Dalam dunia pendidikan dikenal istilah reward dan punishment. Kedua istilah ini sebagai bentuk apresiasi terhadap sikap maupun sebuah karya. Respon yang diberikan sebagai perwujudan sikap positif sehingga kepadanya diberikan penghargaan dan pujian, inilah yang masuk kategori reward. Demikian juga sebaliknya, ketidaksenangan yang diwujudkan dengan sikap negatif yang kemudian melahirkan hukuman atau sanksi inilah yang dinamakan punishment. Reward adalah apresiasi dan penghargaan, punishment adalah hukuman dan sanksi.
Jika demikian halnya, kedua istilah ini tidak hanya menjadi terminologi yang dekat dengan dunia pendidikan, organisasi apapun, struktur kerja apapun sangat memerlukan dua hal ini. Untuk apa? Untuk menjaga kedinamisan sebuah institusi. Akan beda semangat dan ghirah bekerja manakala dipandang sebuah keberhasilan yang kemudian diapresiasi dan menjadi pemacu (mudah-mudahan sebagai titik awal sebuah kemajuan), one minute awarness, bagi yang mendapat teguran dan peringatan.
Nyatanya, secara umum setiap manusia perlu dengan kondisi ini, terlebih lagi bagi seorang anak yang dalam setiap gerak langkahnya, setiap waktu tumbuh-kembangnya, ia memerlukan dukungan dan support dari orang-orang disekelilingnya. Acungan jempol tegak berdiri, senyum dengan mengangguk bahkan hingga sentuhan positif adalah bagian dari reward yang diwujudkan. Anak yang dalam tumbuh-kembangnya selalu dimotivasi, senantiasa disuntikkan semangat kemajuan agar tidak tertinggal, agar tidak bodoh dan dungu, agar tidak nrimo atau pasrah nantinya akan menjadi pribadi yang self confidence-nya tinggi. Dari sinilah kemudian muncul kata-kata, “Kamu pasti bisa”, “Kesuksesan bukan hanya milik orang kaya, kesuksesan adalah milik orang yang ulet”, “waktu sehari-semalam sama dengan 24 jam, tapi mengapa ada orang pintar, ada orang sukses, ada orang berhasil dan sebagainya”, demikian juga saat anak-anak sering mendengar kata-kata yang destruktif (mematikan), “diam kamu”, inilah adalah salah satu kata-kata yang mematikan keberanian anak untuk berbicara, dari dua kata ini akan memunculkan mentalitas anak yang selain tidak berani karena tidak terbiasa untuk mengemukakan pendapat terkandung makna juga anak akhirnya menjadi tipe yang introvert, takut salah, takut ditertawakan, takut dicemooh, ketika takut sudah mendominasi jiwa anak, maka yang muncul adalah anak-anak yang tidak berani mencoba, karena diliputi berbagai ketakutan itu tadi.
Ada satu konsep dan pemahaman yang penulis sering sampaikan kepada anak-anak untuk selain berani dalam mengemukakan pendapat juga mengalahkan rasa takut. Penulis sampaikan dalam kalimat berikut: Sering kita merasa takut untuk memulai segala sesuatu karena takut salah dan takut ditertawakan, tapi sesungguhnya mereka yang tampil pertama kalilah yang paling berjasa, kenapa? Karena dari yang tampil pertama kita tahu mana yang benar dan mana yang salah, dari orang yang tampil pertama kali itulah yang menunjukkan kepada kita untuk jadi yang lebih baik, untuk tidak mengulangi pada tampilan kedua. Bagaimana kita akan tahu yang salah jika tidak ada yang menunjukkan.
Coba kita perhatikan, apa yang dilakukan oleh seorang anak manakala ia sedang belajar sepeda dan kemudian terjatuh, bangkit dan belajar lagi, terjatuh lagi. Apakah setelah terjatuh, entah detik itu juga, esok dan seterusnya ada perasaan menyesal dalam hatinya dan menyatakan bahwa ia tidak akan belajar sepeda lagi? Jawabannya pasti tidak, anak tersebut tidak akan berhenti belajar sepeda, meskipun jatuh belasan kali. Apa yang mendorong anak ini begitu kuat dan bersemangat untuk belajar bersepeda? Ini dikarenakan ia faham, bahwa banyak keuntungan yang dapat diperolehnya jika ia bisa bersepeda.
Ternyata pikiran “aku bisa” mendorong seseorang untuk menyiapkan langkah dan strategi, melihat peluang dan tantangan, mengajarkan mandiri, jikapun gagal, meminjam istilah Mario Teguh dengan Golden Way-nya, yakni gagallah dengan gagah. Orang yang sukses bukan karena ia tidak pernah gagal, dari kegagalan ia belajar keberhasilan dan yang pasti kesuksesan bukan milik orang yang bertabur harta saja, kesuksesan bukan punya anak yang orang tuanya pejabat, kesuksesan adalah milik semua orang. Kepuasan apa yang di dapat? Jika kesuksesan diperoleh karena kayanya orang tua, karena jabatan orang tua maka hal itu biasa karena tersedianya fasilitas dan dukungan tapi jika kesuksesan seseorang diperoleh karena kerja keras, dari keluarga miskin, orang tua yang hidup pas-pasan namun ia sukses, nilai kepuasannya akan lebih dari yang sebelumnya. Semoga Menginspirasi Anak-anakku!**