Oleh: Sholihin,, M.Pd
Guru MAN 2 Pntianak / Ketua PC Pergunu Kota Pontianak
Judul tulisan ini penulis dapatkan saat mengikuti diklat yang diadakan oleh Pusdiklat Kementerian Agama secara online dengan rekomendasi dari Kemenag Provinsi Kalbar. Istilah ini diungkapkan oleh salah satu Widya Iswara Pusdiklat yang menurut penulis memiliki ketajaman makna dan penulis kembangkan menjadi dua pemahaman.
Pemahaman pertama secara harfiyah dan nyata adalah adanya orang yang ia tidak punya apa-apa di tengah orang yang serba ada. Ia menjadi minus dikala sekelilingnya surplus. Faktor yang menyebabkan ia tidak punya apa-apa atau minus bisa jadi ia masuk kategori orang yang tidak tahu bahwa dia tahu atau orang yang tidak tahu bahwa dia tidak tahu. Orang tidak tahu bahwa dia tahu adalah orang yang harus ditunjuk-arahkan, dibimlat (bimbingan dan latihan) untuk membutikan bahwa ia sebenarnya tahu hanya tidak tahu bagaimana menjadi dirinya sebagai orang yang tahu dan diketahui orang. Argumentasinya adalah bahwa tidak ada orang yang bodoh, yang ada adalah orang yang terlambat menerima pengetahuan karena terkait kecerdasan, atau adanya orang yang belum menemukan sang mentor atau fasilitator sehingga ia merasa nyaman untuk mengeksplore potensi minatnya. Untuk yang terakhir, munculnya kompetensi unggul pada seseorang berarti ia berada pada penanganan yang benar, oleh orang yang benar dan dengan cara yang benar.
Makna kedua dari judul di atas adalah secara kejiwaan. Dari sudut pandang ini, ia bisa serba ada (ekonomi mapan, status terhormat) tapi secara hubungan sosial ia mengalami fase eliminasi sederhananya rasa tersingkirkan sementara lingkungan bersikap terbuka dan menerimanya. Meskipun ini ‘hanya rasa’, tapi jujurlah kita bahwa itu tidak mengenakkan. Jiwanya merasa kesepian bisa saja karena ia ingin menyepi atau ia ingin komunikasinya dengan siapapun berjalan lancar tapi tidak tahu bagaimana menunjukkan eksistensinya.
Jiwa yang kesepian di tengah keramaian adalah ketidakmampuan mengadopsi dan mengadaptasi lingkungan di luar dirinya. Ketika yang lain asyik dengan kelompoknya, ia mencoba mengasingkan diri atau tetap bergabung bersama tapi wujud eksistensinya tidak mampu ditunjukkannya.Akhirnya, penulis sampai pada kesimpulan ( percaya atau tidak terserah pembaca ), bahwa wujud dan eksistensi seseorang berawal dan dipengaruhi oleh dengan siapa ia berteman, buku/referensi apa yang menjadi pegangan dan dilingkungan yang bagaimana ia bertempat tinggal.
Ibnu Athaillah as-Sakandary dalam al-Hikam (Hikmah 43) menyebutkan Jangan engkau berteman dengan orang yang keadaannya tidak membuatmu bersemangat menuju Allah, dan ucapannya tidak membimbingmu ke jalan Allah.
Kesepian di Tengah Keramaian Ternyata Tidak Menyamankan.* Semoga.