Home / Opini / Muslim Perkotaan dan Perdesaan

Muslim Perkotaan dan Perdesaan

(edisi 26-06-16)

Terma diatas sering kali di singgung oleh orang untuk memberikan “tanda baca” terhadap sebuah entitas atau realitas pemikiran keagamaan yang berkembang dalam sebuah fakta sosia- geografis dan kultur tertentu. Antonim dari terma ini -sependek pengetahuan saya- tidak di temukan frasa yang memang menunjukkan sisi diametral sama sekali sebagai lawan kata ini. Kata terma “muslim perkampungan” atau bahasa yang sama padananya belum tercetuskan juga. Hal ini jadi menarik, karna kemudian lahir sebuah pertanyaan, bagaimana terma itu bisa lahir begitu saja untuk membaca sebuah realitas, sementara realitas kebalikannya tidak ada terminologi yang memadai ?

Lantas kenapa terma diatas lahir ?. hal ini tentu di tengarai oleh sebuah realitas yang memang tidak stabil dalam sebuah pemikiran. Terjadi ketimpangan sporadis dalam realitas masyrakat perkotaan. Dimana perubahan itu menyerang orang-orang elit perkotaan. Sedangkan realitas sebaliknya tidak memperoleh perubahan itu dan justru lebih tradisional.

Terma diatas lebih tepatnya digunakan untuk membaca dua arus besar pemikiran Islam yang diwakili oleh dua Ormas besar Tanah Air. NU dan Muhammdiyah. Dua ormas ini pada awalnya lahir sebagai dalam rangka meningkatkan sumber daya umat Islam untuk menjaga keutuhan NKRI yang masih dalam cengkraman penjajah. Pada dekade berikutnya, dua ormas ini mencapai titik dimana keislaman sebagai fondasi pemikiran, membentuk dua kutub karakter keislaman yang berbeda. NU yang mengusung Post-Tradisionalisme, menjelma menjadi sebuah gerakan keislaman yang lebih akomodatif terhadap tradisi keberislaman umat, sedangkan Muhammadiyah dengan Modernismenya menjadi sebuah gerakan yang multi-transformatif. Walau demikian, kedua ormas ini memiliki kesamaan visi membangun fondasi asas pemikiran di Indonesia agar terus berkembang dan maju.

Terma “muslim perkotaan” pada akhirnya di sematkan kepada Muhammadiyah oleh karna corak keberislaman yang lebih bercorak fiqh-sentris dan mempertanyakan banyak keabsahan tradisi dalam Islam yang berkembang di Indonesia. Sedangkan NU masih dalam basis pemikiran sufistik mengakomodir berbagai tradisi dan lebih akomodatif terhadap tradisi lokal keislaman. Kemudian distingsi pemikiran melahirkan dua corak yang mendominasi warna keislaman sejak dari saat itu, modernis dan tradisionalis. Modernis sebagian besar disandang oleh muslim perkotaan, sedangkan tradisionalis di pegang erat oleh orang-orang yang lebih halus menyikapi tradisi.

Dengan demikian, kata “perkotaan” bukanlah sebuah terma yang membatasi diri pada sebuah lokalitas, tapi digunakan hanya demi memberikan identifikasi pada corak pemikiran yang lebih modernis. Dimana frasa modern selalu identik dengan nuansa “kota”. Maka tak heran, jika NU selama ini selalu identik dengan kaum atau segolongan masyrakat yang di kenal lebih tradisionalis. Walau perkembangan NU secara keseluruhan juga besar di daerah perkotaan. Banyak kata yang mencoba merepresentasikan corak keberislaman warga NU, diantaranya adalah “kaum sarungan”, yang merupakan tradisi berbusana khas santri dan agamawan pedesaan.

Check Also

CERDAS SPIRITUAL DALAM BERKOMUNIKASI DI MEDIA

Oleh: BUHORI, M.Pd. Sejak tahun 1964, Marshall McLuhan (w.1980), telah memprediksi bahwa suatu saat akan …

Tinggalkan Balasan