Oleh Muhamad Nurdin
Hari pahlawan sudah lewat. Apakah pahlawan itu hadir hanya pada 10 November saja? Kalau begitu, siapakah pahlawan itu? Pertanyaan ini layak kita renungkan. Sebab, kita tahu bahwa pahlawan bukan hanya mereka yang memanggul senjata dalam kancah pertempuran yang hingar bingar dan berpeluh darah.
Kita juga sering mendengar ada ungkapan bahwa guru adalah “pahlawan tanpa tanda jasa”. Sebab mereka yang mengabdikan diri pada profesi ini dalam rangka mencerdaskan anak bangsa itu bernasib seperti lilin yang menerangi keadaan di sekitar, sambil membiarkan panasnya api meluluhkan tubuh. Sebuah pemisalan tentang semangat pengorbanan demi kemajuan generasi penerusnya.
Memang, ada secercah peningkatan kesejahteraan lewat sertifikasi guru, tentunya dengan satu tujuan yaitu meningkatnya profesionalisme guru. Dan itu pun belum semua guru kebagian uang “kadedeuh” dari pemerintah.
Bila analogi pengorbanan demi kemajuan yang lebih besar ini kita tarik lebih dalam lagi, maka akan kita temukan istilah “pahlawan pembangunan”. Tapi siapakah mereka itu?
Kepahlawanan selalu identik dengan perjuangan, tapi tidak setiap perjuangan bermakna kepahlawanan. Kepahlawanan ditentukan oleh situasi dan kondisi. Artinya ada yang diagung-agungkan sebagai pahlawan, tapi boleh jadi sebenarnya bukan. Lalu siapa pahlawan sejati? Dan bagaimana dengan pahlawan masa kini?
Dalam sejarah manusia ditemukan nama-nama tokoh yang pada masanya diagungkan oleh kaumnya tapi tidak oleh kaum yang lain. Sebutlah Hitler dengan doktrin Nazisme. Dia adalah pahlawan di mata bangsa Arya, tapi penjahat di mata bangsa dunia. Fir’aun di mata pengikutnya adalah pahlawan, tapi dimata Bani Israil adalah manusia yang busuk. Eskobar sang raja narkoba di mata penduduk di mana ia dilahirkan adalah pahlawan, meski di mata pemerintah dalah penjahat. Atau sebutlah pangeran Diponegoro di hati rakyat Indonesia dia adalah pahlawan, tapi di mata penjajah dia adalah penghianat.
Sejarah kemanusian pula yang tampaknya menguji apakah ia pahlawan atau bukan. Hitler, Fir’aun, atau Eskobar, nantinya tidak saja bangsa dunia yang kemudian menyebutnya sebagai penjahat, akan tetapi bangsa dan kaumnya sendiri yang mencela. Pangeran Diponegoro, Mahatma Ghandi, Jenderal Sudirman, dan lainnya, akhirnya bukan hanya kita yang mengakuinya sebagai pahlawan akan tetapi orang lain pun mengakui ketokohannya.
Mengapa terjadi demikian? Sebab manusia siapa pun orangnya pada akhirnya tak mampu mengingkari nurani kemanusiaannya sendiri. Setiap manusia akan berpikir merenungkan kembali keputusannya, siapa yang layak ia kagumi. Mereka para pahlawan yang semula dicerca oleh anak-anak zaman dengan ketidakpastian sejarah, akan tetapi kemudian dia dihargai lantaran mereka terus menerus membela nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, keadilan dan kebenaran bagi seluruh manusia. Bukan semata-mata untuk diri, keluarga dan sukunya.
Dengan demikian, kepahlawanan adalah sesuatu yang universal, bisa melekat pada siapa dan apa pun bidang profesinya. Seorang pemimpin, seorang rakyat, manager, guru, petani, satpam, adalah pahlawan. Yang penting dia adalah seorang yang berperan pada posisinya dengan sebaik-baiknya.
Lalu bisakah kita menjadi pahlawan? Jawabnya bisa, bukankah dalam diri setiap manusia melekat sikap bertahan dan berjuang. Bukankah ketika agama kita dihina tersinggung, bukankah ketika kita dipaksa berontak, bukankah pada setiap manusia tersedia untuknya lahan perjuangan yang melekat pada profesi yang di jalaninya? Masalahnya kemudian, bagaimana kita selalu melihat setiap apa yang dikerjakan tidak saja bermakna bagi diri kita pribadi, tapi juga bagi kemanusiaan, keadilan dan kebersamaan.
Lalu kenapa kita tidak melihat setiap aktivitas kita sebagai perjuangan? Mumpung masih dalam suasana merayakan hari pahlawan, walaupun sudah terlewat. Semoga kita dapat mengikuti jejak langkah para pahlawan kita. Bukan hanya sekadar untuk menaburkan bunga di pusara mereka, melainkan untuk merenungkan dan meniru jiwa pengorbanan para pahlawan itu.
Bagi guru yang kebetulan merayakan hari jadinya setiap tanggal 25 November, mari kita merawat tradisi yang mulia sebagai guru yang layak digugu dan ditiru. Tetunya dengan meningkatkan kinerja kerja dengan sebaik-baiknya. Jadikan profesi ini sebagai ladang amal dan pengorbanan.
Para guru bisa mencontoh keteladanan lewat Bu Muslimah lewat film laskar pelangi, yang terkenal piawai memompa semangat anak zaman. Walaupun dengan keterbatasan sarana dan prasarana. Tapi bu muslimah menyuntikan optimisme kepada anak didiknya. Sehingga mereka berhasil menjadi manusia pembelajar.
Ada satu lagi yang harus dijadikan teladan. Bu Een Sukaesih, seorang guru di Sumedang, yang sudah bertahun-tahun mengidap penyakit berat, hingga beliau tidak bisa berjalan. Hari-harinya dihabiskan di tempat tidur. Tapi Bu Een tidak patah semangat, dengan penyakit beratnya itu, dia masih meluangkan mengajar, tentu tidak di kelas formal. Tapi di rumahnya, murid-muridnya berdatangan ke rumah, untuk belajar. Sungguh ini adalah pelajaran heroik yang patut diteladani.
Ke depan, insyaallah hidup guru tidak hanya himne. Karena sekarang pun hidup guru lambat laun tidak seperti Oemar Bakri, dengan tipikal sepeda bututnya. Mereka sudah bergaya dengan mobil-mobil nan mewah. Di dalam tasnya pun tidak lagi ditemukan buntelan nasi, tapi laptop atau notebook terbaru. Viva Pahlawan, Bravo guru. Jayalah anak didik kita.
Penulis Ketua ISNU Kuningan, Kepala Penyelenggara Syariah Kemenag Kuningan, dan penulis buku.