Nahdhathul Ulama atau lebih di kenal dengan akronim NU, adalah sebuah organisasi keagamaan yang menjadi salah satu tata cara dan tradisi beragama garis mainstream di Indonesia. Sejak puluhan tahun ketika NU lahir yang di bawa oleh para Ulama, Habaib dan Kiai yang merupakan guru dan kebanggaan masyarakat NU, telah berhasil menebar sayap kebesaran ideology yang mereka usung dengan menjadikan Islam Indonesia lebih bercorak dan memiliki kekhasan tersendiri. Hal ini menjadi sangat nyata, karna pada realitasnya Islam dan masyarakat Indonesia sangat sulit sekali terpisah dari pada budaya. Perpaduan antara budaya dan agama yang terjadi di Indonesia merupakan salah satu wajah keagamaan yang mungkin akan sulit di temukan di Negara- Negara lainnya. Hal ini tak lain karna NU telah menjadi actor penting dalam rangka mengawinkan budaya dengan basis kearifan lokal.
Basis itu terus berkembang dan berjalan searah dengan perubahan dan kebudayaan masyarakat Indonesia. Dengan cara dan sistem beragama seperti ini, NU telah menjadi sebuah corak keagamaan di Indonesia nyaris secara umum. Ia telah menjadi wajah Islam yang mewakili bahkan Negara Indonesia sendiri. Maka tak heran, kalau KH Ahmad Baso seorang tokoh NU tulen memberi sebuah judul dalam bukunya dengan “agama NU” yang di asumsikannya sebagai sebuah cara beragama Indonesia secara keseluruhan. Asumsi dan pemberian lebel agama ke pada NU ini bukan sekedar mengada- ada. karna penulisnya membangun konklusi ini dengan beberapa pengalaman dan pembacaan realitas yang cukup panjang dalam konteks Islam dan keindonesiaan.
Konklusi ini terbaca dengan jelas tatkala realitas factual yang memang berbicara demikian. NU sebagai sebuah organisasi keagamaan telah melampaui garis kadar keorganisasiannya dengan melebur ke dalam kubangan keagamaan dan keberagaman budaya dengan tanpa sedikitpun mencoba mencederai dan melukai budaya lokal. Bahkan NU mencoba melakukan simbiosis mutualisme antara Islam dan budaya yang pada akhirnya menjadikan budaya itu berbasis keagamaan. Falsafah seperti inilah yang di usung sejak dahulu pertama kali unjuk gigi sampai sekarang. dan dampaknya tidaklah sembarang, karna dengan hal itu Islam menjadi semakin arif dengan kebudayaan lokal. Budaya tidak lagi luntur lantaran adanya doktrin agama, tetapi ia akan terus aktif berkelindan dalam kehidupan masyarakat, namun dengan aksentuasi dan sentuhan agama yang memberikan wajah religiusnya.
perjuangan demi menegakkan Islam yang Indonesiawi ini terus di lakukan oleh kader muda NU dengan berbagai bentuk dan variasi wacana yang muncul. Hal ini pulalah yang membuat NU terus di hiasi dengan warna-warni pemikiran. hal ini terjadi karna ekspresi keagamaan yang kuat dan kecintaan pada budaya yang mengakar para kadernya telah menciptakan pemikiran yang memiliki implikasi besar dalam konteks Islam keindonesiaan.
Melacak asumsi dan postulat wacana progresif
Dalam upaya menggagas progresifitas ini, setidaknya ada dalil dan asumsi yang menjadi landasan dalam membangun paradigma ini. Ada sebuah asumsi yang terformat dalam sebuah adagium masyhur dalam tubuh NU yang senantiasa terpatri di jiwa kadernya, yaitu :
المحافظة على القديم الصالح و الاخذ بالجديد الاصلح
Mempertahankan sesuatu yang lama yang baik, dan mengambil yang baru dan lebih baik.
Adagium ini bukan sekedar isapan jempol dan omong kosong, di dalamnya mengandung sebuah falsafah sebuah pergerakan yang dinamis yang terkontrol dengan baik dan berakar kuat. Disnilah asumsi berbentuk adagium singkat ini membentuk paradigma transformatif di dalam pergerakan NU dalam mengawal keberagaman dan keberagamaan di Indonesia tiap jengkal zaman dengan tanpa mengabaikan warisan budaya dan sebagainya yang telah lama. Hal inilah yang di contohkan oleh para ulama dan kiai yang telah menjadi tokoh sekaligus contoh bagi para santri dan mereka yang berada dalam bendera kebesaran NU. Di saat dunia Islam terjangkit virus wahabisasi global dan Indonesia teringkus dalam penjajahan fisik dan mental, NU datang dengan segala kearifannya mencoba melakukan berbagai pergerakan perjuangan dalam upaya mengawal Islam dan Indonesia.
Kemudian setelah adanya asumsi yang membangun paradigma tindak fikir di atas, ada sebuah postulat yang menjadi dasar pergerakan dan perjuangan. Hal ini dapat kita lihat dalam al-Quran surah Ali Imron ayat 104 yang berbunyi :
ولتكن منكم امة يدعون الى الخير يامرون بالمعروف وينهون عن المنكر والئك هم المفلحون
“dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang mengajak kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.”
Dalam konteks pembicaraan kali ini, ada dua kata kunci yang menjadi titik fokus kita terkait ayat di atas. Yang pertama adalah kata al-Khair dan kedua adalah kata al-Ma’ruf. Dua terma ini di sebutkan dalam ayat di atas dengan redaksi yang berbeda. Padahal secara eksplisit konotasinya relatif sama. Yang pertama di verbalisasikan dengan kata يدعون (mengajak) dan yang kedua dengan يامرون (menyuruh).
Terma الخير dalam pandangan ulama klasik kemudian di ikut oleh segenap ulama kontemporer cenderung di maknai dengan sebuah kebaikan universal yang memiliki konsep nilai dasar sebuah kebenaran. Hal ini tampak dalam beberapa penafisiran sebagaimana yang di rekomendasikan oleh imam Ibnu Katsir bahwa yang di maksud al-Khair adalah “mengikuti al-Quran dan jalan yang telah di tentukan oleh Allah”. Dengan demikian dapat kita asumsikan bahwa al-Khair adalah sebuah kebaikan yang datang dari Allah melalui perantara Rasul-Nya, nilai kebaikan yang demikian inilah yang dinamakan sebagai kebaikan yang universal dalam sebuah agama. Maka sungguh tepat verbalisasi yang di gunakan oleh al-Quran dengan pemilihan kata “mengajak”, yang rasa bahasanya lebih bermakna lembut dan tanpa aksen doktrinasi.
Yang kedua adalah terma لمعروف secara bahasa dapat diartikan sebagai sesuatu yang sudah di ketahui. Dalam pandangan ulama tafsir seperti Prof. DR. M. Quraish Shihab terma ini bermakna sebuah nilai kebaikan yang di ketahui dan di sepakati oleh suatu masyarakat. Tentu saja kesepakatan suatu masyarakat sangat tergantung kondisi dan keadaan sesuai tempat di mana masyarakat itu membentuk sebuah peradaban. Maka di sinilah perkembangan al-Ma’ruf akan senantiasa berubah-ubah sesuai dimana ia di produksi. Maka menarik kiranya kita lihat sebuah penggalan prosa singkat yang di ungkapkan oleh imam Muqoffa’ :
اذا قل المعروف صار منكرا و اذا شاع المنكر صار معروفا
“apabila sebuah kemakrufan sedikit maka ia menjadi mungkar, dan apabila kemungkaran yang menjadi banyak maka ia menjadi makruf”
Prosa di atas tentunya kita pahami sebagai sebuah ungkapan yang mana makna ma’ruf dan mungkar sama-sama di maknai dalam batasan leksikalitasnya. Namun, dari ungkapan ini dapat kita pahami bahwa ma’ruf adalah sebuah kesatuan nilai yang di ketahui dan di sepakati secara konsensus oleh suatu masyarakat. Sebaliknya mungkar adalah sebuah kesatuan nilai yang tidak di sepakati oleh masyarakat.
Dalam hal ini al-Quran membuka sebuah kemungkinan berkembangnya nilai-nilai dalam sebuah masyarakat yang masing-masing akan membuat konsepnya sendiri. Namun perlu di catat setiap nilai kebenaran yang timbul dalam suatu masyarakat tertentu harus senantiasa ada di bawah koridor kebenaran universal yakni al-Quran. Disnilah perlunya filterisasi sebuah kebenaran budaya nilai (al-Ma’ruf) yang sesuai dengan konsep kebenaran dalam agama (al-Khair) sangat di perlukan. Karna tidak semua perkembangan nilai dalam satu masyarakat dapat di benarkan dalam sudut pandang kebenaran agama.
Poin pentingnya dalam judul bahasan kita pada kali ini adalah bagaimana kawula muda NU dengan paradigmanya dapat mengkonter setiap pertumbuhan dan pergeseran nilai dalam sebuah kebudayaan agar senantiasa berada dalam naungan al-Khair. Perkembangan nilai inilah yang nantinya harus di sikapi secara bijak dan teliti, terutama di zaman yang kali ini di jejali dengan tantangan dan tawaran nilai yang bermacam-macam. Maka terasa tidak relevan apabila kita berusaha lari dari kenyataan zaman dan membiarkannya bergulir begitu saja tanpa ada penyikapan. Sebaliknya akan sangat konyol bila terlalu terbuai dan silau karna kemilaunya sehingga yang lama harus terkesampingkan. Di sinilah progresifitas akan terus tertempa menuju pendewasaannya.
“Aswaja membumi” dan keniscayaannya
Melihat keniscayaan diatas, sudah begitu jelas peluang hadirnya progresifitas NU sebagai garda terdepan dalam rangka menyiarkan nilai-nilai Aswaja sebagai sebuah nilai yang dianggap layak dan mampu menangani pluralitas, realitas sosio-kultural yang ada di Nusantara. Wacana progresif ini terbukti ampuh membumikan nilai-nilai Aswaja hingga saat ini. Hal ini dapat kita perhatikan dalam kehidupan sehari-hari umat Islam yang ada di Indonesia yang begitu terbuka dan saling mengayomi satu sama lain tanpa ada dikotomisasi ras dan Agama. Sampai saat ini Indonesia dengan mayoritas umat muslimnya, senantiasa konsisten dalam mempertahankan kerukunan demi keutuhan NKRI.
Ini merupakan salah satu bukti sekaligus sebuah peluang dalam rangka mengupayakan lahirnya kerukunan dan stabilitas kehidupan yang lebih baik untuk kedepannya. Maka dari itu, warga Nahdhiyyin sudah selayaknya terus berupaya membangun rangkain nilai yang terkandung di dalam aswaja sebagai otoritas referensial yang harus senantiasa di rekonstruksi demi kemapanan ideology NU kedepannya.