Hidupmu adalah mahakarya pikiranmu, demikian salah satu diantara tulisan inspiratif yang menggambarkan dahsyatnya pikiran. Ungkapan ini diperkuat dalam buku Unleash Your Inner Power with Zen: 50 Kisah Zen untuk Memaksimalkan Potensi Diri yang menyebutkan kalimat inspiratif dan motivasi berikut, Berhati-hatilah dengan pikiranmu, karena ia akan menjadi ucapanmu; Berhati-hatilah dengan ucapanmu karena ia akan menjadi tindakanmu; Berhati-hatilah dengan tindakanmu karena ia akan menjadi kebiasaanmu; Berhati-hatilah dengan kebiasaanmu karena ia akan menjadi karaktermu dan; Berhati-hatilah dengan karaktermu karena ia akan menjadi takdirmu. Kalimat inspiratif tersebut selanjutnya akan menjadi personal branding atau pembentuk imej dan persepsi bagi seseorang terhadap orang lain karena ia akan menjadi sebuah karakter. Ringkasnya, adanya stigma berangkat dan berawal dari pola pikir seseorang.
Kebenaran dalam berpikir akan menuntun seseorang untuk berpikir positif, keruntutan dalam berpikir akan menuntun seseorang untuk berpikir sistematis. Konsep inilah yang kemudian dikenal dengan berpikir positif (positive thinking), dalam bahasa agama disebut dengan husnuzh zhan (baik sangka). Demikian juga sebaliknya, kesalahan dalam berpikir akan mengarahkan seseorang untuk berpikir memandang sesuatu dari sisi negatif, yang muncul kemudian adalah seakan tidak ada nilai kebaikan pada seseorang karena sudah diawali dengan persepsi yang su’uzh zhan (buruk sangka).
Penulis pernah menemukan satu tulisan yang merupakan dialog yang mengarah kepada sesatnya cara berpikir dan akhirnya adalah menisbikan (meniadakan) keberadaan Tuhan. Dialog tersebut begini, “Bukankah Tuhan menyuruh kita untuk berbuat ikhlas seakan-akan jika kita bershadaqah tangan kanan maka tangan kiri tidak boleh tahu dan demikian juga sebaliknya, pada contoh lain ketika kita melaksanakan ibadah apapun maka tidak boleh ada satupun yang melihat aktivitas kita, ketika kita beramal dan dilihat oleh yang lain berarti keikhlasan kita diragukan,” Ketika ditanyakan, “Anda sholat?” Dijawabnya, “Saya tidak sholat,” Dilanjutkan lagi dengan pertanyaan, “Mengapa anda tidak sholat, bukankah itu perintah agama?” Dijawab, “Sudah saya katakan bahwa saya akan melaksanakan ibadah jika tidak ada satupun yang melihat aktivitas ibadah saya, oleh karena itu saya tidak sholat karena masih ada Tuhan yang melihat ibadah saya, saya tidak ingin ada satupun yang melihat aktivitas saya,” Pertanyaan sederhananya, bisakah aktifitas kita sekecil apapun yang tidak dilihat oleh yang Serba Maha? Sebagai orang yang meyakini adanya Tuhan, adanya kehidupan sesudah kematian, maka tidak dapat dinafikan bahwa setiap gerak langkah kita bahkan sebuah keinginan (niat) sudah dalam pengawasan Allah SWT. Ibadah –bagi agama apapun- adalah bentuk pengabdian seorang manusia kepada Tuhannya. Dan harus diyakini bahwa Tuhan tahu dengan apa yang kita lakukan. Jika demikian, mungkinkah aktivitas kita tanpa sepengetahuannya? Bukankah pikiran ini menyesatkan?
Pikiran sesungguhnya barang ciptaan Sang Khaliq yang memiliki kekuatan yang dahsyat. Pikiran merupakan salah satu kekuatan terbesar manusia yang membuat seorang mampu meraih hal terbaik dalam hidupnya atau sebaliknya. Darinya muncul kata-kata motivasi dan inspiratif What You Think is What You Get. Pola pikir seseorang ikut menentukan tujuan yang akan diraihnya, berawal dari pikiran mengenai cara melakukan, siapa yang melakukan, mengapa dilakukan dan komitmen untuk melakukan sehingga kemudian menjadi mindset seseorang. Dalam konteks ini, apa yang keluar dari mulutnya, ucapannya adalah gambaran dari cara berpikirnya yang ada. Dalam bahasa agama, mencuat perkataan: Aku menurut praduga makhlukku, yang kemudian dimaknai oleh Bimbo dengan syairnya, “aku jauh, Engkau jauh, aku dekat, Engkau dekat”, kedekatan yang dibangun bukan semata karena “Engkau” tapi karena “aku” yang menyebabkan itu semua.
Pikiran yang diwujudkan dalam bentuk action dalam skala yang lebih besar mengindikasikan sikap dan karakter sebuah masyarakat bahkan sebuah bangsa. Sarlito Wirawan Sarwono, Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia dalam sebuah tulisannya mengemukakan bahwa pada 1970-an, Alex Inkeles, sosiolog Universitas Harvard, AS, mengadakan penelitian tentang negara yang tidak berkembang atau macet atau jalan dengan sangat lamban, dari penelitiannya disampaikan bahwa negara-negara yang macet justru negara yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah tetapi sumber daya manusianya (SDM) mereka lemah dan tidak mencerminkan adanya pola pikir yang konstruktif, ringkasnya tidak bermentalitas modern. Mentalitas modern menurut Inkeles ditandai dengan 1) menerima perubahan untuk kemajuan, 2) berani menyatakan pendapat atau opini, 3) menghargai waktu dan berorientasi ke depan, 4) rencana yang terorganisir, 5) self confidence, 6) cermat dan perhitungan, 7) menghargai karya orang lain, 8) menguasai Iptek dan 9) pro-keadilan.
Jika dilihat ke-sembilan indikasi di atas dapat ditemukan bahwa mentalitas modern ditandai dengan adanya pola pikir yang konstruktif, sistematis namun sensitif. Masyarakat yang konstruktif adalah masyarakat yang memiliki mental membangun atau menjadikan sesuatu lebih baik dari sebelumnya. Orang yang bersikap konstruktif mencintai kemajuan (progresive). Sistematis bermakna masyarakat dengan indikator ini bekerja tidak asal selesai, asal terlaksana, ia bekerja dengan tertata dan karenanya menjadi sebuah sistem atau semacam tata kelola yang dapat diwariskan keberikutnya dan sensitif bahwa sekelilingnya adalah orang-orang yang baiksecara langsung atau tidak langsung ikut menunjang keberhasilan ultimate goal-nya. Ia adalah orang yang memahami bahwa aku hebat karena adanya orang-orang hebat lainnya. Menghargai dan mengapresiasi adalah sikap yang menjadi pola pikir yang divisualisasikannya pada orang lain.
Bagaimana dengan deskripsi masyarakat kita? Beberapa aspek jujur kita akui masih perlu pengkondisian namun pada aspek lain sudah merupakan karakter bangsa ini semacam mulai berani mengemukakan opini atau pendapat dan mengapresiasi karya orang lain. Tetapi bahwa masih ditemukannya “jam karet”, “desak-desakan hanya untuk mendapatkan kupon”, adalah persoalan sederhana tetapi merupakan gambaran dari pola pikir yang harus diperbaiki.
Pada akhirnya, kita harus sepakat sebagaimana yang dikemukakan Rhenald Kasali dalam bukunya Re-Code Your Change DNA bahwa perubahan pada dasarnya bukanlah menerapkan teknologi, metode, struktur atau manajer-manajer baru. Perubahan pada dasarnya adalah mengubah cara manusia dalam berpikir dan berperilaku. Semoga**
Oleh Sholihin H. Z.
(Penulis Buku Di Bawah Bimbingan Ilahi, Mengasah Intelektual Menajamkan Spiritiual)