Oleh Muhammad Farid
Perlambang perekonomian suatu Negara dikatakan maju manakala ia mampu memanfaatkan potensi terbesarnya. Di Indonesia, sejak dulu sadar akan potensinya sebagai Negara maritim dengan wilayah laut yang lebih banyak daripada daratan.
Sejak era Kerajaan pada abad ke 7 dan 8 M, Nusantara telah memiliki kontak dagang dan sistem kelautan yang mampu mengayomi berbagai saudagar dari seluruh penjuru dunia. Selat Malaka pada waktu itu mulai ramai dilalui pedagang Timur Tengah dalam pelayarannya ke negeri-negeri Asia Tenggara dan Asia Timur.
Catatan Marcopolo menyebutkan hal itu selanjutnya juga menjadi jalan bagi para saudagar Muslim menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk pribumi. Berlanjut sampai pada tahun 1478 M, pasca Brawijaya V digulingkan oleh Girindrawardhana, berdirilah Kesultanan Demak sebagai tonggak awal kejayaan maritim pada bumi Nusantara.
Penobatan Jin Bun (Sultan Fatah) sebagai Sultan Demak dilakukan oleh pimpinan majelis Walisongo yang pada saat itu dipegang oleh Sunan Giri. Keahliannya dalam hal politik dan ketatanegaraan semakin mengukuhkan Sunan Giri sebagai ahlul hal wal aqdi yang bertugas melantik Sultan. Ia juga yang telah menyusun peraturan ketataprajaan dan pedoman tata-cara (Undang-Undang) Keraton (M. Kholidul Adib: 2016).
Menurut Sri Sultan Hamengkubuwono X, penobatan Sultan Demak tersebut juga telah dikukuhkan oleh Sultan Turki Ustmani, Sultan Mehmed II Muhammad Al-Faatih, pada 1479 M. Sultan Demak dikukuhkan dengan gelar Khalifatullah ing Tanah Jawi. Ditandai dengan penyerahan bendera Laa ilaaha illallah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kiswah Ka’bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau. Duplikat keduanya tersimpan di Keraton Yogyakarta sebagai pusaka.
Dalam perkembangannya Kasultanan Demak Bintoro berhasil membuktikan diri sebagai penerus sah imperium Majapahit. Alhasil dukungan para adipati di pesisir pantai utara Jawa tak hentinya mengalir. Situasi demikian itu diperkuat dengan sinergi yang telah terjalin kokoh antar lapisan sosial.
Pemerintah Kesultanan Demak mengangkat Walisongo sebagai pimpinan tertinggi Majelis Syuro (penasihat). Meski menjadi penasehat kesultanan, Walisongo juga tetap terjun langsung kepada masyarakat. Tanggung jawab mereka sebagai ulama dimaksimalkan dengan menciptakan sinergi yang kokoh antara pemerintah, masyarakat, ulama, dan saudagar.
Walisongo sebagai konseptor bekerja sepenuh hati dan dedikasi dalam menata ketentraman Kesultanan Demak. Mereka melayani keluhan rakyat sembari memberikan harapan yang sesuai dengan kultur masyarakat pada waktu itu. Hal itulah yang menjadi alasan masyarakat mau menerima segala kebijakan yang diambil oleh pemerintah kerajaan Demak.
Hukum Islam yang diterapkan Walisongo dalam mengatur masyarakat pesisir pada waktu itu pun tidak disampaikan secara mengikat dan rumit. Akulturasi hukum yang dilakukan Walisongo sejalan dengan apa yang diharapkan masyarakat. Sehingga masyarakat pesisir (baca: nelayan) tidak pernah melakukan aksi protes.
Sesungguhnya, persoalan menciptakan kemandirian ekonomi yang layak bagi Negara Maritim bukanlah hal baru yang rumit. Bercermin dari segala yang telah dilakukan para pendahulu dengan membangun jaringan, sinergi dan paradigma yang sejalan. Kerja sama yang baik antara pemerintah, nelayan, investor, serta keseimbangan alam adalah jalan terbaiknya.
Menjaga ekosistem pesisir, memberdayakan kaum nelayan, perbaikan infrastruktur, juga dialog yang terus berjalan antara pemerintah dan masyarakat menjadi keniscayaan. Pendampingan dengan teknologi tepat guna juga diperlukan untuk menaikkan kapasitas nelayan.
Sebagaimana yang diterapkan Kerajaan Demak dahulu kala, pemerintah seharusnya bisa memanfaatkan jaringan ulama yang tersebar di Nusantara. Demikian itu telah menjadi kultur masyarakat kita, yang hanya bisa dikendalikan oleh ketokohan seseorang. Yang kita kenal dengan sebutan kiai.
Penulis adalah Stage Manager di Paradigma Institute Kudus.