Peringatan ke-7 Tahun Wafatnya KH Abdurrahman Wahid, Jumat 23 Desember 2016 mengambil tema ‘Mengaji Gus Dur: Menebar Damai Menuai Rahmat’. Dari tema ini, nilai keislaman Gus Dur yang tidak lepas dari sisi kemanusiaan penting untuk diterapkan.
“Menghadapi tantangan meningkatnya kebencian antarsesama muslim maupun terhadap kelompok lain akhir-akhir ini, kami merasa nilai keislaman yang diperjuangkan Gus Dur semakin relevan untuk digemakan kembali,” ujar Alissa Wahid, Ketua Panitia Peringatan yang juga puteri sulung Gus Dur, Selasa (20/12).
Menurut Alissa, ketegangan yang tak jarang berakhir dengan konflik kekerasan biasanya dipicu sikap merasa benar sendiri dan mudah menyalahkan yang lain. Sikap ini makin mengeras dan berdampak negatif jika dipengaruhi faktor politik, ekonomi, dan sosial.
Situasi ini, menurutnya, sangat mudah dijumpai di media-media sosial akhir-akhir ini. Padahal nilai-nilai keislaman jelas sekali mewajibkan pada perdamaian dan tak mudah berburuk sangka.
“Situasi ini dapat menganggu citra Islam, terutama bagi Indonesia yang menjadi model keislaman yang damai dan ramah di mata dunia. Apalagi masyarakat di negara-negara Barat saat ini mengalami Islamphobia, ketakutan daan kecurigaan terhadap Islam yang meningkat akibat maraknya kekerasan dan terorisme,” jelas Alissa.
Sepanjang hidupnya, Gus Dur dikenal sebagai tokoh yang malnjutkan tradisi para ulama pendahulunya menghadirkan Islam yang ramah dan damai, membela kepentingan kaum yang lemah, dan dapat beradaptasi dan menerima budaya lokal.
Nilai keislaman yang Gus Dur perjuangkan berusaha untuk menyapa dan merangkul semua kelompok. Beliau meyakinkan bahwa keislaman dapat bersanding dengan nilai-nilai kebangsaan dan demokrasi, menjunjung tinggi penghormatan hak asasi, menghargai perbedaan, serta mengutamakan persatuan dan persaudaraan. Nilai dan prinsip itu pula yang terus diperjuangkan saat beliau menjadi Presiden RI keempat.
Pada saat bersamaan, orang juga makin merindukan Gus Dur di saat tak sedikit para pejabat publik bertindak melawan rakyat atas nama pembangunan. “Di sejumlah daerah kita masih menyaksikan rakyat kecil ditinggalkan bahkan dirampas haknya dan kelompok minoritas ditekan. Di saat itu orang-orang rindu Gus Dur,” ucap Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian ini.
Peringatan Ke-7 Tahun ini diisi kegiatan tahlil, Maulid Nabi Besar Muhammad SAW, Taushiyah, Doa Bersama, Deklarasi Damai, dan Pembacaan Puisi.
Sejumlah tokoh agama, tokoh pemerintah, tokoh masyarakat, dan budayawan yang hadir antara lain sahabat dan budayawan KH. Achmad Mustofa Bisri, ulama asal Kudus Habib Ja’far Alkaff, ulama asal Semarang Habib Umar Muthohar, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH. Said Aqil Siradj, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Budayawan Joko Pinurbo, Putu Wijaya, Acep Zamzam Noor, dan Cici Paramida. Acara ini akan dimeriahkan pula oleh penampilan band musik tradisi Kunokini.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, kegiatan ini akan diikuti ribuan orang yang datang dari wilayah Jabodetabek dan sekitarnya. Mereka terdiri dari anggota majelis taklim, komunitas, hingga kalangan umum. Di pagi hari, mulai pukul 07.00 hingga 16.00 WIB, diisi Khotmil Qur’an (membaca tuntas 30 juz al-Qur’an). (Red: Fathoni)
Sumber: nu.or.id