Sudah sedari lama saya berkesimpulan bahwa agama dalam beberapa dekade ini menjadi candu dalam berbagai pola tindak manusia sudah benar-benar terasa. Sebuah corak beragama dengan mengedepankan identitas soliter, eksklusif dan radikal menjadi bukti bahwa sebagai sebuah nilai, agama telah dimodifikasi sedemikian dogmatis. Sejauh ini ramalan masyhur tentang candu agama memang sudah diramalkan oleh Karl Marx meski dengan bungkus yang sama sekali frontal. Kaum kiri menjadikan agama sebagai sebuah alat bagi kaum borjuis untuk meninabobokkan masyarakat yang ditindas, sehingga lahir lah di tengah-tengah mereka sebuah sikap apatis terhadap berbagai ketimpangan serta penindasan yang terjadi. Maka sudah menjadi rahasia umum jika gerakan yang mengusung ideologi Marxisme sebagai landasan gerak akan segera dikucilkan karena dianggap berbahaya oleh sebagian mereka.
Lahirnya trend negatif terhadap ide-ide marxis merupakan realita di mana upaya mencandu masyarakat benar-benar sukses. Bahkan jika dikorelasikan dengan fenomena akhir-akhir ini, di mana komunisme dengan PKI sebagai partainya telah membentuk sebuah konfigurasi komunis pobia di kalangan masyarakat. Tidak hanya dituduh mengancam keutuhan NKRI dan supremasi ideologi, tetapi juga dianggap sebagai sebuah paham yang dapat memberikan ancaman serius terhadap akidah khususnya umat Islam. kesimpulan ini lahir tentunya bukan semata hanya kesuksesan Soeharto mempolitisir sejarah, namun kesalahpahaman masyarakat terhadap makna serta nilai akidah itu sendiri.
Ketakutan umat Islam terhadap PKI dalam masalah akidah, kiranya berangkat dari asumsi dangkal bahwa dengan ide komunisme dan marxisme yang diusung, PKI akan menyebarkan sebuah paham nihilistik terhadap aspek-aspek teologis. Agama akan disingkirkan dengan berbagai dalih jika gerakan PKI ini kembali bercokol sebagai sebuah entitas politik dalam negara. Kesimpulan ini terkesan begitu gegabah dan ahistoris. Candu agama pada intinya sebuah kritik mendasar Karl Marx terhadap realitas struktur paling fundamental yang menjangkit makhluk beragama sampai hari ini. Bagaimana tidak, aspek-aspek doktrin dalam agama yang ditelan secara membabi buta telah membuka pintu luang bagi masuknya beragam kepentingan ekonomi kapitalistik untuk mengeksploitasi masyarakat. Mereka (kaum kapitalis) menunggangi agama melalui berbagai jalur untuk menggiring pemahaman awam agar memberikan legitimasi atau setidaknya mengurangi tensi resistensi yang akan mengancam proyek mereka.
Realitas agama yang demikian itu lah kemudian memberi petunjuk bahwa dia telah menjadi candu bagi masyarakat. Dia akan dibentuk dan dimodifikasi serta dikemas dengan begitu rapi oleh kaum kapitalis yang hari ini tidak hanya menguasai kebijakan negara dalam urusan ekonomi tetapi juga merambah dunia politik secara bersamaan. Melalui gerbong politik, kemudian meniscayakan lahirnya banyak kebijakan yang seakan turut andil dalam menyengsarakan masyarakat. Dalam kondisi ini, kemudian agama dikemas oleh mereka untuk terus tenggelam ke dasar laut. Sementara mereka dengan begitu leluasa memainkan ritme sejarah untuk perut mereka sendiri.
Hingga suatu ketika..
Seorang teman media membagikan sebuah tautan ke halaman Fb saya, sebuah buku dengan format PDF berjudul begitu menarik. Ditulis oleh sekumpulan aktifis kiri yang tekun mengamati serta menganalisa dengan cerdas tentang berbagai fenomena sosial, politik dan keberagamaan yang akhir-akhir semakin merimbuni layar visual keseharian. Buku itu berjudul Bela Islam atau Oligarki ?. Ditulis oleh para aktifis IndoProgress sebuah konsorsium yang konsen menyoroti dengan tajam berbagai kasus ketimpangan dan ketidakadilan yang semakin marak dewasa ini.
Buku itu begitu kontekstual, mengingat rangkain tragedi yang setidaknya dari penggal akhir tahun 2016 sampai awal tahun 2017 ini telah sukses menampilkan sebuah drama dengan fragmen menarik. Tragedi dugaan penistaan, aksi masa, pencemaran nama baik, trending media hoax, aksi bela-bela, lapor melapor sampai isu sara yang kemudian menggoncang kota Pontianak sendiri setelah terjadi pencekalan kepada wasekjen MUI beberapa waktu lalu di Melawi. Khusus Pontianak pun kemudian sempat bergejolak sebuah aksi yang dinamakan Aksi Bela Ulama. Semua tragedi ini jika diteliti dengan baik adalah akibat gejolak politik Ibu Kota yang semakian panas jelang Pilkada yang akan segera digelar dalam beberapa waktu.
Kumpulan tulisan aktifis kiri setidaknya mampu merefleksi beberapa poin penting yang begitu fundamental untuk membaca dengan lebih jeli berbagai dampak serta rangkain kausalitas dari serangkain kasus dan kekacauan yang terjadi akhir-akhir ini. Hal yang pertama perlu disoroti dalam rangkain efek politik DKI tersebut adalah, fakta bahwa NU dan Ormas “sepuh” lainnya mengalami kekalahan dari ormas pendatang baru. Bukanlah rakyat yang harus dikritis saat ini, bukan pula ormas yang ambil alih tampil di muka dalam menyikapi beberapa kasus itu, tetapi umat Islam secara keseluruhan dan ormas dengan basis terbesar serta parpol Islami yang telah gagal dalam mendidik dan membangun umatnya.
Fakta, bahwa sebagian besar dari simpatisan aksi 411 atau 212 adalah warga NU kultural. Mereka tidak beranggapan bahwa dengan mengikuti aksi itu lantas mereka keluar dari NU secara spontan. Mereka tetap memandang bahwa NU adalah rumah besar mereka dan sebagai benteng terakhir Islam Aswaja yang diajarkan oleh Rasulullah. Namun, arena fakta tidak lah sesimpel apa yang sering kali kita persepsikan, bahwa dakwah NU yang damai dan menyejukkan ternyata tidak cukup kuat menandingi opini publik dan agitasi yang sudah sampai ke level gress root. Gaung dakwah yang sejuk tersebut tidak mampu menembus dinding cadas masyarat yang sudah terprovokasi isu. Dalam kesimpulan yang lain, NU gagal menyentuh umatnya sendiri.
Sebenarnya apa yang salah dengan ormas yang sudah berumur 91 tahun ini ?. untuk menjawab itu, sepertinya kita perlu duduk dengan masyarakat bawah yang sampai hari ini menjadi basis NU secara kultural, makan, tidur dan minum dengan mereka jika diperlukan, guna mengetahui seperti apa pola pikir serta gaya hidup mereka. Kita perlu ingat bahwa, rakyat NU khususnya sudah lama dikecewakan oleh serba-serbi Islam, baik ormas dengan pengurusnya atau pun parpol dengan wakil rakyatnya. Espektasi umat pada parpol Islam tentu bukan sekedar gaung Islamismenya, tetapi sumbangsih pembangunan serta peningkatan taraf hidup rakyat juga mereka dambakan. Begitu juga pada ormas dalam hal ini NU, tentu umat tidak sekadar mengharap rentetan fatwa, pencerahan mimbarnya atau sekedar wacana penjaga tradisi dan agama Islam yang khas di Indonesia. kehidupan masyarakat di bawah sangat praktis bahkan terkesan begitu pragmatis, mereka akan menyimpan espektasi besar mereka kepada ormas atau parpol apa saja yang sanggup memberikan yang terbaik terhadap mereka.
Realita itu lah yang harusnya diperhatikan oleh NU sebagai ormas dengan basis umat terbesar di Indonesia. Serangkaian aksi bela membela hanya lah sekadar permukaan atau hanya permulaan dari luapan amarah rakyat yang sudah tidak terbendung. Amarah yang diproduksi oleh kekecewaan itu sudah dipendam begitu lama oleh mereka, namun tidak ada satu cara pun yang paling efektif dan memantik amarah mereka untuk meluapkannya. Hingga ketika isu identitas sukses “digoreng” dengan baik oleh ormas tertentu, maka sentimen rasial dengan bungkus agama yang apik, menjadi corong awal untuk meluapkan amarah mereka selama ini. Selama ini, ketimpangan ekonomi akibat sistem yang menindas dan penuh dengan ketimpangan tidak mereka sadari. Mereka tidak mempunyai kapasitas pengetahuan yang memadai untuk menganalisa ekonomi pasar yang sedang berkembang dan memiskinkan mereka. Akhirnya, tidak ada isu yang paling efektif untuk menyulut amarah mereka kecuali isu agama sebagai representasi bahwa mereka begitu kecewa dengan kondisi yang telah mencederai sendi hidup sampai hari ini.
Dari serangkaian fenomena keagamaan yang demikian itu, setidaknya NU mulai berfikir dan turun ke bawah dalam rangka mengayomi masyarakat. menyampaikan dakwah yang lebih proaktif terhadap pembangunan dan kesejahteraan. Dengan sentuhan dan kepekaan seperti ini, dakwah NU akan lebih mudah diserap dan mengakar dengan kuat di masyarakat. Suksesnya ormas pendatang baru mengambil pengaruh rakyat bawah, oleh karena mereka mampu menyajikan sesuatu yang sama sekali fresh di hadapan rakyat awam. Mereka dengan modal nekat mulai mengulas tentang keharusan Indonesia mendirikan sistem pemerintahan dengan asas syariat Islam dengan terlebih dahulu menelanjangi kebobrokan sistem yang sedang bergulir di atas. Akhirnya, masyarakat pun dengan mudah teragitasi dan mulai menyimpan seribu harapan di pundak ormas tersebut.Apalagi ormas tersebut dengan penuh digdaya, menjadikan agama sebagai problem solving yang mampu menyatukan sebagian besar nurani umat. Lagi-lagi, agama dijadikan semacam candu bagi mereka dalam mencapai aspirasi politik yang didambakan. (M Hasani Mubarok)