Oleh Ai Maryati Solihah
Kejadian pengeboman rumah ibadah beberapa hari lalu higga menewaskan seorang anak kecil sungguh memprihatinkan. Sekali lagi kekerasan atas nama agama telah menodai kehormatan bangsa yang dibangun atas dasar kebinekaan. Peristiwa tersebut kian memberi stigma buruk pada wajah agama Islam, terutama bangunan alam bawah sadar anak –anak yang notabene menjadi korban peristiwa tersebut.
Betapa tidak, anak-anak sangat membutuhkan pengalaman keagamaan dalam hidupnya dalam membentuk karakter dan kepribadiannya dalam membentuk perilaku mereka. Masa kanak-kanak adalah periode awal pembentukan karakteristik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupannya kelak.
Kebutuhan pengalaman keagamaan adalah hak anak yang sebetulnya telah diamanatkan dalam UUPA no 23/2002, pada bab IX pasal 42 bahwa anak dijamin negara dalam menjalankan ibadahnya baik dalam bentuk pembinaan, bimbingan dan pengamalan ajaran agama bagi anak. Hak perlindungan agama bagi anak setara dengan hak anak seperti kesehatan, pendidikan, pengasuhan dan perlindungan kebutuhan khusus anak lainnya. Negara bertanggung jawab pada kebutuhan pengalaman keagamaan anak yang damai, tentram, menyejukkan dan memberi teladan baik bagi anak. Bukan sebaliknya pengalaman keagamaan mereka dihinggapi pengalaman buruk, penuh kekerasan bahkan terror.
Tugas ini patut mendapat perhatan serius dari pemerintah untuk membangun pemulihan anak pada keadaan semula. Termasuk memastikan rehabilitasi anak pasca terjadinya aksi terror tersebut. Beberapa langkah yang bisa ditempuh oleh pemerintah adalah dengan melebur dengan masyarakat, melakukan pendataan anak di daerah kejadian untuk dijadikan data base prosentase anak yang melihat, merasakan dan mengalami kejadian di lokasi.
Pendekatan pemulihan psikososial sangat dibutuhkan dan dipilah menurut umur anak sehingg ada klasifikasi pendekatan lebih lanjut. Berikutnya membangun komunikasi dengan tokoh agama dan masyarkat sebagai upaya kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat dalam rangka membangun hubungan dialogis untuk mencari jalan keluar yang efektif.
Penanganan pada anak-anak di lokasi tersebut dapat dikatagorikaan sebagai perlindungan anak secara khusus, diantaranya adalah anak dalam situasi darurat, anak korban jaringan teroris dan anak korban kekerasan fisik dan psikis (UU PA No 23/2002 Bab IX Pasal 42). Kekhususan penanganan dari keadaan tersebut dapat dilihat dari pasal 69a UUPA No 35/2014 revisi UUPA no 23/2002 dengan memberikan penanaman nilai edukatif agama yang membantu meyakinkan bahwa agama tidaklah mengandung ajaran teror, melakukan rehabilitasi social, pendampingan psikososial baik konsultasi dan pemulihan, dan memberikan pendampingan.
Semangat yang terus harus dipelihara adalah memulihkan perilaku anak-anak agar tidak terus menerus dilanda kecemasan, ketakutan, stigma buruk tentang Islam, dan kekhawatiran-kekhawatiran berlebihan bergaul dalam lingkungan social. Memang akan butuh waktu, sehingga anak-anak yang tadinya diharapkan akan tumbuh dan berkembang dalam nilai keagamaan yang wajar, toleran, harmoni dan saling menghormati akan membutuhkan pendampingan-pendampingan intensif dalam membangun optimism baru bahwa perilaku terror seperti yang mereka alami bukanlah tugas agama-agama, melainkan bersumber dari kesalahan berpikir dan bertindak seseorang yang mengatasnamakan agama.
Ai Maryati Solihah, Ketua PB Korp PMII Putri (KOPRI) Periode 2005-2007, pengamat masalah anak