Oleh: Ach Tijani
Akademisi IAIN Pontianak
Benar kiranya jika era ini dinobatkan sebagai ruang yang selalu diliputi dengan segala hal yang serba berlebihan, perkataan melampaui kenyataan, pemberitaan melampaui tragedi dan pemahaman melampaui kebenaran. Inilah dunia yang sedang mengalami turbulensi, mengguncang setiap manusia lintas suku, agama dan pandangan politik untuk menunjukkan identitas diri sebagai manusia yang sesungguhnya. Tantangan tersebut berkorelasi dengan absurditas kenyataan saat ini yang memang sangat sulit untuk dipetakan warna dan rasanya.
Kenyataan di permukaan sejumlah individu dan kelompok tertentu melihat dunia ini seolah-olah merah, dan di sisi yang lain juga ada yang melihat dunia ini seolah-olah biru. Perbedaan pandangan secara perenial tidak dapat didustakan, bahkan merupakan bagian dari dinamika pertumbuhan dunia. Sayangnya perbedaan pandangan tersebut tersendat pada penampakan di permukaan saja, sehingga argumentasinya juga terhenti pada persoalan warna, ukuran dan bentuk.
Pola hidup nyaman duduk bersandar di atas kursi mengunyah setiap segmen pemberitaan, menikmati hiburan sinetron berjilid, membaca bundelan berita di koran serta berselancar di sela-sela labirin socmed seakan telah menjadi agenda sebagian besar setiap tubuh individu di era ini. Kelanjutan hidup berada pada ruang-ruang digital. Dalam bentuk yang lebih sederhana, apa yang telah dibaca, dilihat dan didengar dari media oleh setiap individu mewujud dalam bentuk kepribadian.
Kelengahan nalar yang cukup drastis, serta kedigdayaan mesin media yang semakin kuat tidak hanya menyebabkan realitas menjadi absurd, bahkan mungkin sampai pada titik paradoks. Media dan muatan narasinya tidak hanya sebatas menurunkan fakta, namun juga membuka celah perbincangan relatifitas muatannya. Sebagai contoh, suatu fakta yang sama dapat diberitakan secara beragam, bahkan mungkin berbenturan. Inilah puncak, dimana yang merah dapat saja tersimbolkan biru dan yang kotak bisa jadi terlihat oval.
Tahap berikutnya, para penikmat media yang hanya mengandalkan mata dan telinganya terbelah menjadi pribadi-pribadi galau yang tidak menjumpai warna dan rasa. Walau demikian, mereka tidak canggung untuk membenarkan poros tertentu dan menyalahkan poros yang lain. Terjadilah pembelaan kebenaran dengan cara kebencian dan pembelaan kesucian dengan cara penodaan.
Dengan demikian apa yang diasumsikan pada awal tulisan ini dirasa cukup tepat dengan segala bentuk absurditas dunia ini. Menurut hemat penulis hal tersebut disebabkan oleh dua hal, pertama unsur perenial perbedaan pandangan manusia, kemudian yang kedua kelengahan nalar dan kedigdayaan mesin media. Penyebab yang kedua dalam konteks ini dirasa sangat dominan dalam mengarahkan absurditas pada tingkat paradoksal dunia ini.
Perbincangan berikutnya bukan pada persoalan benar dan salah. Klasifikasi tersebut sudah tidak cukup bertuah untuk menyadarkan manusia yang sudah merasa berdiri di posisi yang benar. Klaim pembenaran diri dan tuduhan kesalahan untuk orang lain akan melahirkan terobosan-terobosan yang destruktif. Paradigma ini tentu juga berlaku pada setiap segmen kehidupan, termasuk juga dalam segmen keyakinan dan agama.
Setiap pemeluk agama hendaknya dapat menempatkan seluruh agama dan bentuk keyakinan di luar dirinya sebagai pilihan kebenaran yang telah berdiri tegak tanpa harus membanding-bandingkan, apalagi agama itu memang bukan untuk dibanding-bandingkan, namun agama hanya benar jika diamalkan. Maka sangat disayangkan jika kemudian terdapat kasus agama menggugat agama dan agama menolak agama.
Untuk itu, konsentrasi dari perbincangan dalam tulisan ini adalah suatu percobaan untuk keluar dari absurditas emanasi media terhadap dunia. Pola data melawan data, fakta menggusur fakta dan dalil menumbangkan dalil tidak akan digunakan dalam perbincangan ini. Semua elemen tidak dalam rangka berkompetisi mencari siapa yang paling tahu dan benar, namun lebih dari itu kita semua semestinya lebih tertarik pada pola dialektis pengetahuan dan kebenaran itu diproduksi.
Dalam konteks media dan emanasinya terhadap dunia, manusia dan dunianya ada dalam narasi dan teks. Secara sederhana, manusia dalam bahasa media dan kemudian lembaran media tersebut juga ada, dan mungkin ada dalam realitas. Kerumitan ini memang harus dilewati untuk menghindar dari keriuhan dan hujatan yang tidak menentu dan mengarah. Kompleksitas yang cukup tinggi dalam mengeksplor realitas dalam narasi dan dari narasi ke realitas mengandaikan setiap individu untuk melihat dan mendengar dengan sepasang mata dan telinganya dengan teliti.
Tahap berikutnya, setiap individu harus bergerak keluar dari realitas dalam literasi bahasa. Literasi bahasa merupakan rumah-rumah mewah yang memenjarakan setiap pribadi, maka apa yang terlihat indah, menyejukkan dan membahagiakan dalam rumah literasi tersebut sejatinya tidak selalu seperti yang tertutur, namun bisa saja hanya merupakan pelipur sementara yang menjauhkan individu dari realitas sebenarnya.
Walau demikian media dengan rumah literasinya dan realitas dengan kenyataannya adalah dua entitas seperti layaknya dua sisi mata uang yang saling melekat. Mendustakan salah satunya sama dengan mengurangi nilai uang itu sendiri, maka sikap memberedel media dengan tuduhan sebagai agen kebohongan adalah sikap yang kurang tepat dan sama dengan mengurangi nilai-nilai kehidupan dan kebebasan.
Sebagai santunan edukatif yang paling dibutuhkan saat ini di luar sikap suka dan benci serta prilaku membela dan menghina adalah menarik diri kita masing-masing pada rumah kebenaran yang kita yakini, baik dalam kebenaran literasi bahasa maupun dalam suguhan realitas yang kita nikmati. Sejenak mari kita pikirkan apa yang sedang kita pikirkan dalam rumah literasi bahasa media, agar kemudian kita dapat memastikan apa yang akan kita lakukan dalam rumah realitas.
Pergumulan klasifikasi hitam dan putih antara literasi media dan realitas terdapat sejumlah pertimbangan logis. Mari kita cermati dalam sugesti Qur’ani surah al-Alaq dengan latar belakang historisitasnya yang mengandaikan ajakan Jibril pada Nabi Muhammad untuk membaca, lalu kemudian Nabi Muhammad menjawab sugesti tersebut dengan tegas bahwa dirinya tidak dapat membaca.
Dialektika teologis di atas menunjukkan kecermelangan nalar seorang Muhammad yang suci dengan menunjukkan kerendahannya sebagai seorang hamba. Bagi Muhammad ayat tersurat dan yang tersirat sebagai keniscayaan dalam hidup ini tidak akan pernah menelorkan kebenaran apa-apa tanpa didahului dengan cara membaca yang benar. Maka sisi normativitas ayat 1-5 surah Al-Alaq serta dialog (historisitas) Jibril-Muhammad merupakan ibrah teologis-metodis yang cukup layak dalam mencerna literasi dan realitas.
Sejalan dengan tawaran ibrah teologis-metodis tersebut, pemikir Spanyol Ortega y Gasset menyatakan bahwa manusia dalam literasi tidak punya dirinya kecuali hanya memiliki sejarahnya. Tawaran ini kelihatan lebih teknis, dengan makna yang lebih sederhana realitas hidup dalam senda gurau ini adalah milik setiap individu, sedangkan literasi adalah simbol-simbol historis (seperti halnya simbol = dalam matematika), namun tetap tidak setara dengan realitas itu sendiri.
Produksi kebenaran dalam lintas kepentingan antara literasi media dan realitas harus ditempatkan sebagai rumah kebenaran, bukan tempat saling membenci. Pandangan ibrah teologis dan tawaran nalar filosofis di atas cukup tepat sebagai pijakan metodis untuk berteduh di bawah rumah kebenaran kita masing-masing dengan cara menempatkan media sebagai pintu-pintu kebenaran. Mari kita tempatkan semua yang kita ketahui sebagai jalan untuk mengetahui bukan untuk saling membenci. “What we know is what we made to know”. ( Ach Tijani)*