnya, soal lafazh “bi annahum zhulimû”, yakni mereka (kaum muslimin) didzalimi orang-orang Mekkah ketika mereka dikeluarkan dari rumah-rumah mereka” (Imam as-Suyuthi, Durrul Mantsûr fi Tafsir al-Ma’tsûr, X: 514). Sedangkan makna ayat “alladzîna ukhrijû min diyarihim bighoiri haqq, adalah “dikeluarkan dari Mekkah ke Madinah,” yang menjelaskan dikeluarkan dari tanah air mereka.
Dari ayat pertama idzin berperang ini (dalam pengertian qital) yang tidak dilakukan sejak awal, haruslah difahami bahwa prinsip pertama dalam Islam dalam mengembangkan dan berperilaku, bukanlah mengajak orang lain berperang, tetapi berdakwah dengan cara santun seperti disebutkan dalam ayat ud`û ilâ sabîli rabbika bil hikmati walmauizhatil hasanah wajâdilhum billati hiya ahsan; dan ayat-ayat senada. Akan tetapi ketika kaum muslimin dizhalimi dan diusur dari kampung halamnnya, maka berperang itu boleh untuk merebut hak dan mempertahankan agama dan tanah airnya. Inipun berkaitan dengan orang-orang non Islam, dan dalam kasus ini ahlu zhalimnya adalah orang-orang Mekkah, bukan sesama kaum muslimin yang telah masuk Islam.
Dalam hal sesama kaum muslimin berperang, maka ayatnya bukan ayat di atas yang berlaku, tetapi ayat dalam surat al-Hujurat ayat 9, yang berbunyi: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”; juga ayat yang berkaitan dengan ketaatan terhadap ulil amri, dan dalam tentang memerangi kaum bughot.
Sementara ada juga ayat-ayat yang terang-terangan mengajak berperang dan hadits-hadits qital, yang jumlahnya juga banyak, maka berhubungan ini, adalah melihat dalam kondisi perang, atau berlaku dalam kondisi perang, tidak boleh diterapkan dalam kondisi damai, atau ada perdamaian. Dalam kondisi perang pun kalau bisa diusahakan perdamaian, seperti ditempuh oleh Kanjeng Nabi dengan Perjanjian Hudaibiyah.
Dalam kondisi perang pun, ada etikanya, dimana ada larangan membunuh anak-anak, perempuan, orang tua; larangan merobohkan dan menghancurkan bangunan-bangunan, larangan membakar dan mencincang tubuh atau memutilasi; dan tumbuhan tidak boleh ditebangi. Bahkan ada larangan membunuh orang-orang al-ashhâb ash-showâmi’ (yang ada di gereja-gereja), yang dalam hal ini mereka yang berlindung di tempat ibadah, seperti diriwayatkan dari Imam Ahmad, begini:
“Dari Ibnu Abbas, ia berkata, adalah Rasulullah apabila mengutus tentaranya, ia bersabda: “Keluarlah dengan nama Alloh, berperanglah di jalan Alloh terhadap orang-orang yang kufur kepada Alloh, tetapi kamu jangan berkhianat, jangan berlebih-lebihan, jangan memancing, jangan membunuh anak-anak, dan penghuni-penghuni tempat ibadah (geraja) (HR. Imam Ahmad, dalam al-Muntaqal Ahbar, No. 4274), yaitu ketika dalam kondisi perang dan ada di medan perang, al-ashhâb ash-showâmi’ itupun tidak boleh dibunuh.
Jadi, meskipun diidzinkan berperang dengan alasan-alasan yang cukup, kalau ada perdamaian, lebih utama damai atau mengusahakan perdamaian, karena inilah dasar dari risalah Islam. Dan meskipun jihad qital itu disebut juga sebagai amalan yang paling dicintai Alloh setelah sholat pada awal waktunya, dan birrul wâlidain, tetapi harus diingat pula bahwa amalan yang paling baik dan paling utama, di hadits-hadits lain juga disebutkan, seperti telah disinggung di Ngaji Hadits Kitab al-Adab ke-2: “Engkau memberi makan, dan mengucapkan salam kepada yang engkau kenal dan tidak engkau kenal”; Iman kepada Alloh dan Rasul-Nya, dan haji mabrur”; “Seseorang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya”; “Sesungguhnya Allah lebih mencintai kalian, yaitu yang lebih mencintai manusia”, dan lain-lain.
Arjû al-Musyaffa’, ya Rabbi sholli `alâ Sayyidinâ Muhammad. Walhamdulillâhi Robbil `Âlamîn wal Musta`ân.(NKR).