PONTIANAK, NUKHATULISTIWA – Perkembangan zaman tidak menutup kemungkinan dapat mengubah suatu kebiasaan yang telah lama dibangun oleh komunitas masyarakat tertentu. Tak hanya perilaku maupun gaya hidup, tapi berdampak pula pada cara seseorang dalam menuntut ilmu.
Wakil Rais Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PC NU) Kota Pontianak, Nuralam, mengungkapkan perubahan sebuah tradisi seperti cara dalam menuntut ilmu, belakangan ini juga dialami oleh sebagian kalangan warga nahdliyin.
“Sebenarnya ada yang hilang dari kebiasaan An-nahdliyah. Apa itu, yaitu tradisi keilmuan,” ujarnya saat menjadi salah satu pembicara pada acara Syukuran Harlah NU ke-91, di Warung Kopi Alam Gemilang, Kota Baru, Kecamatan Pontianak Selatan, Selasa (31/1) malam.
Ia mengatakan, tradisi keilmuan yang ada di NU bukan sekadar tradisi riwayah atau memahami sebuah keilmuan semata-mata dari kitab, melainkan disempurnakan dengan tradisi dirayah. Artinya, selain mengkaji kitab, menuntut ilmu itu diperlukan tuntunan dari seorang guru.
“Tradisi dirayah yang diperoleh bukan dari rujukan kitab ke kitab, tapi dari guru ke guru yang kemudian sebagai pendampingnya adalah kitab-kitab,” terangnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, kedua metode ini merujuk kepada kajian dalam ilmu hadits. Ada dua istilah yang lumrah disebutkan yakni ilmu riwayatul hadits dan ilmu dirayatul hadits.
“Kalau riwayah itu lebih kepada ittishal aw inqitha’. Apakah hadits ini nyambung apa nggak. Tapi kalau dirayah, lebih kepada ma’nal mafhum. Makanya perlu seorang guru atau ulama yang mendampingi (untuk memahami ilmu),” jelasnya.
Pentingnya tuntunan guru dalam menuntut ilmu, ucapnya, membuat seseorang lebih terarah dalam memahami suatu keilmuan yang dipelajarinya. Begitulah yang dilakukan NU, di mana lingkungan pesantren sampai saat ini tetap menjaga tradisi tersebut. (umar)