Oleh : Ira Santika
Shalat merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim yang sudah menginjak dewasa (pubertas) atau sudah baligh. Walaupun tidak sedikit muslim yang dengan mudah meninggalkannya, hal ini tidak merubah eksistensi shalat sebagai sebuah kewajiban yang diutamakan. Mengenai shalat, terdapat beberapa perbedaan bacaan dalam pelaksanakannya, hal itu terjadi karena perbedaan mahzab. Terdapat beberapa mahzab yang dianut muslim dibelahan dunia, ada yang menganut makhzab Syafi’i, Hanafi, Hambali, Maliki hingga Muhammadiyah. Walaupun diindonesia mayoritas menganut Syafi’i dan sebagian Muhammadiyah hal ini tidak sedikit juga menimbulkan berdebatan mengenai bacaan dalam shalat. Adapun yang menjadi problem yaitu diantaranya masalah bacaan qunut, masalah lafat ushali, dan masalah bacaan sayyidina dalam tasyahud.
Kalangan Nahdatul Ulama menanggapi qunut merupakan Sunah yang harus dikerjakan, jadi jika ketinggalan harus ditebus dengan sujud sahwi, sebab hukumnya sunah ab’ad. Kalangan Muhammadiyah beranggapan qunut merupakan Sunah, namun yang di maksud adalah qunut nazilah, yaitu hanya dalam keadaan tertentu dan bisa dilakukan disetiap waktu shalat lima waktu, sehingga bukan waktu shalat subuh semata.
Jadi jelas bacaan qunut merupakan salah satu bacaan yang penting dalam shalat terkhususnya shalat subuh. Jika belum hafal qunut, penjelasan Buya Yahya dalam vidio yang di upload account @sholawat.yuk2 di Instagram bisa dijadikan referensi, beliau berkata “jika kita tidak hafal qunutnya Baginda nabi lalu tidak hafal qunutnya sayyidina Umar langsung saja boleh menggantikan doa qunut dengan “Rabbana atina fiddun ya Hasana wafila Hiroti Hasana wakina azabannar”, jadi spesial untuk yang tidak hafal jangan tidak qunut! karna kehilangan pahala besar, anda tetap dianjurkan untuk berqunut.
Kedua, Nahdatul Ulama berpendapat melafalkan niat (ushalli) menjelang takbiratul Ilham dalam shalat adalah suatu yang sudah menjadi kebiasaan di kalangan warganya, khususnya dikota Banjarmasin sebab, ibadah itu dimulai niat dalam hati dan dilafalkan dengan lisan. Pendapat kalangan Muhammadiyah sebaliknya tidak melafalkan niat (ushalli) karena ketika Nabi shalat langsung mengangkat takbir tanpa melafalkannya.
Jadi melafalkan niat (ushalli) dalam mahkzab syafi’i berfungsi untuk mengingatkan hati agar lebih siap melaksanakan shalat sehingga dapat mendorong pada kekusyuk’an. Melafalkan niat memang tidak pernah nabi lakukan pada shalat tetapi pernah dilakukan Nabi Muhammad dalam ibadah hajinya. Oleh sebab itu hukum melafalkannya adalah sunah, jika dilakukan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
Selanjutnya, menurut Nahdatul Ulama membaca Sayyidina sebelum kata Muhammad dalam tasyahud akhir pada setiap shalat. Hal itu menandakan takriman wa ta’ziman kita kepada Nabi Muhammad SAW. Kalangan Muhammadiyah sebaliknya tidak menambahkan lafal Sayyidina dalam Tasyahhud, karena Rasulullah SAW tidak memerimtahkan untuk menambahkan lafal tersebut.
Mengenai hal ini Ustadz Abdul Somad dalam ceramahnya yang tersebar di youtube yang berjudull “Kumpulan Jawaban, Hukum Memakai Sayyidina” yang berdurasi kurang lebih enam menit tersebut, beliau menjelaskan hukumnya adalah boleh, dalilnya nabi sendiri yang menyebut dirinya Sayyid “ana sayyidu waladiadam”, aku ini adalah pemimpin” sedangkan Allah saja tidak pernah memanggil dia Muhammad. Allah kalau memanggil nabi Adam, Yaa Adam, Allah kalau memanggil nabi Musa, Yaa Musa. Tapi kalau Allah memanggil Muhammad, Yaa Ayuhannabi Yaa Ayuhalrasul. Maka kita pun memanggilnya Allahhumma Sholiala Sayyidina Muhammad, sudah ditulis juga dalam buku dengan judul 37 masalah populer.
Oleh karena itu penyertaan kata sayyid adalah bagian dari etika dan penghormatan terhadap Rasulullah SAW. Para nabi dan rasul yang diutus Allah SWT adalah manusia pilihan. Kedudukan mereka sangat terhormat dan mulia. Baik disisi Sang Khalik ataupun di hadapan segenap manusia. Jadi bisa disimpulkan bahwa menambahkan kata “Sayyidina” dalam tasyahhud adalah boleh, namun jika ada yang tidak berkenan juga tidak masalah intinya jangan saling menyalahkan apalagi sampai menyalahkan mengenai hal tersebut, karena tujuannya adalah sama yaitu untuk mendapatkan syafaat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam.
Dari penjelasan yang sudah diuraikan diatas mungkin timbul pertanyaan baru, seperti bolehkah menggabungkan beberapa mahkzab sekaligus, hukumnya apa, dalilnya dan lain-lain. Perlu di ketahui bahwa menggabungkan atau mencampur adukan mahkzab bisa menjadi haram jika niat hati mengikuti pendapat yang termudah atau yang sesuai dengan nawa nafsu dengan tujuan agar mendapatkan keringanan dan mengikuti syahwat karena kemudahannya. Yang boleh ialah berpindah makhzab adapun menggabungkannya masih menjadi ikhtilaf para ulama. Menurut Ustadz Abdul Somad boleh saja mencampurkan mahzab asal dengan beberapa syarat, pertama faham mahzab (mengerti semua mengenai 4 mahzab), yang kedua beda qhodiyah atau beda masalah , yang ketiga tidak saling membatalkan contoh misalkan berwudhu dengan cara Syafi’i tapi membatalkan dengan cara Maliki. Walahu alam bishawab.