Sadar atau tidak, kita sudah sering menemukan orang shopaholic. Bahkan, kita sendiri pun kemungkinan besar sudah masuk dan juga terjangkit penyakit shopaholic. Ya, apalagi jari kita sering scroll media sosial, seperti Instagram,tiktok dll, yang di scroll dikit sudah ketemu promosi makanan, sepatu, celana, smartphone, dan lain sebagainya. Apakah iya, kita bakalan membeli, itu mungkin. Maka, jangan lupa sadar, ya.
Penyakit Shopaholic diakui sebagai penyakit gangguan mental, karena mengalami ketergantungan yang berlebihan dan sangat lama (kronis). Selain itu, mungkin sedikit sekali orang yang mengetahuinya. Bahkan kemungkinan besar sebagian besar kita tidak tahu sama sekali. Tapi biasanya, banyak orang yang menganggap prilaku hobi. Saya nggak tahu, apakah berbelanja berlebihan apakah bisa disebut hobi. Tapi pada dasarnya, jika seseorang berbelanja apalagi dianggap sebagai hobi dan berlangsung terus menerus, ini patut di akui sebagai gangguan mental (shopaholic).
Shopaholic berasal dari kata shop, artinya belanja, dan aholic artinya ketergantungan yang disadari atau tidak. Shopaholic adalah seseorang yang tiak mampu menahan keinginannya untuk berbelanja dan berbelanja, sehingga menghabiskan banyak waktu dan uang, meskipun barang yang dibeli bukanlah kebutuhan yang dibutuhkan (Oxforts Expans). Orang yang mengalami shopaholic, akan membeli barang atas dasar life stayle atau gengsi. Membeli barang yang tidak di fungsikan dengan semestinya.
Asal Muasal Shopaholic
Shopaholic, merupakan serangkaian novel, ditulis oleh Shopie Kinsella. Di dalam bukunya, memperlihatkan tokoh protagonis Becky Bloomwood, Becky yang selalu dan sering berbelanja dan hidup dengan berkecukupan. Shopie Kinsella menulis buku pertamanya tahun 2000-an. Ada 6 buku yang ditulis Sophie Kinsella.
Sophie Kinsella selain penulis buku, dia adalah wartawan atau jurnalis di inggris. Buku yang ditulis Sophie Kinsella dijadikan film, yang berjudul Shopaholic, dirilis 13 Februari 2009. Didalam film tersebut, diperankan oleh Isla Fisher sebagai Rebecca dan Hugh Dancy sebagai Lukas. Dengan judul film Confessions Of a Shopaholic, yang menceritakan adaptasi dari novel The Shopaholic series yang ditulis oleh Sophi Kinsella.
Didalam film tersebut Rebecca sebagai seorang jurnalis dan hobi berbelanja. Ia menghabiskan waktu luangnya untuk berbelanja. Pekerjaannya sebagai jurnalis yakni menulis artikel tentang cara mengatur keuangan. Rebecca setiap ada masalah selalu melampiaskan dengan berbelanja dan tak bisa di rem, sampai pada suatu ketika Rebecca dikejar-kejar oleh surat-surat tagihan. Rebecca mengalami ketergantungan yang di dorong oleh keinginannya berbelanja dan berbelanja.
Media Sosial Dan Shopaholic
Modernisasi tekhnologi memberikan efek yang sangat siginifikan, terutama dibidang informasi, sehingga saat ini hadir media sosial. Media sosial, salah satu alat informasi dan mendapat informasi, seperti kejadian criminal, pakaian, makanan, dan segala tindak tanduk kehidupan dimasyarakat. Tapi, bagaimana jika media sosial menyebabkan seseorang mengalami shopaholic.
Ini sangat bisa, media sosial, seperti yang di definisikan di atas, belum lagi banyak banget orang menjual pakaian, makanan, kendaraan, kosmetik dan lain sebagainya dijual menggunakan media sosial, seperti Instagram, tiktok, facebook dan lain sebagainya. Dari informasi yang di dapatkan di media sosial, orang akan berusaha untuk membelinya. Dalam satu minggu, seseorang bisa membeli pakaian lebih dari 3 kali. Atau dalam satu bulan, seseorang bisa membeli pakaian atau makanan lebih dari 10 kali (yang dimaksud penulis pembelian barang diluar barang yang dibutuhkan). Ini hanya kira-kira saja, ya. Jika pun ini beneran, Astaghfirullah. Sadar!
Dikutip dari katadata.co.id (9/10/2021) dengan judul berita “Pengguna E-Commerce Indonesia Tertinggi Dunia”, Sebanyak 88,1% pengguna internet di Indonesia memakai layanan e-commerce untuk membeli produk tertentu dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini sudah pasti terjadi, dari 270 juta lebih penduduk Indonesia, 170.0 penduduk Indonesia di antaranya aktif di media sosial.
Tidak usah jauh-jauh, sedikit saya ceritakan pengalaman penulis. Ada beberapa teman-teman saya yang juga mengalami hal yang sama, yakni membeli makanan setiap hari, dan ini bukan karena lapar, melainkan karena sedikit buka media sosial dan tampil makanan yang disajikan dengan begitu nikmat dan megah, alhasil dibeli. Bukan satu satu dua kali, melainkan dalam satu hari bisa beli makanan 5-8 kali, bukan karena lagi lapar, tapi keinginannya yang kuat.
Bukan itu saja, ada beberapa teman-teman penulis yang juga menyukai belanja pakaian dan kosmetik. Bahkan, dalam satu minggu saja lebih dari 5-7 kali belanja. Bukan karena pakaian dan kosmetiknya habis, melainkan karena sering buka media sosial dan sekali dibuka muncul tuh promosi, dan pada akhirnya langsung dibeli. Bahkan, mereka sampai berhutang untuk membeli barang tersebut.
Inilah yang terjadi, jika kita hidup dalam ketergantungan dan sifat gengsi yang tinggi. Life stayle menjadi alasannya, ini tidak rasional. Membentengi diri sejak dini perlu, agar kita tidak hidup dalam ketergantungan, caranya yakni dengan membaca buku, atau produktifitaskan diri sebagai penyaluran karya atau kreatifitas berpikir yang baik (pahami konteks).
Berbelanja Keinginan atau Kebutuhan
Ada berbagai cara orang menjalani kehidupan. Dan ada berbagai pola kehidupan yang akan mempengaruhi tingkat kehidupan seseorang. Lalu bagaimana jika seseorang hanya hidup dalam ketergantungan pada barang dan juga benda, yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan tetapi tetap saja dibeli karena lingkungan yang banyak berbelanja.
Berbelanja, tidak sepantasnya di dasarkan karena keinginan. Tetapi karena kebutuhan. Keinginan hadir karena sudah mengalami ketergantungan pada sesuatu, yakni berbelanja. Seseorang akan berbelanja tanpa harus melihat punya uang atau tidak, karena jika tidak punya uang mereka akan melakukan tindakan untuk meminjam uang atau berhutang. Hal ini terjadi karena mental berpikirnya sudah tidak bisa rasional. Prilaku ini juga akan menghasilkan tindakan kriminal, seperti membunuh,mencopet,mencuri dll. Ini di dorong karena keinginan berbelanja atau mendapatkan barang tadi.
Kebutuhan adalah sesuatu yang dihasilkan karena memang harus disedikan dan harus ada. Misalnya, seseorang membutuhkan beras, dengan alasan karena beras sudah habis dirumah. Sehingga perhitungan pengeluaran keuangannya juga bisa di ukur dengan baik. Pakaian akan dibeli karena alasan sudah kekecilan, atau sudah sobek, dan ini harus disedikan. Jika pun masih ada yang lain, orang tersebut akan memakai yang ada, bukan harus membeli yang baru lagi.
Seendaknya, kalian sudah harus pahami mana yang harus dibeli dan yang tidak. Ini adalah prilaku yang sebenarnya tidak harus kalian dapatkan. Karena lingkungan juga seringkali mendorong dan juga teknologi informasi memberikan akses, sehingga kita semakin mudah untuk mengalami prilaku menyimpang, salah satunya yakni shopaholic atau gangguan mental.
Jenis-Jenis Shopaholic
Menurut Ronny F. Ronodidjo, penyakit shopaholic dibagi menjadi 6 jenis, yakni:
- Shopaholic Pemburu Image
Orang yang berburu dan mencari-cari berbagai aksesoris yang lebih bagus untuk pakaian. Mengoleksi dan memakai berbagai barang yang sesuai dengan perkembangan trend fashion.
- Shopaholoic Kompulsif
Orang yang berbelanja untuk menghasilkan perasaan, jika merasa situasi kurang mengenakkan, maka akan merasa senang jika berbelanja. Mood negative selalu cepat memicu keinginan untuk shopping dan menghamburkan uang.
- Shopaholic diskonan
Membeli barang bukan karena suatu kebutuhan yang riil, namun bukan karena suatu kebutuhan riil, melainkan hanya karena merasa senang saat mendapatkan deal yang oke. Orang tersebut senang saat mendapatkan barang yang penting tidak ketinggalan diskon atau “sale”.
- Shopaholic Komplusif
Memberli sesuatu yang tidak dibutuhkan, namun semata-mata membeli untuk mendaoatkan cinta atau penerimaan diri dari orang lain.
- Shopaholic Bulimia
Orang yang selalu ingin makan segala sesuatu, padahal ia tidak lapar, kemudian dimuntahkan kembali karena takut gemuk. Orang seperti hanya akan membeli ketika sudah dapat akan membuang-buangnya kemana-kemana secara tidak jelas.
- Shopaholic Kolektor
Rasa harus memiliki satu set lengkap dari suatu hal atau membeli banyak barang agar memiliki seluruh model dan warna-warni yang berbeda.
Penyebab Terjadinya Shopaholic
Shopaholic disebabkan berbagai faktor dari luar dan dari dalam diri seseorang. Menurut Klinik Servo dalam putri Kumala Dewi (2009), ada beberapa factor yang dapat menjadi penyebab shopaholic, yakni:
- Orang yang materialis atau kehidupannya hedonis
- Orang sering mempersepsi orang lain negative, berdasarkan yang dimiliki, seperti mobil, rumah,jabatan, dan lain sebagainya. Sehingga mengakibatkan merasa terus kekurangan.
- Kecemasan yang berlebihan, misalnya akibat trauma kemiskinan dimasa lalu.
- Sering melihat iklan di media online maupun tv yang menggambarkan pola hidup komsumtif dan hedonis merupakan sarana untuk melepaskan stress. Seperti iklan makanan, pakaian, diskon, dll.
- Pola pikir obsesi akan sesuatu namun tidak rasional.
- Pengaruh lingkungan sosialisasi, pendidikan dan tempat tinggal.
Dampak Positif Shopaholic
1. Penghilang Stres
Stres, merupakan akibat dari kurangnya keseimbangan jasmani dan rohani. Sehingga, seseorang akan melampiaskannya yakni dengan berbelanja. Ini bisa menenangkan, tapi tidak bisa terus menerus, tetapi bersifat sesaat.
2. Perkembangan Jaman
Keinginan berbelanja yang terus menerus, membuat seseorang tampi up to date atau mengikuti jaman.
Dampak Negatif Shopaholic
1. Prilaku Komsumtif
Konsumtif adalah prilaku mengkonsumsi barang terus menerus, biarpun tidak perlu tetapi terus saja dibeli. Hal ini dilakukan karena memanfaatkan nilai uang lebih besar dari pada nilai produksinya untuk barang dan jasa yang menjadi kebutuhan pokok (Tambunan:2007).
Prilaku ini terjadi pada kalangan usia 30-an kebawah (dewasa). Dengan kata lain mereka memiliki kecendrungan materialistic, hasrat yang besar untuk memiliki benda-benda tanpa memperhatikan kebutuhannya.
2. Sikap Boros
Boros merupakan sikap berlebih-lebihan dalam pemakaian uang. Seseorang bersikap boros dapat dinilai dari pengeluarannya. Sehingga ini berakibat pada kehidupan dimasa tua atau masa depannya. Karena memiliki pola pikir kepuasaan sesaat dan tidak rasional.
3. Kecanduan
Bukan hanya narkoba seseorang bisa candu, tetapi shopaholic dapat membuat seseorang candu, yakni kecanduan berbelanja. Ini dapat dilihat dari seseorang yang melihat barang-barang baru atau barang branded dan langsung dibeli.
Cara Mengatasi Shopaholic
Ingat, shopaholic bukan hanya pada sifat borosnya saja. Tetapi, shopaholic disebut gangguan mental karena keinginan yang berlebih untuk berbelanja dan menjadi ketergantungan. Jika hal ini tidak diatasi dengan baik, mungkin anda akan terus menerus hidup dalam ketergantungan materil. Untuk mengatasinya, ada beberapa hal, yakni:
- Sadari, akui dan hentikan tindakan berbelanja berlebihan.
- Menceritakan masalah anda pada orang terdekat atau keluarga.
- Meminta keluarga untuk memanjemen keuangan.
- Menggunakan waktu luang untuk membaca buku.
- Lakukan rileksasi ketika berkeinginan untuk berbelanja.
- Menggunakan uang secukupny dan jangan menggunakan kartu kredit atau debit.
- Berbelanja dengan keluarga terdekat atau teman yang bisa mengontrol keuangan.
Penulis: Muhammad Hotip (Kader PMII)