Home / Opini / Pribumisasi Islam

Pribumisasi Islam

Gagasan ini adalah trade mark yang di perkenalkan oleh Gus Dur sekitar tahun 90-an. Ia adalah wawasan yang menjadi cara pijak dan tindak fikirnya. Maka tak heran karna pertimbangan filosofisnya yang dalam, serta di tambah pembacaan dan pengembangan wacana yang serius, banyak sekali kita temukan fatwa kontroversial yang ada di balik tiap butir pemikiran Gus Dur dengan dalih pribumisasi ini. Sekilas dari judulnya, kita akan mengetahui secara eksplisit bahwa Gus Dur mencoba menawarkan Islam sebagai sebuah agama yang ajarannya multi fleksibel. Belakangan, wacana ini semakin menarik minat para akademisi lokal. Hal ini di tandai dengan bermunculannya wacana-wacana dan diskursus seputar tema pribumisasi Islam, serta buku yang mencoba mengembangkan tawaran Gus Dur ini. Tulisan di bawah ini mencoba memberikan sekilas pandang diskursus ini, namun dengan pembahasan yang global dan di fokuskan pada peluang serta tantangan dalam rangka mengaplikasikannya.

Sebuah Peluang

Pada dasarnya, Islam sebagai agama adalah sebuah ajaran yang berporos pada kebenaran wahyu yang diperoleh Nabi Muhammad dari Allah Swt. Hal ini di percayai oleh seluruh umat Islam di seluruh dunia dan tidak di sangsikan kebenarannya. Sebagai agama wahyu, Nabi Muhammad sebagai orang pertama yang menerimanya adalah yang paling paham dalam rangka aktualisasinya.  Langkah pertama yang di lakukan oleh Nabi adalah menyampaikan apa yang beliau dapat kepada para sahabat dalam rangka membimbing mereka ke jalan kebenaran. Tak hanya itu Nabi juga menjadikan wahyu yang beliau dapat sebagai sebuah solusi terhadap masalah yang beliau dan para sahabat hadapi pada waktu itu. Pada saat itu, tak ada satu masalahpun yang mereka hadapi kecuali telah di jawab oleh Nabi baik dari wahyu atau dari pribadinya. Nabi pada saat itu tidak hanya menjadi pemuka agama tetapi beliau juga menjadi kepala negara yang mengurus seluruh sisi kehidupan yang berkelindan di zamannya. Dengan demikian, masalah yang di hadapi para sahabat pada waktu nyaris tidak pernah menimbulkan perdebatan kusir dan memicu konflik panjang. Karna kebenaran dan titah Nabi adalah titah pemersatu yang otoritatif.

Pada dekade selanjutnya, Islam berkembang seiring berkembangnya ajaran dan wilayah yang dikuasai oleh Islam. Selangkah dengan itu, problem keagamaanpun semakin membengkak dan memicu sahabat untuk terus memberikan jawaban pada tiap problem yang di hadapi. Para sahabat kini adalah tokoh otoritatif dalam berbagai masalah karna mereka adalah orang yang hidup sezaman dengan Nabi. Dengan berkembangnya masalah baru yang di hadapi oleh umat ini, maka para sahabat sebagai tokoh agama mulai melakukan ijtihad dan istinbath hukum. Hal ini di lakukan oleh mereka karna di temukannya problematika yang benar-benar baru dan tidak pernah terjadi di masa Rasul. Maka terjadilah pergeseran epistemologi dalam memahami wahyu, yang pada zaman Nabi ada beberapa aspek tak tersentuh dan sakral, kali ini mulai di pikirkan oleh para pemegang estafet ajaran Islam.

Setelah masa sahabat ini, masa setelahnya adalah masa yang semakin menantang dengan lahirnya problem baru dengan kapasitas yang lebih besar. Maka timbullah ulama-ulama otoritatif yang semakin dalam dan intens mengaji dan mengkaji al-Quran. Hal ini bertujuan menjawab dan memberikan kontribusi bagi perkembangan keagamaan dalam Islam. Para ulama yang lahir pada abad itu mulai memikirkan dan mengembangkan ajaran Islam berdasarkan kajian yang ketat dengan fokus utama memberikan solusi bagi segala masalah yang timbul dan mungkin akan timbul pada masa selanjutnya. Pada zaman ini di tandai dengan lahirnya empat madzhab otoritatif yang memiliki pengikut yang menjamur sampai sekarang.

Uraian singkat di atas berbicara mengenai seputar perkembangan interaktif umat dengan ajaran Islam yang di wakili oleh wahyu yang di pengaruhi oleh perkembangan masalah keagamaan dalam Islam. semua perkembangan yang di hadapi oleh umat tampak terus berkembang setiap dekadenya. Perkembangan itu di sebabkan oleh beberapa hal. Salah satunya yang tidak dapat di pungkiri adalah faktor sosiol-kultural yang mengekor setiap baris peradaban dan bangsa. Dengan demikian, apa yang sebenarnya ingin sejarah ungkapkan terkait peluang pribumisasi Islam ini adalah : segala produk hukum keagaman yang lahir pada suatu zaman adalah produk zaman itu juga. Hal ini tidak dapat di pungkiri. Hal ini dapat di buktikan dengan banyaknya karya ulama salaf yang pembahasannya masih terkotak dalam lokalitas Arab. Yang kedua adalah : berkembangnya masalah keagamaan memungkinkan untuk lahirnya hukum baru yang lebih relevan dengan mempertimbangkan segala aspek yang mencakup geografis dan sosio-kultural suatu bangsa.

Kedua point di atas merupakan sebuah pintu peluang dalam rangka membumikan Islam. Yakni menjadikan ajaran Islam yang lebih lebih arif dan akomodatif dengan mempertimbangkan aspek kebudayaan dalam suatu daerah. Disinilah pentingnya mengubah wajah fikih di Indonesia yang lebih mengenai sasaran dan dapat memberikan jawaban yang arif dengan lokalitas kebudayaan di dalamnya. Hal ini dapat di lakukan dengan memberanikan diri menggeser konstruks epistemologi fikih yang bernuansa timur tengah ke dalam wajah fikih yang lebih berwarna Nusantara. Tanda-tanda pergeseran itu mulai tampak dengan beredarnya berbagai wacana keislaman yang lebih dibumikan dalam konteks keindonesiaan.

Sebuah Tantangan

Ada beberapa tantangan yang di hadapi oleh masyarakat Indonesia dalam rangka aktualisasi wacana pribumisasi Islam ini. Yang pertama kali timbul adalah sikap antipati dari kalangan umat yang secara ideologi lebih tertutup dan eksklusif. Hal ini dapat kita lihat dengan kasus seputar perkembangan pemikiran yang berbuah pada berbagai wacana pribumisasi Islam. Sebut saja beberapa waktu yang lalu, di Indonesia sempat di gemparkan oleh pembacaan al-Quran dengan menggunakan langgam jawa. Yang paling mengundang kontroversi ketika al-Quran dengan langgam jawa ini di lantunkan di gedung negara. Sontak membuat beberapa oknum keagamaan tanpa di sebutkan lagi namanya langsung memvonis kafir orang-orang yang terlibat dalam acara itu. Dan dikatakan sebagai sebuah penghinaan terhadap ayat-ayat al-Quran. Hemat penulis, klaim dan labelisasi yang di berikan oleh oknum ini cenderung gegabah dan takut. Hal ini akibat dari pada cara pandang yang tak realisitis dan tidak logis. Hasilnya pun terkesan keras dan tak kenal kompromi.

Melunakkan gerakan oknum keagamaan seperti ini -yang merupakan penentang garda depan terhadap fikih Nusantara yang di wacanakan dalam rangka merealisasikan gagasan pribumisasi Islam- memang sangat susah –untuk tidak mengatakan mustahil. Oknum dan gerakan seperti ini memang terkenal militan dengan doktrin yang tidak bisa di tawar. Maka selama pegiat pribumisasi Islam ini belum bisa menghimpun dan melunakkan oknum keras ini, maka pribumisasi ini akan sulit sekali tercapai. Jalan tengahnya adalah dengan membuka dialog keagamaan yang lebih logis hingga satu dengan yang lain dapat saling memberikan pemahaman. Dialog inipun terasa sulit di capai, karna oknum militan terkait di kenal tidak mau berkompromi dalam masalah keagamaan.

Point yang kedua adalah, samarnya konstruksi-operasional epistemologis dalam rangka mengembangkan gagasan ini. Sejauh perkembangan gagasannya ia hanya melahirkan sejumlah diskursus dan wacana keagamaan yang membumi namun masih dalam bingkai yang belum jelas. Akibatnya sangat sulit merumuskan wacana dengan kajian dan pengembangan ini dengan serius dan konsisten. Hal ini menyebabkan pula pada asingnya setiap produk hukum yang kontekstual dan membumi. Karna dalam kajian keislaman terutama dalam masalah fikih -dalam hal ini memiliki peran yang sangat vital di indonesia- masih sangat di dominasi oleh pernak- pernik fikh Timur Tengah. Maka disinilah pentingnya merumuskan konstruksi epistemologis dalam rangka mengoperasionalkan gagasan ini. Bila ini sudah bisa di rumuskan dengan jelas, maka fikih Indonesiawi akan mudah terwujud.

Yang selanjutnya adalah perlunya memfokuskan haluan pribumisasi Islam kepada masalah-masalah keiindonesiaan. Disini pribumisasi Islam berarti menjadikan Islam sebagai sebuah solusi terhadap isu-isu lokal. Pengubahan haluan ini sebenarnya merupakan derivasi dari buah pemikiran Gus Dur tentang pribumisasi Islam dengan menjadikan Islam sebagai etika sosial. Kalau dalam “Islam sebagai etika sosial” Gus Dur lebih menekankan tentang pentingnya menjadikan agama Islam sebagai sebuah etika pembentuk tatanan keadilan, kebebasan dan toleransi dalam berkehidupan sosial. Hal ini di tandai dengan di perbolehkannya mengganti kata assalamualaikum dengan kata “selamat pagi”. Hal ini di tawarkan oleh Gus Dur demi terciptanya sebuah tatanan komunikasi yang interaktif dan bebas antara agama. Tawaran nilai yang di berikan oleh Gus Dur ini tampaknya kurang awet dan sedikit sumbangsihnya. tawaran ini sama sekali redup dan tidak berjalan di kalangan masyarakat karna memang kurang menyentuh dalam menyikapi apa yang masyarakat butuhkan. Disinilah pentingnya mengubah haluan pribumisasi Islam yang lebih menyentuh sisi-sisi problematik keumatan, seperti penanganan korupsi, pengangguran, pelanggaran hukum dan lain sebagainya.

Check Also

CERDAS SPIRITUAL DALAM BERKOMUNIKASI DI MEDIA

Oleh: BUHORI, M.Pd. Sejak tahun 1964, Marshall McLuhan (w.1980), telah memprediksi bahwa suatu saat akan …

Tinggalkan Balasan