Home / Berita / Islam Nusantara, Strategi Membangun Keutuhan Islam dan NKRI

Islam Nusantara, Strategi Membangun Keutuhan Islam dan NKRI

(Edisi 22 juni 2016)

Realitas dunia pemikiran Islam di Indonesia memang tidak pernah berhenti berdetak. Sejak era kebebasan berfikir pasca Orde Baru di buka, reformasi tidak hanya terjadi di level politik dan kebijakan publik, tapi reformasi juga telah memberikan nafas segar atas lahirnya sebuah aroma baru di alam intelektual Indonesia. Semua pemikiran yang mengatasnamakan kemerdekaan, keislaman, persatuan, NKRI, Pancasila dan lain sebagainya, silih berganti menghiasi cakrawal pemikiran bumi pertiwi. Banyaknya lahir sosok pemikir dengan berbagai mode telah menunjukkan bahwa tradisi intelektual dan keilmuan di negeri ini telah bangkit dan menyentuh sisi kognitif masyarakat. Hingga tak jarang, banyak sekali ormas-ormas, LSM dan gerakan-gerakan di level mahasiswa yang lahir dan memberikan sumbangsih yang berguna bagi kontinuitas dinamika intelektual-revolutif menuju era baru di negeri tercinta ini.

Islam Nusantara, representasi pemikiran keislaman dan keindonesiaan.

Dari sekian simpang siurnya aroma pemikiran yang lahir dari otak kepala anak bangsa ini, setidaknya dapat kita klasifikasikan secara sederhana peta dan pola pemikirannya sebagai berikut :

  1. Revival : tipologi arus pemikiran revival adalah ciri khas Islamismenya yang senantiasa dominan sebagai basis epitemologi mereka. Mereka mengedepankan nalar agamis diatas nalar lainnya walau harus menentang konstitusi. Pada akhir-akhir ini, gerakan ini telah mendapati berbaga sorotan sinis baik dari media maupun ormas tertentu yang merasa keberatan dengan manifestasi nilai mereka dilapangan. Dari gerakan revival ini lahir potensi terkait timbulnya gerakan-gerakan radikalisme yang mengatasnamakan agama. Secara historis, gerakan ini revivalis-islamis berinduk kepada pola pemikiran yang berkembang di Timur Tengah, dan merupakan trayek Wahabi serta Neo salafi dalam rangka menaruhkan pengaruh ideologi mereka menguasai arus utama pemikiran Islam.
  2. Liberal : adapun liberal, merupakan corak pemikiran yang berinduk kepada Barat. Liberalisme senantiasa melekat erat dengan pola kehidupan serta corak pemikiran yang bebas, individualis, hedonis, sekuleris yang di representasikan dengan baik oleh banyak negara di Barat. Di Indonesia, pemikiran liberal ini pernah bercokol dengan penuh digdaya dan sukses melakukan antitesis terhadap perkembangan Islamisme militan yang dalam waktu yang sama juga mulai mengembangkan sayap. Namun, seiring perubahan waktu corak pemikiran ini juga demikian telah banyak memperoleh sorotan tajam dari berbagai pihak. Kemungkinan terbesar adalah laku kontroversial yang sering melabrak main stream pemahaman yang berkembang di masyarakat.

Setidaknya dua pola pemikiran itu telah cukup mewakili arus-arus Pemikiran Islam yang berkembang di Indonesia sampai hari ini. Dua arus utama tersebut telah melahirkan beragam corak pemahaman Keindonesiaan dan keislaman yang masih mendominasi dan masih terus bertarung. konsekuensi yang timbul dari dua kutub pemikiran itu adalah, timbulnya konflik pemikiran yang membuat pemahaman yang berkembang di masyarakat tidak dapat diakomodir dengan baik. Akhirnya perpecahan di tengah masyarakat dan agamapun tak terhindarkan, oleh karna akibat silang epistemologi yang terjadi antara dua kutub pemikiran diatas.

Jika memang demikian, realitas pemikiran yang berkembang di negeri ini, telah melahirkan berbagai perpecahan yang berpotensi konflik di tengah-tengah masyarakat muslim khususnya, karna perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan elit agamawan. Dengan begitu, Pemikiran Islam di Indonesia masih terus mengalami dikotomisasi epistemologi yang pada pangkalnya bermuara pada dua kutub pemikiran sebagaimana disebutkan diatas.

Lantas, adakah peluang untuk membangun sebuah epistemologi yang mampu menjawab segala kegelisahan pemikiran, menjadi kanal haluan pemikiran, membangun satu cita-cita kemajuan Islam dan Indonesia ?. Islam Nusantara adalah jawaban dari segala harapan dan pertanyaan itu. Islam Nusantara adalah sebuah terminologi untuk menggambarkan sebuah realitas Keislaman yang ada di Bumi Indonesia. Yang secara langsung untuk membangun bendungan atas masuknya pemahaman yang tidak sesuai dengan nalar Keislaman dan Kebangsaan di Indonesia. Islam Nusantara merupakan sebuah gambaran mengenai uniknya realitas plural yang ada di seantero negeri ini, dimana Islam sebagai agama mayoritas bisa duduk sama rata dan berdiri sama tinggi dengan agama-agama lainnya.

Himpitan dua kutub pemikiran yang semuanya adalah produk transnasional (dari Barat dan Timur Tengah), ternyata tidak ada yang sesuai dengan tradisi dan pola kehidupan beragama, berbangsa dan berkehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan yang signifikan antara dua pola pemikiran sebagaimana diatas dengan sosio-kultur yang berkembang di Indonesia sejak lama. Sosio-kultur dan sosio-historis yang melatar belakangi dua epistemologi (liberal dan revival) diatas telah membentuk corak dalam masing-masing produk pemikiran yang di hasilakannya. Dan corak produk itulah yang tidak sesuai dengan tradisi beragama dan berbangsa di negeri ini. Karna tradisi orang Barat tidak sesuai dengan tradisi masyarakat melayu Indonesia, begitu juga tradisi bangsa Arab tidak akan sesuai dengan pola kehidupan berbangsa dan beragama orang Indonesia.

Maka tak jarang kalau Islam Liberal sejauh ini banyak di nilai telah mempecundangi Islam sendiri, sedangkan Revival dianggap telah mencederai orang yang di luar muslim. Ini di karenakan, dua pemikiran berasal dari negeri yang sama sekali berbeda dengan Indonesia, sebut saja pemikiran liberal yang berasal dari negara Barat dengan sekuleritas dan multi kebebasan yang senantiasa mereka gaungkan. Di negeri yang mayoritas non muslim ini, keberadaan Islam begitu terdesak dan tersekap. Nyaris kebebasan yang mereka selalu dengarkan jargonnya dengan nyaring di Barat, justru tidak tidak mereka peroleh sebagaimana mestinya. Berbagai kasus pengucilan muslim, perampasan hak, pelarangan dan sebagainya serta mitos-mitos Islam menjadi salah satu legitimasi berkembangnya Islamophobia.

Wal hasil, liberalisme yang lahir di Barat adalah sebuah pola pemikiran yang sama sekali berdiri diatas norma agama dan menjunjung kebebasan individual secara membabi buta. Liberalisme lahir karna kekecewaan terhadap gereja yang selama ini telah menenggelamkan peradaban Barat. Dalam rahim kekecewaan terhadap agama inilah liberalisme Barat lahir, membawa misi yang bertentang secara diametral dengan agama. Tentu saja ideologi yang semacam ini tidak sesuai sama sekali dengan pola serta tradisi bangsa Indonesia yang meletakkan agama di altar yang sakral. Hal ini tercantum pada Pnacasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia, dalam sila pertama ada sebait kalimat yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kelimat ini diletakkan pada poin pertama dalam berbangsa dan bernegara di negeri ini. Seoalah Founding Father bangsa ini ingin menegaskan bahwa agama dan segala ajaran luhurnya adalah nalar pertama yang harus menjiwai setiap dada rakyat di negeri ini. Maka dari itu, liberalisme dengan berbagai warnanya, tidak sesuai dengan pola bernegara serta berbangsa di Indonesia.

Demikian juga revivalis yang –sepanjang penelitian sejarah- akarnya adalah lahirnya gerakan Wahabisme. Revivalis bergerak dengan jargon Arab yang sering mereka suarakan yakni “izzul Islam wal Muslimin”, jargon ini menandaskan bahwa Islam harus memperoleh kedigdayaan dimanapun ia berada. Ia harus tinggi diatas segala agama yang ada. Gerakan dengan ideologi ini diantaranya adalah Ikhwanul Muslimin. sejarah mencatat bahwa mereka (IM) telah menikah dengan Wahhabi setelah mereka di bubarkan oleh Gamal Nasser. Pernikahan itu telah melahirkan berbagai gerakan wahabisasi di berbagai negara. Salah satunya Indonesia tak luput sasaran mereka. Warna yang paling sering tampak dari pada upaya wahabisasi mereka adalah dengan membenturkan antara tradisi negeri dengan pola keislaman mereka yang rigit. Upaya membenturkan antara tradisi keberagamaan yang oleh masyarakat dipercayai sebagaimana adanya, dengan ajaran-ajaran keislaman versi mereka yang menyoal kembali otentitas dalil serta mendekonstruksi tradisi ini dengan berbagai argumen.

Jelas sekali, golongan revivalis dengan ideologi berbau wahabi yang mereka bawa adalah berasal dari kalangan serjana alumni Makkah dan Madinah setelah dua kota suci ini takluk di bawah rezim Bani Su’ud. Salah satu poin dalam Islam yang paling mereka soroti bahkan sampai sekarang adalah otentitas dan eksistensi praktek ubudiyyah mayoritas umat Islam –terutama yang ada di Indonesia- yang dianggap menyimpang dan tidak memiliki landasan teologis dalam Islam. Akhirnya keberadaan mereka bukan justru membuat masyarakat –khususnya warga NU yang mayoritas- merasa risih dengan segala pemahaman yang tidak bersahabat keislaman yang akomodatif sebagaimana di ajarkan oleh wali songo, sang juru Islam negeri ini.

Ala kulli hal, Islam Nusantara menjadi urgen untuk didiskusikan setiap waktu guna membentuk lingkar epistemologi yang lebih ramah lingkungan dalam rangka membumikan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah. Kegagalan dua epistemologi dahulu dalam merepresentasikan nilai Islam di Indonesia menunjukkan bahwa sudah saatnya Indonesia mempunyai sebuah ideologi yang mampu mengawal integritas Islam dan NKRI. Sudah waktunya Islam di Indonesia memiliki role model keislaman yang dapat mengakomodir pluralitas sosial yang mendominasi negeri ini. Sudah saatnya Islam dan Indonesia saat ini, menjadi satu rumah besar bagi semua unsur yang berlindung di dalamnya, dari agama, suku, bahasa, budaya, tradisi dan sebagainya. Tidak ada lagi keangkuhan mayoritas sebagaimana terjadi pada mayoritas Kristen di Barat hingga mendiskreditkan yang minoritas. Saatnya Islam mengajak semua elemen bangsa untuk duduk bersama dalam payung Nusantara dan Islam sebagai etika.

(M.H.M)

Check Also

Rais Syuriyah PWNU Kalbar Hadiri Pelantikan IPNU dan IPPNU Kabupaten Ketapang

Ketapang – NU Khatulistiwa, Pimpinan Cabang IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) dan IPPNU (Ikatan Pelajar …

Tinggalkan Balasan