Oleh : Dr Wajidi Sayadi M.Ag
Keterangan gambar:
1. Masjid Raya sekitar tahun 1920-an sampai 1952 di terasnya berdiri para Ulama.
2. Masjid Raya tahun 1970 hingga saat ini.
3. Di halaman masjid penulis di tengah seusai mengaji kitab Fath al-Mu’in di rumah KH. Mahdi Buraerah tanggal 10 Oktober 1984
4. Wajah baru Masjid Raya Campalagian tahun 2018.
Hari ini 1 Muharram 1439 H/21 September 2017 M tahun baru Islam yang didasarkan pada hijrahnya Nabi SAW ke Madinah. Kebijakan pertama kali dilakukan Nabi SAW ketika hijrah adalah membangun masjid Quba, karena masjid salah satu tonggak awal kebangkitan umat Islam. Lemah dan mundurnya umat Islam karena generasinya jauh dari masjid dan masjid dikelola tidak sebagaimana mestinya.
Dalam kaitannya dengan penyambutan tahun baru Islam 1439 H, secara resmi peletakan batu pertama renovasi wajah baru pembangunan Masjid Raya Campalagian oleh Bupati Polman Drs. H. Andi Ibrahim Masdar tanggal 29 Dzulhijjah 1438 H/20 September 2017 M.
Semoga momentum tahun baru Islam ini menginspirasi renovasi masjid akan bangkitnya kembali sebagai pusat pendidikan Islam dan dakwah yang diwariskan oleh para ulama terdahulu.
Dalam konteks inilah saya menulis sekilas sejarah Masjid Raya Campalagian. Ada beberapa alasan penting yang mendorong pentingnya ditulis, antara lain:
1. Masjid ini usianya sudah lebih 2 abad sekitar 227 tahun sejak berdirinya tahun 1790 M di Kampung Banua dan merupakan pusat penyebaran dan pengembangan dakwah, pendikan Islam dan kaderisasi ulama di Sulawesi bagian barat dan selatan.
2. Masjid ini adalah saksi sejarah Jaringan ulama Sulawesi dan Kalimantan, khususnya Kalimantan Barat-Pontianak. Di masjid inilah Syekh Abdul Karim Pontianak pernah menjadi Qadhi VII tahun 1889-1892 M dan dikenal sebagai pelopor pengajian kitab kuning berbasis nahwu dan sharf. Syekh Abdul Karim pulang ke Pontianak dan Beliau punya anak bernama Guru Ismail Mundu di Teluk Pakedai Mufti Kerajaan Kubu Kalimantan Barat, ulama besar lama belajar di Mekah dan muridnya sangat banyak di Kalimantan, Malaysia dan Singapura. Keramatnya sama persis dengan keramat KH. Maddappungan sepupunya yang tinggal di Campalagian, yaitu keduanya bisa menyeberangi dan melewati sungai tanpa alat hanya dengan memejamkan mata sekejap.
Saya sering ditanya, mengapa pak Wajidi ditugaskan di Pontianak dengan berbagai tugas dan pengabdian? Kapan kembali mengabdi di kampung halaman di Campalagian Polman?
Saya jawab, Syekh Abdul Karim Pontianak pernah meneteskan ilmu dan menebar pengabdiannya di Campalagian melalui muridnya KH. Maddappungan, lalu dilanjutkan oleh muridnya KH. Muhammad Zein. Kepada KH. Muhammad Zein lah saya banyak belajar dibimbing dan dibina. Sekarang saya di Pontianak Kalimantan Barat sedang meneteskan kembali ilmu dan menebar pengabdian yang pernah diwariskan Syekh Abdul Karim di Campalagian. Mungkin inilah hikmahnya. Mudah-mudahan dengan izin dan rahmat Allah ketika sudah tiba waktunya akan kembali ke tempat asal.
(Bersambung …………….)