Oleh: Buhori
Pengurus Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Kalimantan Barat
Suatu ketika, bertemulah Imam al-Kisā`i, sang pakar Nahwu dari Kufah, dengan Abu Yusuf, ulama ahli Fiqih, di istana Khalifah Harun ar-Rāshid. Kemudian terjadilah dialog di antara mereka, dengan didahului lontaran pertanyaan dari Al-Kisā`i: “Wahai Abu Yusuf; seandainya ada dua orang, yang pertama berkata; “ana qātilu ghulāmika” (dengan tarkib idhôfah), dan orang kedua berkata; ana qātilun ghulāmaka (menggunakan struktur isim fā`il dan maf`ul bih), maka orang mana yang akan engkau tetapkan sebagai pembunuh” ?. Dengan tegas Abu Yusuf menjawab: “kedua-duanya akan saya tetapkan sebagai pembunuh”.
Mendengar jawaban itu, Khalifah Harun ar-Rāshid -yang kebetulan hadir bersama mereka dan terkenal dengan keahliannya dalam bidang bahasa- seketika berkata; Engkau salah wahai Abu Yusuf. Pembunuh yang sebenarnya adalah orang pertama, sebab struktur idhôfah (mudhof dan mudhof ilaih) menunjukkan masa lampau (mādhi) yang berarti sudah melakukan, sedangkan redaksi kedua menunjukkan makna akan datang (mustaqbal) dan belum melakukan. Mendengar sanggahan sang khalifah, Abu Yusuf pun merasa malu, dan menyadari kekeliruannya.
Dua redaksi dalam pertanyaan yang dikemukakan al-Kisā`i di atas secara leksikal memiliki arti yang sama, yaitu “aku adalah pembunuh anakmu”. Namun keduanya mengalami sedikit perbedaan arti manakala disusun dengan tarkîb yang berbeda. Makna yang muncul akibat perbedaan struktur kalimat ini lazim disebut dengan makna gramatikal (Grammatikal Meaning). Sedangkan makna dasar atau leksikal (lexical meaning) adalah makna kata secara lepas, sesuai yang tertera dalam kamus.
Kejelian dalam melihat perbedaan makna di atas hanya akan dimiliki oleh orang-orang yang memahami seluk beluk bahasa dengan baik, seperti yang diperankan oleh Khalifah Harun ar-Rāshid dan al-Kisā`i. Kisah ini pula yang kemudian menjadi salah satu inspirasi saya untuk melakukan riset sederhana tentang gramatikal al-Qur`an dan pengaruhnya terhadap istinbāth hukum Islam. Hasil riset itu menemukan begitu besarnya pengaruh gramatikal bahasa Arab terhadap pola istinbāth dan produk hukum yang dihasilkan oleh para ulama, serta banyak mewarnai ikhtilāf mereka dalam beberapa persoalan fiqh.
Aspek Pragmatik Sebua dalam Bahasa
Selain makna leksikal dan gramatikal, hal lain yang penting diperhatikan dalam bahasa adalah aspek pragmatik. Pragmatik merupakan salah satu cabang dari semiotika. Dua cabang lainnya yaitu sintaksis dan semantik. Sintaksis mengkaji hubungan formal antar tanda, semantik membahas hubungan tanda dengan objek yang dirujuknya, sedangkan pragmatik menelaah hubungan tanda dengan orang yang menginterpresentasikannya.
Aspek pragmatik banyak menekankan pentingnya melihat sesuatu atau konteks tertentu dibalik lahirnya sebuah bahasa. Bahasa sebagai instrumen komunikasi akan beroperasi secara fungsional dalam konteks tertentu. Oleh sebab itu, pragmatik lazim diartikan sebagai “study of the relation between language and context that are basic to an account of language understanding”. Pragmatik sebagai disiplin ilmu yang mengkaji relasi bahasa dengan konteks yang menjadi dasar untuk memahami suatu bahasa.
Sebagai contoh, ungkapan “apakah kamu punya uang ?” secara literal merupakan kalimat merupakan kalimat tanya. Akan tetapi dalam konteks tertentu kalimat tersebut justru memiliki pemahaman yang berbeda-beda. Seorang santri yang ditanya oleh rekannya yang terkenal sering ngutang “apakah kamu punya uang ?’ tentu akan merasa was-was dan memaknai pertanyaan itu dengan arti “aku mau pinjam uang”. Sehingga terkadang ia harus menjawabnya “aku tidak punya” agar ia terlepas dari “korban” peminjaman. Namun di saat ia ditelfon oleh orang tuanya dan ditanya “apakah kamu punya uang” ?. maka respon yang ditampilkan pun akan berbeda. Ia akan tersenyum sumringah, sebab makna yang ia tangkap adalah “aku akan segera mentransfer uang”. Perbedaan makna dari satu redaksi yang sama itu dihasilkan dari konteks yang terletak di luar bahasa itu sendiri.
Contoh lain, misalnya seorang penutur berkata: “apakah ini orang yang sering kau puji-puji itu?. Ungkapan ini juga dapat menimbulkan persepsi yang berbeda sesuai dengan keadaan mitra tutur dan si penutur. Jika ungkapan itu keluar dari orang tua yang baru pertama kali melihat “teman dekat” anaknya yang telah sering diceritakan, maka makna yang dihasilkan dari pertanyaan itu bisa jadi sebagai bentuk rasa keingintahuan (mujarradi al-istifhām). Namun, lain ceritanya jika kalimat itu keluar dari laki-laki yang pernah ditolak cintanya oleh seorang gadis dikarnakan gadis itu sudah punya pilihan lain. Maka ungkapan itu bisa saja dipersepsikan sebagai bentuk cemooh, bernuansa meremehkan dan menghina.
Dengan demikian, penetapan suatu makna, -khususnya pada genre tutur yang multitafsir- apakah ia mengandung unsur pujian, cacian, penghinaan atau makna lainnya, tidak dapat dilepaskan dari analisis terhadap konteks yang melingkupinya. Analisis dilakukan setidaknya dengan mengacu pada seting keadaan, peserta tutur, tujuan, act sequence, cara, instrumen dan genre atau jenis tuturan. Beda halnya jika genre tutur yang digunakan merujuk pada makna yang sudah pasti, seperti “engkau adalah permata hatiku” yang berisi pujian, atau “engkau rakus bagaikan babi”, yang jelas-jelas berisi penghinaan.
Dinamika makna yang dihasilkan dari analisis bahasa di atas menunjukkan pentingnya melihat sebuah bahasa ataupun ujaran secara integral dan menyeluruh. Tidak hanya monoton pada aspek tekstual, namun juga dipertajam pada konteks yang melingkupinya. Keluasan cara pandang, disertai kejelian dan kehati-hatian dalam menetukan sebuah makna ini banyak dipraktikkan oleh para ulama salaf terdahulu, khususnya dalam melakukan formulasi hukum Islam. Untuk menentukan status suami yang berkata kepada istrinya “kamu bagiku laksana mayat dan darah”, para ulama fiqih tidak serta merta menganggapnya sebagai thalak, ataupun dzihar. Namun terlebih dahulu mereka melakukan analisis pada aspek sintaksis dan pragmatik yang melingkupinya, sehingga tak pelak hal itu menimbulkan perbedaan pandangan (ikhtilāf) di kalangan ulama madzhab.
Keluasan cara pandang, kejelian dan kehati-hatian dalam menilai sebuah persoalan (perilaku atau ujaran seseorang), seperti yang dicontohkan para ulama dulu, perlu kembali ditekankan. Mengingat dewasa ini acap kali ditemui fenomena “mujtahid” jalanan yang sering mengobral “fatwa-fatwa bar-bar”, yang dengan mudahnya memberikan vonis laknat, murtad, dan kafir, bahkan darahnya halal ditumpahkan dan boleh dibunuh, terhadap seseorang yang ucapannya dianggap menyimpang. Munculnya vonis prematur semacam ini kuat ditengarai akibat dari cara pandang yang tidak menyeluruh dan bias makna. Huang (2007) seorang pakar linguis berkata “Pragmatics without syntax is empty, and syintax without pragmatics is blind”, (pragmatik tanpa sintaksis itu hampa, sintaksis tanpa pragmatik itu buta).