Kyai Haji Fauzi Khalil adalah sosok kyai pencetak kyai-kyai pendiri pondok pesantren lintas kabupaten/kota di Kalimantan Barat. Nyaris tak ada kyai, guru mengaji, masyarakat umum berumur di atas 30 tahun, tak mengenalnya. Dakwahnya, kasih sayangnya kepada manusia melintasi ruang, sekat dan klasifikasi sosial.
Beliau mahaguru masyarakat muslim Kalimantan Barat yang meninggalkan tapak atau jejak eksistensinya pada pondok pesantren, surau atau bahkan rumah pribadi warga. Kyai yang tenar dengan kesederhanaannya ini dilahirkan di Desa Dupok, Kecamatan Kokop, Kabupaten Bangkalan (Madura), Provinsi Jawa Timur. Berdasar penuturan istri beliau, Hj Fauziah Tina, tak diketahui pasti kapan beliau dilahirkan. Namun, beliau diperkirakan lahir pada tahun 1930-an. Semasa Fauzi Khalil kecil, Indonesia sedang di bawah penjajahan Jepang.
KH Fauzi Khalil menikah sebanyak dua kali. Kali pertama, beliau menikah dengan Nyai Hj Khotimah. Buah dari pernikahan ini, beliau dikarunia dua anak yaitu Kyai Haji Mahfudz Khalil dan Fatiyah. Pernikahannya dengan Nyai Hj Khatimah tidak berlangsung lama. Usai dikarunia dua anak, pasangan ini memutuskan untuk bercerai. Kemudian, beliau lantas menikah dengan Nyai Hj Fauziah Tina. Biduk rumah tangga beliau dengan Nyai Hj Fauziah Tina dikarunia tujuh anak. Diurut dari sulung ke bungsu, kedelapan anak itu yaitu Junaidi, Khairimah, Darwis, Ummu Kaltsum, Nurhayati, Hindun Rumiati dan terakhir, Fathur Rozi.
Berdasar penuturan istri beliau, Nyai Hj Fauziah Tina, Fauzi Khalil muda mengenyam pendidikan keislaman di Pondok Pesantren Sidogiri. Pondok pesantren ini sangat berperan mencetak Fauzi Khalil muda hingga menjadi kyai besar; besar karena kedalaman pengetahuan keislamannya dan besar karena dihormati dan disayangi khalayak ramai. Nyai Hj Fauziah Tina tak mengetahui detail penjelajahan ilmu yang didapat suaminya. Namun, Fauzi Khalil muda tercatat pernah nyantri hingga ke Mekah untuk lebih mengasah dan menambah pengetahuan keislamannya.
Menyusuri Gang ke Gang
Separuh dari umur beliau, diperkirakan kuat dihabiskan di Kota Pontianak, tanah perantauannya. Sesampai di kota yang terkenal dengan Sungai Kapuasnya ini, Fauzi Khalil lantas menetap di Jalan Meranti, Gang Meranti 1, No 11, Kecamatan Pontianak Kota, Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, hingga akhir hayatnya. Jika hendak mencari sosok kyai besar yang tidak memiliki pondok pesantren, beliaulah satu di antaranya. Beliau memang tak dikenal sebagai pendiri atau pengasuh pondok pesantren, akan tetapi beliau merupakan tokoh berpengaruh di balik pendirian pondok pesantren yang hidup dan bergerak melewati batas kabupaten/kota di Kalimantan Barat.
Dituturkan oleh putra bungsunya, Fathur Rozi, beliau adalah kyai bagi personal/individu dan komunitas-komunitas kecil yang uniknya tersebar di tiap gang dan permukiman warga. Kyai Rudi Abdullah Faiz, pengasuh Pondok Pesantren Darul Faizin di Jalan Petani, Kecamatan Pontianak Kota, Kota Pontianak, yang tercatat sebagai satu dari puluhan santri beliau yang berguru pengetahuan keislaman di rumah beliau mengatakan, dakwah beliau sangat sederhana kepada masyarakat. Beliau bukan mengajarkan tafsir, hadits atau sufisme, melainkan cukup menenteng kitab fikih, baik saat mendatangi masyarakat maupun saat didatangi atau dijemput masyarakat untuk mengisi pengajian atau ceramah di sebuah tempat.
Didorong rasa penasaran karena seringnya beliau membawa kitab fikih saat berdakwah, Rudi Abdullah Faiz kemudian menyodorkan pertanyaan alasan gurunya yang hanya membawa kitab fikih kemana-mana, bukan kitab-kitab lainnya. Lantas apa jawaban beliau? KH Fauzi Khalil menjawab “Yang penting dan dibutuhkan masyarakat itu fikih karena langsung berkaitan dengan kehidupan masyarakat seperti salat. Masyarakat jangan diajarkan yang ruwet-ruwet”. Jawaban singkat dan padat tetapi sekaligus mengena dan fokus. Namun terhadap santri-santrinya yang belajar langsung di kediaman beliau, kitab-kitab salafiyah khas pesantren salaf diajarkan oleh beliau.
Konsistensi beliau mengajarkan umat tentang syariat Islam sangat kokoh. Putra bungsunya, Fathur Rozi mengungkapkan, meski dilanda sakit yang parah sekalipun, selama masih bisa berjalan, beliau tetap mengisi pengajian. Kedahsyatan pendirian beliau dalam mengajarkan umat juga terlontar dari Kyai Rudi Abdullah Faiz. Kyai Rudi mengungkapkan, beliau bakal tetap mengamini atau menjawab ajakan warga yang memintanya menjadi penceramah walau hujan deras mengguyur dan badai menerjang sekalipun. Dengan mengemudikan sepeda motor Honda GL Pro miliknya, beliau mantap mendatangi tempat pengajian.
Dikisahkan oleh Kyai Rudi Abdullah Faiz, hal yang paling menggelisahkan beliau yaitu tatkala melihat orang tidak salat dan tidak mengaji. Jika mendapati kenyataan tersebut, lanjut Kyai Rudi Abdullah Faiz, beliau lantas mendatangi rumah warga tersebut, siapapun itu. Syiarnya sangat sederhana, beliau hanya mengajak orang untuk salat dan mengaji. Beliau seperti hendak mengembalikan kesempurnaan manusia, bahwa ia hanya dapat sempurna ketika mengingat Allah, menyebut nama-Nya sebanyak lima kali (salat fardhu) dalam sehari.
Kyai Rudi Abdullah Faiz mengatakan, kapasitas pengetahuan KH Fauzi Khalil yang mumpuni agaknya kurang pas jika berdakwah hanya mengajak orang untuk salat dan mengaji. Kyai Rudi Abdullah Faiz berpikir, urusan-urusan salat cukuplah ditangani oleh orang lain yang gerakan dan bacaan salatnya sudah pas. Namun, itulah keteguhan dan konsistensi beliau. Meski terlihat sederhana, beliau tetap menghampiri, menjumpai, menemui orang untuk bersama-sama menegakkan salat. Hebatnya lagi, beliau rajin dan telaten membina orang per orang.
Kyai Seribu Surau
Penulis tertarik menjuluki beliau sebagai ‘Kyai Seribu Surau’. Berdasar penuturan Kyai Rudi Abdullah Faiz, misi dakwah beliau yaitu mendirikan surau kecil dan sederhana sebagai tempat, terutama salat atau mengajar mengaji dan pengetahuan-pengetahuan Islam lainnya. Nyaris semua murid, santri, warga atau masyarakat yang didatanginya atau yang diajarkannya diminta untuk mendirikan surau. Sampai-sampai Kyai Rudi Abdullah Faiz mengatakan, “di mana bumi dipijak, di situ (beliau) bikin surau”. Surau yang tersebar di penjuru Kota Pontianak yang berusia dua puluh tahun ke atas, kata Kyai Rudi Abdullah, pasti atau agaknya menyebutkan nama KH Fauzi Khalil sebagai tokoh yang berperan dalam pendiriannya.
Santri pengajian atau warga secara personal yang memiliki tanah kosong atau dianggap mampu secara finansial untuk membeli tanah, disarankannya untuk membangun surau sederhana sebagai tempat salat dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnnya. Beliau agaknya menghendaki surau kelak dapat menjadi pusat pembelajaran islam selain sebagai tempat beribadah kepada Allah SWT. Yang menarik di balik pendirian surau itu yakni biaya material bangunan sampai upah bagi buruh bangunan kerap ditanggung atau dibayar beliau. Artinya, tak hanya sebatas menyuruh, meminta atau menyarankan membangun surau, selanjutnya tak mau tahu terkait dana pembangunan, melainkan beliau membantu warga atau santrinya membangun surau agar cepat ditempati dan dimanfaatkan. Beliau ingin surau-surau hidup dan menggelorakan nama-nama Allah, mengajarkan anak mengaji sekaligus tempat berkumpul, bersilaturahmi antar-warga dalam kegiatan pengajian, tahlilan dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang lain.
Membaktikan hidup pada jalan syiar Islam membuatnya memiliki banyak jamaah yang tersebar di Kota Pontianak dan kabupaten lain di sekitarnya. Dengan jumlah pengikut yang banyak itu, mengundang rasa penasaran Kyai Rudi Abdullah Faiz, kenapa gurunya tersebut belum dan tak kunjung mendirikan pondok pesantren. Tentu saja tak sulit mencari santri yang akan mondok di pondok pesantren beliau. Dugaan atau pikiran Kyai Rudi Abdullah Faiz, dalam waktu singkat, ratusan santri, anak dari murid atau orang-orang yang diajarkannya salat dan mengaji, pasti bakal berbondong-bondong datang mengaji kepada beliau, ketimbang terus-terusan berdakwah dari rumah ke rumah, gang ke gang dan kampung ke kampung yang tak menghasilkan secara ekonomi bagi beliau. Namun apa jawaban KH Fauzi Khalil yang tak (mau) mendirikan pondok pesantren? Kata beliau ” Saya kalau bikin pondok pesantren jadi tidak bisa kemana-mana. Tidak bisa mengurus masyarakat yang kecil-kecil ini. Nanti yang mengajarkan salat siapa? Yang mengajarkan mengaji siapa?” Demikian jawaban beliau.
Bertani
Kyai Rudi Abdullah Faiz mengatakan bahwa dakwah beliau kepada masyarakat bukanlah pekerjaan utama sebagai sumber penghasilannya. Beliau menafkahi pribadi dan keluarganya dengan bertani padi, jagung dan bahan pangan lain di tanah miliknya di kawasan Punggur, Kabupaten Pontianak (kini Kabupaten Kubu Raya). Kyai Rudi Abdullah Faiz, semasa berguru atau mengaji kepada beliau, juga diajak ke kebun dan sawahnya untuk bertani dan memanen hasilnya. Lalu kenapa beliau tidak juga berdagang, misal berjualan sarung atau perlengkapan salat lain seperti sajadah, tasbih, kopiah atau amalan-amalan dengan beragam khasiat? Dapat dibayangkan barang-barang itu pasti cepat terjual karena sudah banyak jamaahnya. Kenyataan ini sengaja dituliskan karena berdasarkan penuturan Kyai Rudi Abdullah Faiz, dulu (boleh jadi sampai saat ini) ada beberapa pendakwah atau ustaz yang memiliki jamaah pengajian ‘nyambi’ menjadi pedagang sarung sampai menjual ragam amalan-amalan ke jamaahnya. Namun apa jawaban KH Fauzi Khalil? “Jamaah atau orang yang beli itu terpaksa, terpaksa karena ustadnya yang jual” jawab beliau. Ihwal urusan rezeki, beliau hanya mau rezeki yang mengandung keberkahan, kehalalan yang orisinil, hasil dari keringat sendiri.
Pencetak Kyai
Kendati tak memiliki pondok pesantren, namun beliau merupakan tokoh penting di balik pendirian pondok pesantren. Beliau adalah tokoh pencetak kyai yang tersebar di banyak tempat. Dituturkan oleh Kyai Rudi Abdullah Faiz, beliau ikut merintis pendirian Pondok Pesantren Darul Ulum, Desa Kuala Dua, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Beliau masuk atau tergabung dalam keanggotaan Yayasan Darul Ulum. Pengasuh/pendiri pondok pesantren itu, Kyai Haji Khairuman merupakan teman beliau. Beliau juga tercatat sebagai figur dominan di balik pendirian Pondok Pesantren As-Salam Pal Lima, Kota Pontianak. Bersama Habib Ridho, beliau menginisiasi berdirinya pondok pesantren itu. Fakta sejarah lain, seperti yang dituturkan Kyai Rudi Abdullah Faiz, Pondok Pesantren Darul Faizin di Jalan Petani, Kecamatan Pontianak Kota, Kota Pontianak yang diasuh Kyai Haji Rudi Abdullah Faiz sendiri, dirintis oleh beliau bersama ayahandanya, Kyai Arrowi Faiz yang terbilang masih santri beliau.
Kemudian, beliau juga menjadi tokoh penting dibangunnya Pondok Pesantren Madrasah Sirajul Ulum di Kota Singkawang. Pondok pesantren itu diasuh oleh Kyai Ahmad Zubairi, santri beliau yang mengaji dengan beliau di kediamannya. Santri beliau lain yang turut mendirikan pondok pesantren yaitu Kyai Misli. Kyai Misli mendirikan Pondok Pesantren Darul Ulum di Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya. Di kecamatan yang sama, santri beliau, Kyai Firdaus juga membangun Madrasah Darul Firdaus. Selanjutnya, beliau juga berpartisipasi mendirikan Pondok Pesantren Sirajul Ulum di Jalan M Yamin, Gang Pembangunan, Kecamatan Pontianak Kota yang diasuh oleh putranya
sendiri, Kyai Haji Mahfudz Khalil. Sayang, pondok pesantren ini tidak bertahan lama karena KH Mahfudz Khalil wafat pada usia relatif muda. Namun, pondok pesantren itu ‘bermetamorfosa’ menjadi Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah Sirajul Ulum dengan pembelajaran formal yang dirintis oleh KH Mahfudz Khalil. Masih terdapat beberapa pondok pesantren lagi yang eksis di Kalimantan Barat yang dirintis oleh beliau dan didirikan oleh santri dan jamaah beliau.
Sementara tentang pendirian surau di Kota Pontianak, peran beliau lebih besar lagi. Beliaulah sebab orang-orang salat dan anak-anak mengaji. Dituturkan oleh Kyai Haji Rudi Abdullah Faiz, “(dengan tidak bermaksud berlebihan) Orang-orang di Kota Pontianak mau salat itu karena beliau lah”.
Tidak Tidur Malam
Dituturkan oleh istri beliau, Nyai Hjh Fauziah Tina dan diperkuat oleh Kyai Haji Rudi Abdullah Faiz, semasa hidup, beliau diketahui sosok kyai yang jarang (untuk tidak mengatakan ‘tidak’) tidur malam. Kyai Rudi Abdullah Faiz mengatakan bahwa hampir tiap malam atau sehabis Isya’ beliau berdakwah keliling ke rumah warga. Sepulang dari berdakwah itu, beliau tidak tidur sampai pukul 08.00 atau 09.00 WIB pagi. Beliau istiqomah melaksanakan salat tahajud dan berdzikir sepanjang malam hingga memasuki waktu salat subuh. Kyai Rudi mengatakan bahwa dirinya berikut beberapa santri yang tinggal-mengaji di kediamannya, adakalanya dibangunkan untuk melaksanakan salat tahajud dan berdzikir. “Nah, kalau sudah jam 08.00 atau 09.00 pagi, beliau tidur sampai adzan salah zhuhur. Ini kebiasaan beliau yang saya tahu dan saksikan,” kata Kyai Haji Rudi.
Pada bulan Mei tahun 1996 , beliau wafat. Tak ada yang tahu pasti umur beliau ketika wafat. Namun istri beliau, Nyai Hj Fauziah Tina menduga, beliau meninggal di umur 60-70-an. Diceritakan oleh putra bungsu beliau, Fathur Rozi, kawasan Jalan Meranti yang menjadi kawasan kediaman beliau, berubah dan mewujud menjadi lautan manusia. Ribuan orang datang ke kediaman beliau untuk mengucapkan bela sungkawa dan doa. Ribuan pelayat yang tak henti mengumandangkan doa mengantarkan jenazah beliau ke tempat peristirahatan terakhir beliau. Beliau dimakamkan di komplek Surau Babul Jannah di Jalan Wak Dalek, Jalan Putri Daranante, Kecamatan Pontianak Kota, Kota Pontianak. Hingga kini, makam beliau sering diziarahi masyarakat dari penjuru Kalimantan Barat. (Saiful Bahri al-Maqtul)
Penulis adalah aktivis PMII yang pernah nyantri di TMI Al-Amien Prenduan, Sumenep.