Home / Opini / Menyegarkan Kabut Intelektual

Menyegarkan Kabut Intelektual

Terma intelektual hari ini sering kali dilekatkan kepada mereka yang menghibahkan sisa hidupnya untuk berkecimpung dalam dunia ilmu. Wajar jika mahasiswa adalah momok labelisasi ini. kaum intelektual adalah salah satu dari sekian julukan yang mereka sandang selain agen of change, agen of control dan agen-agen lain yang semakin mengukuhkan bahwa mereka adalah komponen penting dalam tiap lembar sejarah manusia. Segerombolan kaum muda progresif dan visioner adalah posisi mereka yang menampilkan jati diri mahasiswa sebagai kelompok representatif dalam wacana perubahan, kontrol dan dialektika kehidupan yang selalu taut menaut, tarik menarik bahkan benturan antara satu nilai dengan nilai lain. Keberadaan mahasiswa semakian berarti ketika beberapa pergeseran dalam sejarah politik, sosial dan keagamaan di negeri ini ternyata ditengarai oleh serangkain gerakan mahasiswa yang senantiasa proaktif terhadap kondisi di sekelilingnya.

Capain demi capain yang mengisi lembaran sejarah gerakan mahasiswa tersebut setidaknya telah menyelamatkan marwah dan popularitas nama mahasiswa sebagai agen of all hingga sampai hari ini ketika terma mahasiswa disuarakkan, yang terbayang dalam relung kognitif seseorang adalah sekelompok kaum muda progresif dan aktif yang menjadi rantai regenerasi penentu arah bangsa untuk masa depan yang tidak pernah diketahui batasannya. Status manusia dengan segudang idealisme perjuangan dan senantiasa berupaya mengambil peran dalam banyak sektor sosial adalah salah satu dari tujuan mahasiswa dan pergerakannya. Terma yang paling pantas untuk disematkan bagi mereka yang menahbiskan masa mudanya untuk berkecimpung aktif dalam wacana perubahan ini adalah intelektual. Sebagaimana dipaparkan di atas, bahwa mahasiswa adalah kaum intelektuil yang memangku beban serta peran strategis bagi tiap langkah tak terhitung dalam pusaran sejarah.

Dalam beberapa baris berikut ini, mari kita dudukkan kembali makna intelektual tersebut seraya berupaya melakukan repositioning bagi peran esensial mahasiswa dalam kapasitasnya sebagai kaum intelektual. Apakah sejauh ini mahasiswa telah benar-benar merepresentasikan diri sebagai kaum intelek? Bagaimanakah sebenarnya makna dasar serta nilai yang terkandung dalam term itu? Terlebih dahulu kita harus memahami dengan benar apa sebenarnya makna dari term intelektual. Hal ini penting sekali mengingat akhir-akhir ini mengakar sebuah pemaknaan reduktif terhadap terma tersebut oleh karena ketidakpahaman terhadap akar historis lahirnya terma. Buktinya hari ini jika kata intelektual diucapkan, maka yang paling pertama melintas dalam benak banyak orang adalah sekelompok orang yang menghabiskan waktunya dalam dunia pemikiran serta menghibahkan seluruh kemampuan untuk memenuhi otaknya dengan berbagai macam disiplin ilmu saja. Pemaknaan reduktif ini telah membuat status kaum intelektual yang disandang oleh mahasiswa juga sedikit banyak tercerabut dari dasarnya. Akibatnya, mahasiswa tidak dapat mempertanggungjawabkan apa-apa dari klaim itu. Hingga wajar jika kemudian lahir beberapa sikap yang sama sekali tidak mewakilkan klaim intelek itu di tubuh mereka hari ini.

Menurut penelitian Dr Abid Al-Jabiri dalam bukunya yang berjudul al-Mutsaqqofun Fil Hadhoroh al-Arobiyyah pada sejarah lahirnya terminology ini, bahwa intelektual berasal dari bahasa Prancis. Kata ini pertama kali terbit dalam harian Lorore pada tanggal 14 Februari 1898 dengan tajuk “Manifeste Des Intellectuels”. Manifest ini adalah sekumpulan pandangan serta bubuhan tanda tangan yang diberikan oleh bebepa pemikir dan budayawan Prancis seperti Lion Bloome, Siniopost, Marceile Prost, Anatole Franch, Lucian Herr dan lain-lain dalam rangka menggugat keputusan pengadilan terhadap seorang jenderal keturunan Yahudi, yakni Alfred Drevose. Nama yang disebut terakhir adalah seorang jenderal yang dituduh sebagai mata-mata bagi kepentingan Jerman dan akhirnya dijatuhi hukuman pengasingan ke Guyana Afrika. Setelah dua tahun dalam pengasingan, pihak keluarga dan sahabat-sahabat Afred Drevose terus berjuang mengumpulkan banyak data untuk menunjukkan kepada pihak pengadilan bahwa tuduhan yang dialamatkan kepada Alfred itu tidak benar. Jerih payah mereka berhasil dan menarik perhatian banyak tokoh pemikir dan budayawan Prancis sebagaimana disebutkan di atas untuk mengeluarkan satu manifest yang akhirnya untuk pertama kali kata “intellectuels” itu dideklarasikan.

Yang menarik dari peristiwa tersebut adalah, bahwa dalam perkembangan selanjutnya kata “intellectuels” bergerak menjadi sebuah terminology yang disematkan bagi sosok berpengaruh dan menjadi sel aktif dalam sejarah. Dalam peristiwa tersebut, sosok Afred Drevose tidak bisa dipungkiri merupakan jenderal yang begitu kuat pengaruhnya hingga dia mampu menarik simpati banyak kalangan terkemuka di Prancis. Peristiwa ini juga menjadi otoritas referensi bagi simpang siur penggunaan kata intelektual itu sendiri dalam banyak bahasa. Dalam bahasa Arab umpamanya kata intelektual dipadankan dengan kata al-Mutsaqqof,berakar dari kata Tsaqofah yang berarti budaya.

Dari sisi historis dan genealogi linguistik di atas jelas kiranya jika kata intellectuels dalam bahasa Prancis yang kemudian diterjemahkan dengan kata al-Mutsaqqof dalam bahasa Arab disematkan untuk sosok yang berpengaruh dalam alur sejarah kebudayaan manusia. Hal ini tampak minimal dari dua sisi. Sisi pertama adalah aspek historis lahirnya terma intelektual, yang mana terma ini dipersembahkan bagi seorang jenderal berpengaruh bagi masyarakat Prancis waktu itu. Sisi yang kedua adalah hasil serapan bahasa Arab yang menerjemahkan kata intelllectuels ini dengan kata al-Mutsaqqof yang juga berarti orang yang begitu berpengaruh dalam relung kebudayaan satu komunitas.

Al-Jabiri kemudian menambahkan dalam buku tersebut “dengan pemaknaan yang seperti ini seorang intelektual tidak terkait dengan aktifitas berfikir atau kepandaiannya, tidak pula bergantung kepada hasil karya apakah itu dari pikiran atau tangannya, akan tetapi ditentukan oleh peran yang ia jalankan di tengah masyarakat, apakah ia sebagai penggagas, penentang atau pelaksana dari sebuah gagasan atau paling tidak ia adalah pembawa gagasan atau sebuah persoalan”. Dengan demikian, sosok intelektual sejati adalah mereka yang secara konstan bersentuhan langsung dengan budaya, sosial, agama, politik dan sektor kehidupan lainnya baik sebagai kreator, distributor, konseptor, eksekutor bahkan motivator. Kerja yang secara langsung bersentuhan dengan sendi-sendi penting dalam hidup inilah yang telah meletakkan jenderal Alfred Drevose sebagai orang pertama yang diberi gelar Intelektuil yang kemudian berhak juga disandangkan kepada sosok-sosok baru yang akan lahir setelahnya dan akan terus lahir.

Dari paparan singkat di atas, jelas sudah kiranya bahwa mahasiswa dengan gelar kehormatan “kaum intelektual” harus mempertanggungjawabkan gelar ini di tengah masyarakat. Maka begitu naif jika seorang mahasiswa hanya sibuk mengisi otaknya dengan segudang teori seraya bersikap apatis terhadap problematika kehidupan sosial di sekitarnya. Bahkan begitu berkhianat terhadap status mahasiswa itu sendiri jika paradigma yang digunakan terkesan begitu pragmatis dalam hidup. Mahasiswa adalah sumber terjadinya perubahan, lompatan dan revolusi maupun evolusi kebudayaan, bagaimana mungkin segudang tuntutan sejarah itu harus “dikangkangi” dengan sikap yang “jahiliyyah” dan penuh dengan gelap pikirannya. Seorang mahasiwa adalah insan tercerahkan dan pembawa kecerahan bagi sejarahnya dan sejarah umatnya. That’s way, karena inilah mereka berhak memperoleh gelar sebagai “kaum intelektual”.

  M Hasanie Mubarok

Santri Ponpes Al Jihad Pontianak / Mahasiswa Ilmu Al-Quran dan Tafsir IAIN Pontianak

Check Also

Rais Syuriyah PWNU Kalbar Hadiri Pelantikan IPNU dan IPPNU Kabupaten Ketapang

Ketapang – NU Khatulistiwa, Pimpinan Cabang IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) dan IPPNU (Ikatan Pelajar …

Tinggalkan Balasan